Judul : Rezim Baru ASEAN : Memahami Rantai Pasokan dan Masyarakat Ekonomi ASEAN
Penulis : Edy Burmansyah
Penerbit : Pustaka Sempu
Tahun: 2014
ISBN : 978-602-8384-83-4
Buku ini dipersembahkan untuk Pramoedya Ananta Toer dan Bonnie Setiawan yang mengajari Penulis bagaimana agar menjadi manusia yang tidak punah sia-sia. Sepertinya penulis memang pengagum berat Pramoedya, terlihat dari beberapa kutipan Pram yang ia cuplik.
Isu utama yang diangkat pada buku ini adalah tentang rantai pasokan dan Masyarakat Ekonomi ASEAN/ ASEAN Economic Community (AEC). Dalam AEC, blueprint integrasi ekonomi kawasan disetarakan dengan percepatan liberalisasi. Liberalisasi yang pada mula sifatnya merupakan pembuka pintu bagi masuknya barang dan investasi asing ke dalam satu Negara, kini dikunci ke dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas.
Perdagangan abad 21 mengalami pergeseran paradigma; dari perdangan barang-barang (trade of goods) yang populer pada abad 20 menuju ke perdagangan tugas-tugas (trade of tasks). Trade of tasks menciptakan pebagian kerja baru yang memadukan dan memfasilitasi sejumlah tugas yang terbagi atas kontrol birokrasi perusahaan-perusahaan multinasional, pertukaran-pertukaran pasar, jaringan sosial perusahaan-perusahaan subkontrak, serta jaring rumit keuangan. Sitem perdagangan ini belakangan dikenal dengan istilah ‘perdagangan rantai pasokan’ (supply chain trade).
ASEAN Economic Community 2015
Setelah krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara, KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003, menyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri dari ; ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Sosio-Culture Community. Disamping itu, ASEAN juga secara agresif membuat berbagai Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/ FTA) dengan sejumlah negara-negara mitranya.
Pada tahun 2006 di Malaysia, pertemuan para menteri ekonomi ASEAN bersepakat mengembangkan ASEAN Economic Community Blueprint sebagai panduan pelaksanaan AEC, yang memuat jadwal strategis dan tenggang waktu pelaksanaanya. Pelaksanaan AEC dipercepat dari sebelumnya tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada tahun tersebut, AEC dibangun dalam empat pilar utama yaitu; single market and production base, high competitiveness, equitable growth, economic integration to the global economy.
Pada KTT ASEAN ke 13 di Singapura tahun 2007, para kepala negara/ pemerintahan anggota ASEAN menandatangani cetak biru masyarakat ekonomi ASEAN (AEC Blueprint) dan piagam ASEAN ( ASEAN Charter). Piagam ASEAN yang ini merupakan dokumen konstitusional yang memuat norma-norma, hak-hak dan kewajiban serta sejumlah kekuasaan dalam proses legislatif, eksekutif, dan yudisial yang wajib diratifikasi oleh seluruh negara anggotanya. Dengan mulai berlakunya Piagam ASEAN pada tahun 2008, resmilah ASEAN menjadi sebuah rezim baru perdagangan bebas.
ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi akan membuat negara-negara anggotanya lebih kompetitif. Dengan mekanisme dan langkah-langkah baru, pelaksanaan inisiatif ekonomi akan lebih kuat. Integrasi kawasan di sektor prioritas juga semakin erat. Pergerakan para pelaku usaha, tenaga kerja terampil akan difasilitasi. Dengan demikian, ASEAN secara kelembagaan akan semakin tangguh.
Pasar tunggal dan basis produksi ASEAN terdiri atas lima elemen inti yaitu arus barang yang bebas, arus jasa yang bebas, arus investasi yang bebas, arus modal yang lebih bebas dan arus tenaga kerja terampil yang bebas. Untuk memastikan realisasi AEC pada 2015 tepat waktu, ASEAN membentuk mekanisme monitoring AEC Scorecard. AEC scorecard berfungsi sebagai alat pemantau dan pelaporan kemajuan pelaksanaan berbagai langkah yang ditempuh negara-negara AEC. Instrumen tersebut juga sebagai media untuk mengidentifikasi kesenjangan implementasi dan tantangan yang dihadapi dari masing-masing Negara.
Mendekati 1 Januari 2015, Sekjen ASEAN Le Loung Minh mengatakan upaya ASEAN mewujudkan integrasi ekonomi telah mencapai 80%. Sedangkan Indonesia sendiri, telah menyelesaikan 84,4 % dari empat pilar AEC. Dari sepuluh Negara ASEAN, bersma Laos, Indonesia tergolong Negara yang rendah tingkat implementasinya. Singapura adalah negara yang menempati posisi tertinggi dengan tingkat implementasi sebesar 89,9 %, selanjutnya disusul Vietnam sebesar 89,0 %.
ASEAN Supply Chain
Sistem produksi modern menuntut manajemen rantai pasokan yang efisien untuk memungkinkan lebih rendahnya biaya pergudangan, pengolahan, standar produksi, pengiriman just in-time dan biaya logistik. Pembentukan AEC merupakan upaya serius ASEAN untuk menanggapi tuntutan tersebut. Langkah yang ditempuh adalah fasilitasi arus barang, jasa, lalu lintas tenaga kerja terampil dan investasi. Penegasan pembentukan AEC sebagai pelibatan penuh ASEAN ke dalam rantai pasokan global dinyatakan pada KTT ke-19 di Bali tahun 2011.
Perdagangan rantai pasokan, mendorong korporasi-korporasi yang berbasis di negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memindahkan produksi yang semula berada di negara-negara berupah rendah di Amerika Latin dan Asia, digantikan ke dalam jaringan produksi dan sumber regional. Hal ini yang menjelaskan mengapa kini globalisasi berkembang kea rah regionalisasi. Kini, jalur regional semakin dipilih sebagai cara yang paling serius ditempuh oleh banyak negara, terutama bila melihat Amerika Serikat yang getol membangun “mega regional” seperti Trans Pasific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) yang didorong oleh ASEAN dan enam Negara mitranya yaitu Australia, Cina, India, Japan, Korea, dan Selandia Baru.
Dampak AEC Terhadap Indonesia
Dalam buku ini, Burmansyah mengutip penelitian yang dilakukan Kementrian Keuangan yang menyatakan berbagai dampak bagi Indonesia. Liberalisasi ASEAN berdampak terhadap peningkatan volume perdagangan Indonesia. Sayangnya impor lebih tinggi dari ekspor. Sementara itu, PDB dan investasi menunjukkan terjadinya peningkatan, namun kenaikannya masih kecil jika dibandingkan negara yang lainnya. Di bidang pasar modal, masih terdapat masalah perbedaan tingkat keterbukaan dan integrasi pasar modal, serta disparitas tahapan pertumbuhan pasar saham di negara-negara ASEAN yang ujungnya menghambat integrasi pasar modal ASEAN.
Hasil simulasi terhadap tingkat kesejahteraan menunjukkan terjadinya kenaikan tingkat pendapatan faktor (tenaga kerja dan modal) maupun pendapatan rumah tangga. Di sisi lain, terdapat tendensi kenaikan harga barang konsumsi. Terkait dampak terhadap pendapatan faktor, Indonesia hanya mengalami dampak positif pada tenaga kerja dan modal. Sementara penelitian terhadap industry manufaktur, menyimpulkan bahwa tidak memberikan dampak trade creation bagi permintaan industri manufaktur Indonesia.
Nampaknya buku ini memang ditujukan bagi akademisi ilmu ekonomi, dengan demikian sebagai orang awam akan kurang bisa mencerna bentangan data dan istilah asing yang dipaparkan. Bagaimanapun, buku ini sangat informatif. Data yang disajikan begitu dalam, memberikan gambaran untuk menghadapi MEA di masa mendatang serta menyadarkan sisi positif dan negatif MEA bagi Indonesia.
Leave a Reply