Berbincang mengenai kopi memang seperti tidak ada habisnya. Menikmati kopi merupakan salah satu kebiasaan yang digemari oleh semua orang. Baik pria maupun wanita, muda maupun tua, perjaka maupun duda. Entah, siapa orang yang pertama kali memperkenalkan (malas mencari lebih tepatnya) racikan minuman ini hingga sekarang menjadi candu yang tak kalah hebat dengan eksistensi agama.
Sebagai pecinta kopi, secara pribadi saya pernah mencoba berbagai macam kopi. Baik Robusta maupun Arabica. Baik lokal maupun internasional. Kebiasaan berpindah tempat membuat saya banyak menikmati berbagai macam kopi dari berbagai daerah.
Dari kesekian banyak kopi yang pernah saya nikmati, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya Kopi Mbah Ito di Daerah Banjarwati, Paciran, Lamongan. Ada dua hal mengapa saya menggandrungi kopi tersebut. Pertama, karena memang Kopi Mbah Ito istimewa. Kedua, karena saya warga asli Lamongan. Keturunan Mbah Lamong yang masyhur namanya hingga dijadikan nama stadion atau stasiun radio setempat.
Jika anda pernah berziarah di Makam Sunan Drajat, anda pasti melewati pertigaan Paciran. Warung Kopi Mbah Ito berada di pertigaan tersebut, samping pertigaan tepatnya (jika di tengah pertigaan pasti tertabrak kendaraan). Atau jika anda pernah ke Wisata Bahari Lamongan dari arah Surabaya, anda tentu juga akan melewatinya. Tidak usah takut salah alamat, karena hampir penduduk di sepanjang jalan pantura kenal betul dengan kopi Mbah Ito.
Asal-usul Kopi Mbah Ito tidak tertulis dengan jelas di buku sejarah atau di catatan sipil Kabupaten Lamongan. Cerita yang berkembang, dahulu kala Mbah Ito terkenal dengan es campurnya, bukan kopinya. Namun, semenjak banyak orang yang memesan kopi, es campur racikan Mbah Ito mulai luntur taringnya. Sedangkan, lambat laun kopi buatannya mulai terkenal dan banyak penikmatnya. Mbah Ito sendiri sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kini warung kopi tersebut diteruskan oleh keturunannya.
Ciri khas kopi Mbah Ito adalah pada penyajian kopi yang menggabungkan kopi halus dan kasar. Kopi kasar berada di permukaan air. Cara menikmatinya juga tidak langsung diminum begitu selesai disajikan, akan tetapi harus diaduk terlebih dahulu. Setelah diaduk, tunggu beberapa saat agar kopi kasar tersebut mulai turun ke bawah. Beberapa akan tertinggal, ampas kopi kasar yang tertinggal tersebut kemudian dibuang kepada wadah yang sudah disediakan. Cukup unik memang cara menikmatinya.
Bagi para perokok, biasanya akan mengambil beberapa ampas kopi untuk digunakan “nyepet” atau “nyethe” (Istilah nyepet umumnya digunakan oleh orang pantura. Sedangkan, nyethe lazim digunakan oleh orang pantai selatan). Umumnya, ada dua tujuan mengapa seseorang nyepet/nyethe. Pertama, karena ia ingin merasakan kenikmatan rokok berlebih. Rokok yang disepet memiliki aroma dan rasa yang berbeda dari aslinya. Lebih harum katanya. Karena bukan perokok, saya tidak terlalu paham dengan hal tersebut. Kedua, karena alasan sedang melihat wayang atau akan memancing. Maksudnya? Ini bahasa sanepan. Semacam sindiran untuk mereka yang sedang dalam program intensif penghematan dan akhirnya melakukan full cethe agar satu batang rokok habis dalam durasi 2-3 jam.
Kembali ke kopi Mbah Ito.
Harga kopi yang dijual Mbah Ito sangat terjangkau, bahkan terlanjur murah. Pertengahan 2015 lalu secangkir kopi hitam dikenai harga Rp. 2.500. Sedangkan, secangkir kopi susu berharga Rp. 3.000. Murah bukan?
Jadi, untuk anda semua warga Lamongan atau kebetulan berada di Lamongan, sempatkan untuk mencicipi cetarnya Kopi Mbah Ito. Saya pastikan 80% anda akan merasa ketagihan, 20% selebihnya anda akan dipenuhi bayangan Kopi Mbah Ito.
Leave a Reply