Dalam satu bulan ini, ruang publik kita banyak disuguhi oleh beragam kekerasan. Mulai kekerasan yang berbau agama, ras, hingga etnis dan aksi premanisme. Tentunya kasus penusukan jemaat HKBP di Ciketing Bekasi beberapa saat yang lalu masih belum hilang dalam kognisi kita. Selang berapa hari kemudian konflik berbau etnis terjadi di Tarakan Kalimantan Timur. Hingga yang terakhir ini kasus premanisme yang terjadi di Jalan Ampera Jakarta. Yang paling akhir adalah penyerangan dan pembakaran Masjid Ahmadiyah di Cisalada, Ciampea, Kabupaten Bogor pada 1 Oktober kemarin.
Peristiwa ini tentunya telah membuat jidat kita berkerut. Mencoba untuk meraba-raba apa yang salah dalam keberagaman bangsa ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki pluralitas dan budaya yang sangat beragam, namun mengapa hal seperti ini tetap saja tidak bisa terbendung? Bukankah pengikut Ahmadiyah dan HKBP juga manusia yang sama-sama memiliki hak hidup seperti yang lainnya?
Belajar dari Sejarah
Jika kita pelajari sejarah bangsa ini, kekerasan yang mengatasnamakan agama memiliki posisi yang tinggi jika dibandingkan dengan yang lainnya. Kita tentunya tidak bisa melupakan peristiwa berdarah yang menyebabkan ratusan ribu orang meninggal tanpa ada proses hukum. Puluhan ribu lainnya dipenjarakan dan dianiaya oleh oknum tertentu. Peristiwa ini terjadi 45 tahun yang lalu, namun peristiwa itu masih membekas di ingatan kita.
Pemberantasan PKI pada 1965 tidak hanya mengataskan ideologi komunis, namun yang paling kentara adalah masalah beragama dan tidak beragama. Isu yang berkembang di bawah adalah PKI anti agama, dengan demikian entitas ini harus dihilangkan di muka bumi. Atas dasar inilah ormas-ormas Islam dan militer pada saat itu melakukan pembersihan terhadap PKI dan para pengikutnya. Walaupun mereka sama-sama tidak tau siapa yang menggerakkan peristiwa itu.
Nah peristiwa 1965 adalah pelajaran paling berharga buat bangsa ini. Sejarah kemanusiaan yang harus diantisipasi dalam perkembangan bangsa ini. Jangan sampai peristiwa ini terjadi lagi di Indonesia.
Jika tidak dicegah sejak dini kekerasan atas nama agama akan terus berlanjut. Yang paling membahayakan adalah pembersihan secara besar-besaran warga Ahmadiyah di Indonesia seperti layaknya pembersihan PKI pada 1965. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi jika pemerintah tetap membiarkan kelompok-kelompok tertentu melakukan penekanan-penekanan terhadap Ahmadiyah.
Jika pemerintah mau belajar dari peristiwa ini, maka pemerintah seharusnya memberikan tindakan preventif terhadap keberadaan Ahmadiyah. Bukan malah melegalkan SKB tiga mentri yang notabenenya malah menjadi pijakan konstitusional bagi kelompok tertentu untuk mengeksklusi Ahmadiyah. Perlu diakui atau pun tidak SKB itu memiliki andil dalam peristiwa 1 Oktober itu. Putusan SKB itu memang perlu ditinjau ulang dengan pikiran jernih, supaya bisa menghasilkan hukum yang jernih pula.
Bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, yang memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk melaksanakan ibadah dan menganut kepercayaannya masing-masing. Seluruh aliran agama boleh hidup di negeri ini. Bahkan tidak beragama pun boleh hidup di Negara ini. Selama masih memiliki kepatuhan terhadap UUD. Tidak seorang pun atau lembaga mana pun yang berhak untuk membinasakan mereka. Perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik masyarakat adalah kewajiban Negara, bukan malah mengadu domba.
Gambar: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/10/05/16302034/Menyerang.Ahmadiyah..Tak.Ada.Sisi.Dakwah
http://www.muslimdaily.net/berita/lokal/6429/inilah-bukti-jemaat-hkbp-yang-tak-kooperatif
chaerudin says
agama tak lagi menarik u d kaji apa lagi islam, karena d dlm nya hanya ada kekerasan, teror, prasangka buruk, bom bahkan darah. saya trlahir sbg seorang muslim n d besarkan dlm lingkungan pesantren namun pd akhir nya saya memutuskn u memilih sbg spiritual n meninggalkn islam yg dulu saya pelajari, smua yg saya dptkn slama brtahun2 saya tinggalkn. karena sdh usang n tdk relefan dgn zaman perubahan dunia modern.