Perjalanan menjelajah Malang sore itu dimulai dari daerah Blimbing. Setelah melewati pertigaan dari arah Surabaya, aku sempatkan untuk singgah sebentar di Pasar Blimbing. Pasar tradisional yang akan dirubah oleh Bapak Walikota menjadi Mall besar nantinya. Di Pasar Blimbing, aku membeli es cendol yang dijual oleh bapak-bapak berumur 50an. Es cendol yang mengingatkanku pada hidangan pembukan berbuka puasa buatan ibu dirumah. Di rumahku, Desa Tracal, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan.

Setelahnya, aku lanjutkan perjalanan melewati jalan padat menuju arah Jalan Soekarno Hatta. Tatkala sampai di depan Pom bensin, aku dikejutkan oleh panggilan seorang bapak penjual Bakso keliling. Tukang bakso keliling yang menjadi langganan para mahasiswa di daerah sekitar Soehat Raya. Bakso yang dijual bapak tersebut memang beda dengan bakso-bakso biasanya. Barangkali, Bakso tersebut juga yang membedakan antara bakso Arema dengan bakso-bakso di daerah lainnya. Bakso yang lebih mirip es campur ataupun gado-gado. Bagaimana tidak, hanya Bakso Malang yang menyediakan jamur crispy dan ceker ayam sebagai salah satu isi Bakso. Malang mah emang gitu baksonya!.

Perjalanan berlanjut menuju arah Jembatan Soehat, di sekitaran area jembatan tersebut adalah tempat nongkrongnya anak-anak untuk menghabiskan malam. Para pedagang kaki lima biasanya membuka lapak mereka tepat setelah adzan Isya’. Selain menjajakan kopi, ada tahu petis yang menjadi menu favorit para penggila malam untuk sekedar begadang dan meghabiskan waktu bersama pasangannya (bagi yang punya pasangan tentunya). Para mahasiswa yang punya kodew seringkali memilih area ini untuk berpacaran. Kodew berarti wedok (perempuan), Malang terkenal dengan penggunaan bahasa yang dibalik ejaannya. Konon katanya, bahasa tersebut merupakan bahasa sandi yang digunakan oleh Kerajaan Singosari dalam peperangan melawan Kerajaan Gelang-gelang (Kediri).

Dari arah jembatan, motor melaju ke arah Dinoyo. Sepanjang jalan, bangunan kampus megah nan mewah yang menjulang tinggi tampak kokoh mewakili sebutan Kota Pendidikan yang disematkan untuk Malang. Dari pertigaan Dinoyo, perjalanan dilanjut menuju perempatan Jalan Veteran. Disepanjang perjalanan ada Sardo, surga belanjanya mahasiswa. Bukan karena barang yang dijual bagus dan berkualitas ataupun para pengunjungnya yang cantik nan tampan. Melainkan swalayan ini menjual barang dengan harga di bawah normal. Hal paling tidak mengenakkan di Sardo adalah perihal macet dan parkir yang penuh dengan antrian yang memanjang. Akan lebih baik jika belanja ke Sardo dengan berjalan kaki saja.
Sesampainya di perempatan Veteran, dalam lubuk hati paling dalam ingin rasanya aku arahkan motor ke kanan, ke arah Jalan Sigura-gura. Namun, hal tersebut aku urungkan karena ada kemungkinan tulisan ini akan selesai sampai disini saja. Dengan berat hati, akhirnya motor belok kiri dan melaju ke arah Jalan Ijen. Ijen yang berarti gunung, atau ijen yang berarti sendiri. Aku lebih sepakat ijen berarti sendiri, menilik banyak rumah yang menjulang tinggi namun tanpa kehidupan dan proses sosialisasi.

Di jalan Ijen, ada museum Brawijaya. Museum yang sampai hari ini belum pernah aku masuki. Pengetahuanku tentang museum itu hanya sampai pada warung kopi yang menjamur layaknya trotoar di Jembatan Soehat. Di jalan Ijen pula tiap akhir pekan biasanya menjadi lokasi Pasar Minggu dan Car Free Day. Selain itu, di Jalan Ijen biasanya tiap kali peringatan kelahiran Kota Malang digunakan sebagai lokasi Malang Tempoe Doeloe. Acara yang lebih mirip festival nostalgia kehidupan Malang di Masa Lampau.

Ada yang terlupa, dari arah veteran sebelum Ijen terdapat Mall terbohay Se-Malang Raya. Malang Town Square, perampas hak dan penumpul kegiatan ekonomi mikro masyarakat kecil. Simbol Kapitalisme terbesar di Kota Malang. (Wuiiihhh, tulisanku mendadak intelek dan seolah-olah pro rakyat kecil. Padahal ketika cewekku ngajak kesana juga tidak pernah aku tolak).
Setelah sampai di Perempatan Ijen, motor berbelok ke arah alun-alun Kota Malang. Alun-alun yang menjadi tempat wisata penduduk asli Malang. Sekitar 150 meter dari alun-alun terdapat Pasar Maling. Pasar yang menjual semua hal, kecuali makhluk hidup. Ada yang mengatakan bahwa barang-barang di Pasar Maling adalah hasil curian, mengingat barang yang dijual disana tergolong sangat murah dan lebih banyak barang second.

Dari alun-alun, perjalanan saya lanjutkan ke arah Balai Kota Malang. Balai Kota Malang merupakan surga bagi kaum selfiers. Jika anda punya teman yang pernah atau sedang hidup di Malang, bisa dipastikan ia pernah mengupload foto dengan background Balai Kota Malang.
Begitulah Malang, Malang yang dulu bukanlah yang sekarang. Malang yang dahulu terkenal dengan udara dan hawa yang sejuk kini sudah banyak tercemar dan penuh polusi. Meski begitu, Malang tetaplah Malang. Kota yang senantiasa menjadi kenangan, Kota yang sangat Nostalgiabel dan Kangenabel.

Tidak ada yang lebih baik dari menghabiskan beberapa waktu di Malang. Tentang persahabatan, kenangan dan cinta dari Malang. Berbahagialah kalian yang pernah hidup di Malang. Karena semalang-malangnya orang adalah ia yang tak pernah hidup di Malang.
Mari mampir ke gubuk derita saya di batu. Hehe