Panas terik matahari menyengat tubuh, tanda bahwa tiada lagi waktu shubuh. Kabut Mahameru mulai terkikis perlahan mengamini bahwa hari telah dimulai kembali. Dari kejauhan, Noko terlihat sedang mencuci motor kesayangannya. Mio keluaran 2009 yang senantiasa menemaninya selama enam tahun lebih.
Sejak tadi malam, ia belum memejamkan mata sedetikpun. Ia semalaman begadang untuk mengais rezeki dari Tuhan. Sekitar shubuh tadi ia baru saja pulang dari Bromo untuk mengantarkan tamu. Rombongan dari Sumatera yang baru saja berkesempatan menerima pelayanan terbaik dari Noko.
Setelah selesai membersihkan motornya, ia duduk sebentar sembari memandangi kuda besi inci demi inci. Ia perhatikan lebih detail untuk meyakinkan diri jika tunggangannya tersebut masih layak dinaiki. Meski beberapa goresan menghiasai cat warna motor yang mulai luntur ia tak sedikitpun berkeinginan mencari pengganti. Bukan karena ia tak mau mengeluarkan uang, hanya saja ia sadar jika hidupnya sekarang juga tentang masa depan.
Ponsel barunya tiba-tiba berbunyi, ada pesan dari seseorang yang selama ini sudah tidak lama menghubungi. Very, pengirim pesan yang juga temannya dahulu ketika menimba ilmu di pesantren. Dalam pesannya, Very mengingatkan Noko untuk sambang ke pesantren Kamis esok. Ada acara reuni santri sekaligus sowan ke Abah Kiai.
Noko tersenyum beberapa saat, helaan nafas lega keluar dari dalam rongga dan dada. Untungnya ia sudah mengosongkan jadwal untuk tanggal 21 dan 22 esok. Jauh-jauh hari ia sudah mengantisipasi agar bisa menikmati libur hari santri. Bernostalgia dengan ingatan tentang pesantren, hingga berkunjung beberapa saat untuk menuntaskan rindu menjadi santri di kemudian hari.
Noko kemudian masuk ke dalam rumah, menyalakan rokok sembari membaca berita di koran. Tampak ia fokus beberapa saat, membaca berita tentang megahnya peringatan hari santri. Oleh Jokowi, 22 Oktober memang ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Perayaan kirab budaya dan pesantren di gelar hampir diseluruh wilayah di Jawa. Ya, hanya di Jawa.
Dalam hatinya, ia begitu riang menyambut perayaan yang selama ini tak sempat dilirik oleh pemerintah. Meski begitu, rasa miris tak lantas hilang dari otaknya. Bagaimana tidak, Indonesia hari ini masih dalam suasana duka yang seolah tak ada habisnya. Kasus kebakaran di beberapa daerah yang tak kunjung padam, kematian aktivis pembela keadilan hingga berita mengenai tewasnya beberapa pendaki gunung menambah deretan panjang permasalahan yang harus segera diselesaikan.
Pikiran nakalnya mulai muncul, pertanyaan-pertanyaan menggilitik yang selama ini menjadi ciri khasnya. “Bagaimana jika Hari Santri diperingati dengan cara berbondong-bondong menuju Sumatera dan Kalimantan untuk memadamkan api?,” tanyanya dalam hati. Oleh teman-temannya, Noko memang identik dengan pikiran-pikiran nakal dan dipenuhi logika yang kadang tak masuk akal. Makhluk Utopis, begitu teman-temannya menjuluki.
Selang beberapa saat, ia menyibak halaman koran selanjutnya. Ada yang menarik dari berita yang disuguhkan oleh koran tersebut. Jika diawal tadi membahas mengenai hiruk pikuk peringatan Hari Santri, berbeda dengan berita selanjutnya yang membahas sebuah surat keberatan penetapan Hari Santri. Lucunya, yang mengajukan surat keberatan adalah salah satu organisasi masyarakat islam yang cukup besar di Indonesia. Menumbuhkembangkan perbedaan, melemahkan integrasi, dan memperkuat sekat dijadikan alasan.
Noko tersenyum tipis, ia menyadari jika segala kebijakan tentu tak lepas dari pro dan kontra. Jangankan mengenai penetapan sebuah Hari Nasional, penetapan pergeseran rumah saja menjadi masalah yang memanjang. Apalagi bagi masyarakat Indonesia, dengan berbagai perbedaan dan kepentingan tentu menjadikan dilema yang lebih kompleks.
Seselesainya membaca tiap halaman, ia beranjak dari tempatnya untuk mandi. Ia berjalan perlahan karena takut membangunkan teman-temannya yang masih lelap dalam dunia mimpi. Wajah-wajah penuh peluh dan polos tergambar jelas dari kerutan muka teman-temannya. Ia mandi, membersihkan diri agar lebih suci.
Tak lupa sebelum mandi ia berdoa, mengawali hari dengan dzikir untuk semua orang yang disayangi dan untuk tanah yang kini ia tempati. “Semoga semuanya diberikan kemudahan dan kebarokahan. Segala hal mampu dilewati tanpa ada yang merasa tersakiti. Dan atas izin Allah, semua hal akan baik-baik saja. Amin-amin Ya Robbal Alamin.” Noko menutup do’a.
Leave a Reply