Catatan Berbagai Tradisi Kabupaten Tulungagungan (1)
Berat poro rawoh
Wegah dipegat jaluk diwayoh
(Berat ini para hadirin, tidak mau dicerai minta diduakan)
Sajak itu penulis dengar dari teriakan bapak-bapak tukang becak saat penulis turun dari kereta api di stasiun Ngunut kabupaten Tulungagung. Penulis lantas teringat dengan kenangan masa sekolah yang sudah lebih tiga tahun penulis tinggalkan. Lebih dari sepuluh tahun penulis habiskan pendidikan dasar hingga menengah di kabupaten ini. Saat itu, hampir tiap hari penulis mendengar guyonan berbentuk sajak-sajak pantun yang membuat kita tertawa senang. Dan sampai sekarang, sepertinya itu belum banyak berubah.
Penulis masih ingat, ada banyak sajak pantun yang digunakan untuk bercanda sehari-hari, seperti Duren cangko’an, Leren rokoan (Buah durian hasil cangkok, Istirahat dulu menghisap rokok). Sajak pantun ini paling sering disampaikan setiap hari setelah capek kerja atau selesai makan. Sajak pantun yang bisa kita masukkan pada sanepan ini sangat populer karena juga menjadi propaganda sebuah iklan rokok di radio. Disebut juga sanepan karena saat seseorang nyeletuk bilang sajak pantun tersebut bisa bermakna ia mulai capek dan berharap segera istirahat dari kerjanya.
Sanepan adalah salah satu bentuk komunikasi masyarakat tardisional jawa masa lalu dengan memberikan tanda-tanda melalui bahasa kiasan, atribut, hiasan-hiasan arsitektur, pernik-pernik ritual dan lain sebagainya yang kesemua tanda-tanda itu memiliki makna tertentu. Sanepan kuno itu seperti ramalan Joyoboyo tentang masa depan masyarakat jawa dengan bahasanya: wong jowo koyo gabah diinteri (Orang jawa seperti gabah yang sedang ditapeni). Sanepan itu dimaknai dengan hiruk pikuk masyarakat Jawa sekarang yang mempunyai mobilitas tinggi, berjalan ke mana saja demi memebuhi kebtuuhan ekonominya. Kata gabah diinteri itu melambangkan kebingungan masyarakat yang ada pada masyarakat Jawa sekarang. Karena sanepan hanya menampilkan tanda-tanda membuat maknanya menjadi multitafsir.
Sanepan khas Tulungagung ini tidak hanya dalam bentuk kalimat. Banyak perilaku yang menjadi sanepan atau tanda-tanda dan mempunyai makna tertentu yang juga digunakan sebagai alat komunikasi non-verbal. Sesaat sebelum penulis bertamu ke teman lama misalnya, saat masuk pintu gerbang rumah teman, penulis melihat motor pemilik rumah diparkir menghadap pintu gerbang. Teman lain penulis lantas menjelaskan, jika kendaraan tuan rumah dihadapkan ke pintu gerbang, itu tandanya pemilik rumah punya hajat keluar. Artinya tamu yang datang diharapkan tidak lama-lama bertamu.
Berbagai bahasa nonverbal lain yang juga menjadi sanepan itu seperti juga yang muncul pada berbagai tradisi seni maupun ritual-ritual masyarakat Tulungagung. Seperti penggunaan janur dalam berbagai perayaan pernikahan, slametan, jaranan dan lain sebagainya. Menurut orang kuno, janur mempunyai makna yang diambil dari bahasa arab, yakni ja’a nurun. Artinya telah datang sebuah sinar terang. Sinar terang itu diibaratkan jalan terang yang membawa kita pada keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Ada banyak sanepan yang masih berkembang di Kabupaten Tulungagung. Sayang, penulis hanya satu malam di kabupaten ini, dan besok harus kembali ke Malang. Catatan Tulungagungan ini sebetulnya sayang jika harus dihentikan, karena Tulungagung masih menyimpan ratusan tradisi lokal, baik dalam bentuk verbal, nonverbal, nilai sampai dengan berbagai seni kebudayaan lokal yang kuat dan menarik.
Leave a Reply