AKHIR 2010 lalu, pedagang pada tiga pasar di Malang Raya disibukkan dengan isu revitalisasi. Salah satu pasar yang akan dipoles pemkot setempat adalah Pasar Besar Batu, selain pasar Blimbing dan Dinoyo. Pedagang Pasar Besar Batu yang terhimpun dalam Himpunan Pedagang Pasar Batu dibuat khawatir atas rencana revitalisasi tersebut.
Isu tersebut telah menjadi wacana kota Agropolitan tersebut sejak 2007. Isu tersebut dikaitkan dengan Rencana integrasi Kota Wisata Batu dengan aneka obyek wisatanya. Lokasi pasar yang strategis, yakni berada di sekitar Jatim Park I dan II, Kebun Petik Apel Kusuma Agro Wisata, Taman Wisata Selecta, dan Batu Night Spectacular, merupakan tawaran untuk meraup pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah.
Secara spontan, para pedagang sempat melakukan dengar pendapat pada 2007. Namun, hingga kini seolah tidak menunjukkan kejelasan. Pemkot Batu sempat mengalokasikan anggaran Rp 20 miliar untuk renovasi tersebut. Namun, isu tersebut menguap karena infrastruktur dan perencanaan yang tidak matang.
Kekhawatiran pedagang pasar juga dipicu pengalaman penanganan pemerintah Kota Batu sepanjang mereka mengadu nasib di sana. Hal itu tergambar melalui insiden kebakaran yang terjadi pada 1982. Saat itu, para pedagang tradisional berdagang di sekitar alun-alun Pemkot Batu sekarang. Kebakaran tersebut disinyalir berhubungan dengan rencana Pemkab Malang (sebelum pemekaran Pemkot Batu) membangun alun-alun Kotatif Batu. Namun, hingga kini tidak jelas penyebab dan motif terjadinya kebakaran tersebut.
Para pedagang akhirnya direlokasi di Pasar Temas yang kini dikenal dengan Pasar Besar Batu pada 1984. Namun, Pemkab Malang hanya membangun gedung permanen pada bagian luar pasar saat tersebut relokasi. Sedangkan pedagang unit I dan II yang menempati bagian dalam membangun sendiri kios mereka dalam bentuk lapak kayu. Pemerintah terbentur anggaran dalam hal ini.
Namun, tiga belas tahun pascarelokasi tersebut lagi-lagi terjadi kebakaran yang menghanguskan unit I dan II. Pemkab Malang tidak mampu merenovasi bangunan pasar karena alasan yang sama, keterbatasan anggaran. Akhirnya, pedagang menghutang kepada Bank Jatim melalui Koperasi Pasar (KOPAS) sebagai media peminjaman modal untuk pembangunan untuk jangka waktu 5 tahun. Artinya, pedagang membangun kembali unit I dan II dengan swadaya (1997-2001). Bahkan, pada tahun 2000, seluruh pedagang Unit I dan II telah mengantongi Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) hak guna pasar selama 20 tahun. Masa berlaku SPK tersebut Unit I dan II habis pada 2020. Namun, posisi mereka sangat lemah bila berhadap-hadapan langsung antara negara dengan rakyat.
Perencanaan Sepihak
Sedangkan amanat Perpres 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern juga tidak memihak kepada pedagang pasar. Demi kepentingan umum pemkot, perpres tersebut menghalalkan pembangunan secara sepihak.
Pascatiga tahun sejak isu pembangunan pasar tersebut, Pemkot Batu mulai melakukan perencaan terkait revitalisasi pasar. Setidaknya, hal itu tampak pada beberapa agenda yang tersusun rapi di meja Pemkot Batu. Salah satunya, pertengahan 2010 lalu, beberapa wakil HPP diajak melakukan studi Banding ke Thailand. Sekitar bulan Juni 2010, salah satu lembaga melakukan sosialisasi dan survey kondisi pedagang di Pasar Besar Batu.
Bahkan, pascasurvey tersebut, sekretariat daerah Kota Batu mengundang perwakilan HPP pada presentasi site plan. Gagasan Pemkot Batu melalui revitalisasi tersebut membuat hati para pedagang miris. Sebab, kompleks area pasar seluas 4,2 hektar yang akan dibangun sangat tidak proporsional. Pasar modern dan trade center diberi porsi 75 %, sedangkan sisanya diperebutkan oleh pedagang tradisonal.
Tradisional Dikalahkan
Pertumbuhan pasar modern memang mengalami tren peningkatan. AC Nielsen pada 2006 merilis pasar tradisional menyusut 8,1 persen per tahun dan pasar modern tumbuh 31,4 persen per tahun. Nah, pada 2007 pertumbuhan pasar modern makin pesat hingga mencapai 37 persen per tahun sedangkan pasar tradisional menyusut 8,1 persen per tahun.
Tak pelak, kondisi tersebut menyudutkan posisi pedagang pasar. Belum lagi, mereka dihadapkan secara vis a vis terhadap keberadaan pasar modern tersebut. Bahkan, kompetisi pasar modern dan tradisional tersebut sudah mengarah pada hal yang tidak seimbang. Sebab, kontestasi harga yang ditawarkan pasar modern lebih murah. Fasilitas yang disediakan pun lebih bersih dan nyaman dengan jaminan kesehatan yang diawasi secara ketat. Pasar modern unggul lebih jauh dibanding tradisional.
Memang benar, kehadiran pasar modern mendorong peningkatan aktivitas ekonomi karena meraup untung dari beberapa kelas masyarakat konsumen. Ada proses tawar menawar sehingga hukum penawaran-permintaan tetap seimbang. Selain itu, pasar modern menyerap tenaga pengangguran masyarakat.
Pemerintah memang telah membuat aturan pengelolaan pasar tradisional. Peraturan Presiden 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern tersebut memberi kewenangan sepenuhnya kepada kabupaten/kota untuk menata dan mengatur pasar tradisional dan modern. Bahkan, pasal 2 dan 3 menyebut bahwa lokasi pendirian pasar tradisional dan pasar modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/kota, termasuk zonasinya.
Namun demikian, pada kenyataannya banyak terjadi kasus pemberian izin pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern di berbagai daerah justru menimbulkan dampak negatif. Terutama bagi keberlangsungan pasar tradisional. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan lokasi pendirian pusat perbelanjaan justru menyalahi rencana tata ruang suatu daerah. Disamping itu, pemberian izin terhadap pasar modern terkesan sangat mudah dan mengabaikan analisa dampak Iingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampaknya bagi pedagang kecil dan pasar tradisional disekitarnya.
Sehingga, Pemprov Jatim menerbitkan Perda no 3/2008 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Provinsi Jawa Timur. Namun, perda itu bak bertepuk sebelah tangan karena belum ditindaklanjuti oleh sebagian pemerintah daerah di lingkup Provinsi Jatim, termasuk Pemkot Batu. Sehingga, wajar saja kalau tren kenaikan pasar modern tersebut selalu naik karena kepedulian pemerintah daerah atas pasar tradisional sangat kecil. Pada kondisi seperti ini, para pedagang pasar atau pelaku pasar tradisional sangat sabar dalam menghadapi hegemoni pasar modern.
Lain halnya dengan regulasi akses permodalan yang disediakan bagi pedagang pasar tradisional. Pemerintah pusat memang telah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. KUR yang digagas Kementerian Koperasi dan UKM menggembar-gemborkan persyaratan kredit yang sangat mudah. Yakni tanpa agunan dan cukup menyerahkan KTP, Kartu Keluarga, dan surat keterangan usaha dari kelurahan setempat. Rata-rata pengembalian tiga tahun dengan bunga 16-24 persen per tahun. Beberapa bank telah ditunjuk untuk menangani pengucuran kredit tersebut.
Namun, kenyataannya sangat mengecewakan. Beberapa bank sebagaimana dikeluhkan para pedagang HPP Batu tetap memberi syarat agunan kepada pedagang. Sementara, pemerintah yang mengetahui penyimpangan tersebut menutup mata.
Terkait dengan bunga kredit pinjaman tersebut, apabila dibandingkan dengan kredit usaha kerakyatan sejenis, misal kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), jelas sangat tidak berpihak kepada pengusaha kecil. KUPS yang digagas kementerian pertanian tersebut memberikan bunga modal 6 persen per tahun. Lagi-lagi, para pedagang sangat sabar menghadapi tantangan semacam itu.
Harapan Pedagang
Pasar tradisional telah menjadi tumpuan bagi para petani, peternak, atau produsen lainnya sebagai pemasok. Oleh karena itu, pasar tradisional harus dibenahi. Sesuai amanat Perpres 112/2007 tersebut, pembenahan tidak semata pada penampilan fisik atau desain kios-kios yang ada, tetapi menyangkut semua aspek yang selama ini menghambat kemajuan pasar tradisional. Di antaranya adalah pembenahan manajemen.
Dalam konteks wacana revitalisasi Pasar Besar Batu, pemkot Batu tidak seharusnya sembunyi-sembunyi dalam mengungkapkan gagasannya. Pemkot Batu harus mengajak para pedagang untuk duduk bersama demi kepentingan bersama pula. Termasuk melibatkan pihak ketiga sebagai operator lapangan pengelola pasar. Keresahan para pedagang pasar adalah karena sosialisasi dan tranparansi yang tertutup.
Pada 2013 mendatang, masa berlaku RTRW Kota Batu akan habis dan direvisi untuk sepuluh tahun mendatang. Jangan sampai nanti pembangunan pasar yang sudah menabrak banyak aturan dan tidak berpihak kepada masyarakat tersebut akan dilegalkan melalui RTRW yang baru. Sebab, bagaimanapun juga, para pedagang pasar itu adalah warga setempat yang dijamin oleh konstitusi untuk mendapat penghidupan yang layak.
SUMBER GAMBAR: http://irwankhalis.blogspot.com
Leave a Reply