Judul: Melarat
Diterjemahkan dari: Down and Out in Paris and London
Penulis: George Orwell
Cetakan: Pertama, 2006
Penerbit: Lafadl Pustaka, Yogyakarta
Tebal: 336 Halaman
Jika Anda jalan-jalan ke toko buku dan menjumpai novel lumayan tebal di rak sastra dengan judul berupa angka 1984, itulah karya Eric Arthur Blair alias Geoge Orwell. Bagi saya, penulis ini bagus sekali untuk dipelajari orang yang ingin menjadi penulis, baik fiksi maupun ilmiah. Selain sangat rinci dalam menggambarkan suasana, ia mampu membius pembaca dengan uraian yang tak terduga. Tulisannya juga memiliki titik sejarah yang seringkali berisi protes terhadap kondisi di zamannya, kemiskinan di pinggiran Paris, lintas perkenalan dengan orang baru yang tak tergantung batas demarkasi negara dan asal usul, sampai soal bagaimana para mata-mata Bolshevik dikuntit oleh pemerintah penguasa.
1984 hanya salah satu dari sekian banyak tulisan Orwell. Dan Down and Out in Paris and London, adalah salah satu dari tiga karyanya yang bukan fiksi, dengan kata lain ini merupakan tulisan yang berlatar pengalaman nyata dan serius. Judul buku ini diubah ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Melarat. Barangkali si penerjemah atau editornya hendak memunculkan kesan utama yang dikandung karya ini secara langsung di judulnya.
Buku ini memamparkan pengalaman diri Orwell ketika ia hidup dalam kondisi miskin dan sengsara di Paris. Menjadi gelandangan di rumah-rumah singgah yang sering ia nyaris tak kuat membayarnya, hingga bekerja sebagai jongos di hotel-hotel mewah di Paris. Kemiskinan yang ia alami adalah fase di mana ia bekerja keras menjadi penulis. Honor yang ia terima dari media-media cetak waktu itu tak memberinya banyak keuntungan financial yang bisa mencukupi kebutuhan hidup. Tak ayal, ia harus menempuh sisi jalan lain, menjadi suruhan di bawah orang yang juga ada di bawah komando orang lain.
Efek Psikologis Kemiskinan
Walaupun menurut Boris, teman Rusianya itu, uang adalah hal termudah yang bisa dapatkan, bagi Orwell itu tetaplah sulit. Ia banyak bercerita tentang bagaimana ia tak makan hingga tiga hari dan menemukan dirinya sendiri terasa mengapung di langit-langit kamarnya dan tak bisa berpikir jernih tentang persoalannya sendiri. Untuk bertahan hidup, ia pinjam ke teman-temannya, mencari penghidupan lain di luar menulis, dan tentunya berniat untuk mencuri atau merampok—apalagi ketika ia tahu banyak orang melakukan itu dengan sangat sederhana.
Di bagian tertentu, Orwell secara eksplisit memunculkan realitas represif materi pada kinerja psikis, semisal rasa tidak percaya diri hingga pesimisme yang akut akibat ketidakmampuan mengakses sedikit pun nilai dari sirkulasi uang yang beredar di kota besar seperti Paris. Kondisi tempat tinggalnya yang kotor dan lingkungan kerja yang tak sesuai bayangannya sebagai orang Inggris membuatnya selalu tampak murung siang malam, hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang terlibat di keseharian hidupnya, para gelandangan dan bapak tiga anak yang ditinggal mati istrinya.
Di sudut mata yang perutnya kelaparan berhari-hari, optimisme berjarak sejauh ketidakmungkinan menyuapkan sepotong roti berlapis keju dan daging dari atas piring borjuis yang sedang sarapan di hotel bintang lima. Di sisi lain, tak jarang ia memunculkan kalimat-kalimat sederhana yang dapat dijadikan pelecut untuk mendapatkan peluang, meski itu hanya kutipan dari perkataan Boris dan tak senyata rasa lapar yang sedang bersarang dari ujung gigi hingga anusnya. “Kemenangan adalah bagi orang yang berperang paling lama.” Begitulah ungkapan Boris yang ia gambarkan sebagai orang Rusia yang terobsesi pada perang. Tak jarang pula, Borislah yang memberinya ide bagaimana cara bertahan hidup, walau di titik terendah kelas pekerja sekalipun. Bahkan pernah suatu ketika ia diajak Boris untuk berkongsi menjadi penulis pendukung gerakan Komunis bawah tanah dengan cara mencari celah pemerintahan Inggris.
Rasa lapar dan tak bisa sarapan di waktu yang tepat memang mengerikan.
Kelas sosial di dalam kelas sosial
Dalam uraiannya yang sangat lengkap, Orwell menggambarkan bahwa kehidupan tamu hotel tak pernah lebih baik dari hidup mereka di rumah mereka sendiri. Ornamen hotel memang mengagumkan, tapi jamuan yang disediakan pada mereka tak lebih bersih dari isi tempat sampah. Para koki dan petugas di atas mereka memasaknya dengan disiplin kebersihan yang tak ada sama sekali. Kebersihan adalah mitos dapur umum di mana yang lebih ditekankan hanyalah rasa dan ketepatan waktu menyajikan makanan. Sebagai jongos, Orwell paham soal itu.
Jongos merupakan kelas pekerja terendah di kelas pekerja yang memang sudah tersubordinasi sedemikian jauh di bawah. Uraian Orwell tentang kelas ini menunjukkan bahwa di kelasnya sendiri, kelas pekerja mengkelaskan diri mereka sendiri sesuai posisinya. Di atas jongos ada koki, di atas koki ada pelayan, di atasnya lagi ada semacam mandor yang kerjanya cuma teriak dan memisuhi orang-orang yang mereka anggap bawahan. Jika demikian, di mana akan ada kesamaan pikiran untuk mengusung kepentingan bersama menuntut kesejahteraan?
Irisan kelas sosial ini juga bisa dilihat secara simetris dengan para borjuis yang menjadi tamu di hotel. Saat jongos seperti Orwell bekerja seharian hingga 18 jam sehari, mereka yang berduit hanya ongkang-ongkang kaki, entah dari mana mereka dapatkan uang untuk membayar harga makanan di meja hotel yang setara dengan gaji jongos seminggu. Perputaran uang dibatasi garis kesejahteraan yang serupa dinding Berlin bagi orang yang tak mampu berpikir untuk menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur di perang dunia kedua.
Pada akhirnya, ucapan Boris terbukti, kemenangan adalah bagi mereka berperang lebih lama. Orwell menang, meski tak menjadi jutawan, ia menjadi penulis!
Edi Purwanto says
George Orwell sang pembaca Marx yang baik…