Nukilan Kisah Kehidupan Seksual Suami “Wanita Sibuk”
“Sekilas orang berfikir kami bahagia, sebab kami dari keluarga yang beragama dan memahami pendidikan. Tapi sebenarnya tidak, aku harus banyak menahan diri ketika keinginan itu muncul. Terkadang aku heran kok bisa istriku seperti itu, padahal dia kan paham banyak hal, “ ungkap Udin (nama samaran) ketika menceritakan kehidupan rumah tangganya, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan seksual.
Sungguh ironis nasib yang dihadapi Udin ini. Berbeda dengan pemikiran orang yang menganggap Udin dan istrinya merupakan pasangan ideal dan bahagia, ternyata tidak. Namun Udin tidak sendirian. Banyak pasangan serupa yang harus mengalami permasalahan seperti yang dialami Udin. Sebut saja Bejo (nama samaran). Pernikahannya dengan anak salah satu tokoh agama besar di kota tempat ia dilahirkan tidak membuatnya bahagia secara seksual namun justru harus membuatnya “berpuasa memperoleh hak khususnya sebagai suami”
Kedua kisah tersebut sebenarnya mewakili ribuan permasalahan yang dihadapi “pasangan sibuk” di berbagai penjuru tanah air. Kuatnya emansipasi yang membuat wanita “lebih tinggi” baik dari sisi status sosial maupun ekonomi ternyata tidak selamanya positif. Berbagai istilah yang berpihak pada wanita dalam mensejajarkan diri dengan laki-laki, seperti istilah “kesetaraan gender” dalam praktiknya tak selalu berdampak positif.
Berbeda dengan pemahaman tradisional maupun keagamaan yang memberikan aturan ketat pada wanita untuk taat kepada laki-laki, “emansipasi” atau “kesetaraan gender” yang dipahami secara salah, dalam implementasinya justru “mengebiri’ hak laki-laki untuk mendapatkan “pelayanan khusus” sebagai seorang suami.
Tak jarang, seorang suami harus merendahkan diri sedemikian rupa hingga mengemis untuk memperolah haknya. Sebut saja yang dialami Udin. Aktivis yang masih berusia produktif ini mengaku harus “mengemis jatah” yang memang sudah seharusnya ia terima sebagai seorang suami. Untuk mendapatkan jatah “sekali main” terkadang dia harus berpuluh kali mengemis kepada “Sang Istri” yang notabene seorang wanita karier yang memiliki penghasilan dan fasilitas lebih tinggi darinya.
Ironisnya, dalam satu bulan walau ia harus “mengemis” beratus bahkan beribu kali, ia tidak akan mendapatkan jatah lebih dari tiga kali. Yang lebih ironis, dalam melakukannya terkadang Sang Istri “sekedar” menyelesaikan “ritual” semata.
“Waduh, gregeten rasane ditolak, padahal wis kepingin. Sampek heran aku karo bojoku, mosok seh ora ngerti kebutuhane wong lanang. Ini bukan sekedar syahwat tapi penolakan terhadap eksistensiku sebagai laki-laki,” ungkap Udin yang tak jarang harus membanting kursi dan pintu ketika menerima penolakan dari sang istri.
Posisi Udin sebagai seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat di kotanya membuat ia tidak berani melakukan sesuatu untuk melampiaskan “kebutuhan biologis” yang tidak dipenuhi oleh “wanita karier” yang menjadi istrinya. Jangankan selingkuh atau ke pelacuran, untuk menonton film porno yang mudah di”download” dari internet atau di beli di penjual vcd/dvd bajakan pun ia tidak mau.
Namun akibatnya sungguh mengerikan, ia justru bersikap apatis dan cuek terhadap istrinya. Baginya sang istri tak lebih dari sekedar robot yang “kebetulan” hidup bersamanya. “Konsep kesatuan dua tubuh menjadi satu daging” yang menjadi komitmen awal ketika keputusan menjalani maghligai berdua, bagi Udin hanyalah monumen di selembar kertas dan sepasang cincin serta rambu untuk tidak melakukan “perselingkuhan”
Tapi tak demikian dengan Bejo, berbeda dengan Udin yang masih membatasi reaksinya pada komitmen satu daging, ia memilih untuk bersikap yang menurutnya lebih realistis walaupun bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral. “Free seks” itulah pilihan yang ia ambil. Hak yang selama ini “diberangus” oleh istrinya, diperjuangkan dengan penuh totalitas hingga ia mendapatkannya, walau tidak dari sang istri.
Sebagai akibatnya, tak ayal lagi, lokalisasi dan beberapa hotel kelas melati menjadi pilihan bagi Bejo untuk melampiaskan hasrat yang menurutnya merupakan hak yang harus diperjuangkan. Tak ingin jatuh ke dalam “formalitas” dalam melakukan hubungan seks, dalam memilih pasanganpun Bejo bertindak selektif. Ia memilih tipe wanita yang benar-benar dapat “memenuhi haknya yang terampas”.
Bejo “benar-benar” merasakan sebagai laki-laki yang “mendapatkan haknya” dari para perempuan yang dianggap pengganggu dan perusak rumah tangga tersebut. Walau harus mengeluarkan sejumlah uang yang sebagian berasal dari kocek istrinya, Bejo benar-benar bebas dari keberadaan diri sebagai “pengemis jatah” dihadapan “Sang Istri” yang jauh lebih berdaya dari dirinya.
Nukilan kisah di atas merupakan gambaran dari permasalahan yang banyak melibatkan pasangan sibuk di seluruh penjuru tanah air ini, bahkan penjuru dunia. Perselingkuhan, pemerkosaan dan beragam penyimpangan seksual lainnya hanyalah dampak dari “implementasi komitmen pernikahan” yang dibangun “pasangan sibuk’ ketika memutuskan untuk membangun sebuah rumah tangga.
Hendaknya ini menjadi cermin bagi “wanita sibuk” untuk tetap menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri. “Jatah biologis” bagi sang suami haruslah disadari bukan sekedar “gesekan fisik” namun melibatkan totalitas diri seorang laki-laki. Penolakan yang dilakukan, apalagi dengan cara dan perkataan yang tidak sepatutnya bukan hanya sekedar penolakan terhadap “keinginan biologis” namun juga penolakan terhadap “otoritas” seorang suami sebagai kepala rumah tangga.
Emansipasi dan supremasi ekonomi ataupun sosial yang dimiliki hendaknya tetap diletakkan pada koridor religius dan kearifan lokal ketimuran yang mengamatkan “pengabdian dan ketundukan” seorang wanita kepada suaminya. Satu hal yang harus disadari, kehebatan seorang istri bukan saja ketika ia mampu meraih kedudukan atau prestasi yang menyamai bahkan melebihi suaminya tapi justru terletak pada bagaimana ia mampu “menundukan dan mengabdikan diri” kepada sang kepala rumah tangga (*)
nurdin says
yup.setuju.
shopi says
Tidakkan terpikir untuk mendudukan persoalannya secara benar sehingga yang terpikir bukan dengan melampiaskan nafsu kpd objek lain tetapi :
1. mencari penyelesaian dengan melibatkan pihak lain
2. membuat kesepakatan
Jika semua itu sudah dilakukan dan tidak jalan maka, tetap bukan lokalisasi yang dituju tp putuskan lanjut atau terus.Itu jika logika yang dipakai bukan nafsu
sufipunk says
Gw setuju bget tuh shob….