Diskusi reboan malam itu tergolong berbeda. Diskusi kali ini menggunakan pemateri (pemantik) panel, ada sekitar tujuh kepala yang ditunjuk untuk mengupas problematika Pemuda, Radikalisasi Agama, dan Gerakan Terorisme. Rintik hujan menambah khazanah kesenduan forum yang memanas beberapa kali. Apalagi, beberapa kalangan tua juga turut berpartisipasi yang sudah barang tentu semakin memanaskan keadaan.
Pemateri pertama adalah Ulul Albab Permata Arsy. Ia menjelaskan buku atau jurnal berjudul “Arus Islam” garapan Nadjib Aska. Memulai pembicaraannya, Arsy menjelaskan seputar definisi pemuda dalam menurut Undang-Undang. Berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memiliki rentan usia antara 20-30 tahun. Selain itu, dijelaskan pula pengertian pemuda secara kontekstual berikut perbedaannya dengan remaja. Arsy menekankan bahwa pemuda bukanlah remaja, ia menggarisbawahi bahwa cabe-cabean haram dikatakan pemuda. Mengapa? Karena mereka adalah aliansi remaja cengeng dalam konteks kekinian.
Sekitar tujuh menit pasca penjelasan pemuda, ia mulai merambah fenomena radikalisme kaum pemuda yang hari ini sudah menjajaki segala lini kehidupan. Lebih dalam, ia menambahkan bahwa kaum muda berperan sebagai frontman atau garda terdepan dalam upaya menjatuhkan tirani yang menurutnya keliru. Pemikiran tersebut diakibatkan oleh ideologisasi tentang harapan pendirian Negara Islam oleh para ustadz atau murabbinya.
Dalam arah pergerakan untuk menjatuhkan pemerintahan, para pemuda menggunakan gerakan “ngepop”. Gerakan ini dapat dikatakan suatu gerakan turunan dari gerakan K-Pop atau gerakan hot-hot pop. Maksudnya? Gerakan ngepop bagi kaum radikal muda adalah gerakan yang menitikberatkan pada suatu fokus yang memanfaatakan sumber daya manusia, sumber daya teknologi maupun sumber daya alam. Penggunan sumber daya manusia dilakukan dengan menempatkan orang-orang yang kemudian disebut “orang yang ngehits” atau yang teridentifikasi sebagai golongan yang kece sejak lahir. Sedangkan, pada penggunaan sumber daya teknologi digunakan sebagai penguat dan penyebar paham yang mereka ingin besarkan. Seperti pemanfaatan website atau media sosial yang kian menancap kuat di masyarakat, khususnya kaum remaja dan pemuda.
Kampanye lewat media sosial merupakan salah satu metode efektif dalam penyebaran paham radikalisme di Indonesia. Sebagai informasi, masyarakat Indonesia adalah pengguna medsos terbesar di dunia mengalahkan negara empunya. Penyebaran informasi melalui facebook, twitter, instagram, line, path, maupun pesan singkat tak lepas dari budaya anak gaul Indonesia yang suka dengan cekrek sana cekrek sini. Contoh nyata dapat dilihat dari penggunaan metode cekrek sana cekrek sini dengan background tank, senjata, atau bendera salah satu organisasi ataupun perkumpulan mereka.
Nadjib Aska kemudian membedakan gerakan muda radikal islam ini menjadi 3, yaitu dinamika sosial politik menuju demokrasi, reformasi gerakan Islam, dan tingginya tingkat penggangguran. Selain membedakan gerakan muda radikal, Najib Aska juga membagi 3 varian gerakan Islam radikal yang meliputi aktivisme jihad Islam jihadi, soleh dan salafi, serta gerakan politik.
Arsy kemudian menjelaskan bahwa aktivisme Islam jihadi ialah suatu gerakan radikal yang memiliki arah meninggalkan gerakan yang bersifat politik dan bertujuan untuk mendirikan negara sendiri. Mereka mulai menyebarkan dan melaksanakan ajarannya dengan ritus-ritus kegiatan pribadi dan kelompok. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa gerakan soleh dan salafi dilakukan lewat pemurnian gerakan yang berporos pada peningkatan iman dan takwa tiap individu. Sedangkan, gerakan politik difokuskan pada pembebauran ajaran radikal dalam sistem politik pemerintah.
Untuk menambah kekuatan materi, Arsy memberikan beberapa contoh nyata gerakan radikal seperti keaktifan partai politik PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dalam pemerintahan. Ia menambahkan bahwa menurut LIPI, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) merupakan salah satu penyebaran paham radikalisme di tingkat mahasiswa. Selain kedua contoh tersebut, Arsy juga menegaskan bahwa dalam bukunya, Nadjib Azka menyebut gerakan di Poso, Ambon sebagai salah satu contohnya.
(Bersambung . .)
Sumber gambar: http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/images/preview/20130330_Aksi_Milad_KAMMI_4036.jpg
Penulis: Mardi Tanto