Tetesan basah embun pagi itu masih setia seperti sebelumnya. Sekitaran dini hari tadi, Malang baru saja diguyur gerimis tipis. Ya, gerimis-gerimis manja.
Tidak seperti biasanya, pagi itu Noko terlihat sudah rapi. Nampaknya ia ada janji untuk mengantarkan seorang tamu yang akan berwisata ke Bromo. Selepas sarapan, ia tak lupa menyalakan kretek sembari nyeruput white coffe kesukaannya. Ia kemudian membuka handphone barunya. Tak lupa ia membuka media sosial yang kini juga dijadikan media promosi kerjaannya. Disana ia menemukan trending topic seputar dunia kesehatan. Para dokter baru di negeri ini sedang gundah gulana (red : galau) atas beberapa kebijakan pemerintah.
Temannya, Bram, sedari tadi terlihat gelisah mengganti channel televisi. Nampaknya, acara di televisi hari ini sedang dijejali dengan berita naiknya harga kebutuhan pokok.
Noko : Ehh, Boy. Ini para dokter baru lagi ramai di Twitter.
Bram : Emang ada apa lagi, bro?
Noko : Anu, mereka lagi geram dengan kebijakan pemerintah. Jadwal internsip atau magang mereka di undur 9 bulan, mereka juga belum dapat surat izin praktek.
Bram : Haha. Kok kayak lagi hamil aja. Terus kenapa memangnya?
Noko : Kan kasihan mereka, bro. Udah kuliahnya mahal, lama, setelah lulus malah diginiin.
Bram : Lantas? Mereka maunya gimana? Setelah lulus langsung kerja? Gak perlu nganggur beberapa waktu?
Noko : Enggak gitu juga. Maksud ane, ini Negara kan banyak orang sakitnya. Lha ada dokter yang siap membantu, kok malah di anggurin. Daripada semakin banyak pasien yang tidak tertangani atau bahkan meninggal, kan lebih baik mereka diberikan izin buat praktek.
Bram : Ane sepakat dengan itu, bro. Meskipun ane juga tidak tau rasanya jadi dokter, tapi minimal tau-lah yang namanya di-phpin. Dan juga benar statement ente tentang kondisi kesehatan di negeri ini berikut dengan para pelakunya. Tapi, coba lihat dari sudut pandang lain. Mereka ini sedang meminta hak eksklusivitas yang selama ini coba mereka pertahankan.
Noko : Hak eksklusivitas itu apa, bro?
Bram : itu Cuma nama keren yang coba ane buat sendiri, Bro. Intinya, selama ini-kan mereka ini seolah punya hak untuk tak tersentuh. Mereka punya sebuah hak tak tertulis yang tak dimiliki oleh profesi lain.
Noko terdiam beberapa saat, ia mencoba mendalami makna penjelasan temannya tersebut. Ia masih belum paham dengan kebenaran perkataan Bram. Ia juga tidak mau sembarangan, apalagi ngejudge yang mana yang benar dan yang mana yang salah.
Noko : Bro, coba kita telaah lagi. Yang mereka urus ini ndak main-main. Mereka menanggung nyawa. Kalau pasien selamat mereka tak mendapat apapun. Tapi, kalau tidak terselamatkan, mereka dicaci sampai dipidanakan.
Bram : Aku paham dan sangat sepakat. Masalah pujian dan cacian inikan hanya tentang ingin dan angan terhadap kemuliaan. Mudahnya gini, apa selama ini ada yang prihatin dengan nasib petani. Ada memang. Tapi, prihatinnya seperti apa? Apa tiba-tiba kebijakan berubah dan nasib petani ikut berubah pula sebagaimana yang dokter tuntut? Mereka minta dimengerti mengenai sibuk dan banyaknya tanggungan sebagai dokter. Tapi, apa mereka tau dan kepikiran bahwa ada profesi lain yang tak kalah urgent menyangkut perut mereka dan oleh karenanya harusnya itu perut berdzikir mendoakan para pengampunya? Itu di Televisi lagi ada berita kenaikan harga bahan pokok. Coba dipikir ulang, siapa yang selama ini paling dirugikan atas hal tersebut?
Noko : Ada benarnya juga omonganmu, Bro. Selama ini juga petani bisanya ya cuma mengeluh. Mereka pernah sih demonstrasi, tapi ya hasilnya nihil. Ini para dokter tiba-tiba mau merubah kebijakan cuma dengan media sosial. Sarjana-sarjana lain juga malah semakin menyedihkan nasibnya. Kalau Mahasiswa Kedokteran lulus jadi dokter. Lha Mahasiswa Perikanan? Mau jadi Nelayan? Ahh, yasudahlah, semoga segera ada titik temu. Sebentar-sebentar, ente kok dari tadi kayaknya terlihat tendensius gitu.
Bram : Bukan, Bro. Ane tau bagaimana rasanya jadi seorang petani dan paham bagaimana mengurus seorang dokter.
Keduanya tertawa lepas, Noko semakin sadar dan mengamini bahwa ia tidak salah dalam memilih teman. Mereka kemudian bersalaman dan saling berpamitan. Bukan, mereka bukan sedang akan berpisah. Mereka hanya membudayakan kebiasan minta doa pada orang terdekat tatkala jauh dari orang tua. Sembari berharap tuhan mempermudah tiap peluh keringat yang bercucuran.
Leave a Reply