Pesantren merupakan institusi pendidikan non formal yang secara kualitatif mengedepankan misi perbaikan akhlak dan kepribadian. Pendidikan yang memegang teguh ta’dhim dan sopan-santun menjadi ciri khas yang mustahil ditemukan di tempat lainnya. Yang awalnya terpaksa menjadi biasa, yang mulanya mengikat malahan akhirnya memikat.
Hidup di dunia pesantren merupakan sebuah nikmat yang tak mungkin bisa dilupakan. Perihal belajar seluk beluk hidup dibawah naungan instansi agama, menjadikan seseorang lebih baik dan bijaksana. Mengambil kebiasaan baru yang baik, beriringan dengan meneruskan kebiasaan lama yang masih apik. Biasanya sih ya, biasanya. Ada kok beberapa santri yang setelah graduate malah keblinger.
Jika kamu pernah jadi santri (mondok), kamu pasti punya kenangan yang terkadang lucu ketika lewat diingatan. Beberapa hal konyol yang membuat hati tersenyum sendiri atau juga membuat kepala tunduk pada memori. Berikut adalah beberapa hal yang hanya pernah dirasakan oleh mereka yang pernah menjadi santri. Eits, santri pesantren loh ya. Bukan Santri Mbah Google atau Santri Kaskuser.
Kewajiban Memakai Sarung dan Kopyah
Menjadi sebuah keharusan jikalau seorang santri identik dengan kopyah dan sarung. Setelan style tersebut bak almamater wajib. Tak hanya di dalam pondok, pakaian tersebut juga wajib dikenakan ketika keluar dari pondok. Namanya juga santri, beberapa dari mereka yang mokong sudah mempersiapkan celana pendek di dalam sarungnya. Sebagai persiapan nanti ketika jalan-jalan di Alon-alon, pasar atau Ramayana.
Mengamini Takzir
Secara definitif, bagi santri, takzir ialah kiamat sughra yang datangnya terlalu dini. Takzir tak ubahnya rindu, ia datang setiba-tiba mungkin tanpa mau tau. Bagi santri, keberadaan takzir pada akhirnya memunculkan stigma negatif kepada pengurus. Meski sudah sama-sama tau jika takzir berfungsi agar para santri disiplin, gak jarang kok para santri ini keceplosan mengumpat pengurus.
Satu hal yang pasti mengenai takzir, ia tak pernah memberikan kelonggaran atau dispensasi. Contohnya; Rambut panjang tentu kena petal, tanpa mau tau bahwa isi dompet tak lagi tebal. Tapi, yang namanya santri, ditakzir berapa kalipun tetap saja diulangi. Memangnya, mana ada yang mau melewatkan Final Liga Champions?
Merajut Kebersaman dalam Ro’an
Ro’an adalah nama keren kegiatan yang berkutat dalam upaya menyucikan diri dan lingkungan. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebulan sekali di Jum’at pagi. Kegiatan inilah yang semakin menguatkan fatwa jika menantu idaman ialah santri. Fasih ketika nderes, lancar ketika maknai kitab, dan juga suka menjaga kebersihan.
Makan Bareng di Nampan Besar
Makan bareng di nampan besar adalah metode ampuh menguatkan tali persaudaraan. Makan bareng tak mengenal batasan. Semua sama. Baik anak jenderal atau anak nelayan, baik yang dirumah jadi anak gedong atau yang jualan jamu gendong, baik yang berasal dari Jawa atau Papua, tidak ada perbedaan. Merujuk pada sebuah maqolah perbedaan yang ada pada makan bersama adalah “semakin besar tanganmu, semakin kenyang pula perutmu.”
Godaan Ngaji Shubuh
Tidur ketika ngaji ba’da Shubuh adalah kesalahan paling sengaja. Beberapa dari santri memilih untuk tetap ikut ngaji meski pada akhirnya memejamkan mata. Sementara beberapa yang lain malah memilihi untuk tidur di toilet pojokan. Keterpaksaan seperti inilah yang ketika sudah keluar dari pondok paling dikangeni. Segala pernak-pernik mengaji yang tak mungkin begitu saja lewat dari memori.
Antrean Mandi yang Menjadi Kebiasaan Sehari-hari
Sebelum ada fenomena antrean sembako atau BPJS memanjang yang lagi menjadi tren masa kini. Di Pesantren terlebih dahulu sudah ada antrean yang panjangnya tak ketulungan. Antrean mandi di pagi dan sore hari adalah bukti shahih bahwa kesabaran juga diajarkan dalam proses pembelajaran karakter di pesantren. Dan yang harus digarisbawahi adalah seorang santri tau betul bagaimana etika orang mengantre, tanpa chaos atau saling sikut.
Malas Balik Pondok
Fakta ini terjadi ketika sedang liburan. Para santri yang kembali ke rumah biasanya akan malas untuk kembali ke pondok. Mereka seolah enggan untuk kembali menjalan rutinitas di pesantren.
Roti-roti, trasi-trasi. Wingi-wingi, saiki-saiki. Jika dahulu ada keengganan untuk kembali ke pesantren ketika liburan, sekarang malah mereka yang sudah keluar ingin menghabiskan waktu libur di pesantren.
Ghosob Adalah Kelaziman
Semua orang tau bahwa ghosob termasuk sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh agama. Namun, bagi santri, ghosob bak riak yang selalu ingin dicicipi. Hebatnya, selama ini tidak ada kasus persidangan akibat perkelahian karena ghosob. Bandingkan dengan kasus yang menimpa Nenek Asyani, hanya karena mengambil kayu jati untuk bahan bakar memasak, ia terpaksa tidur di balik jeruji. Agaknya pemerintah harus belajar dari para santri. Ini Indonesia, Pak. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan hukum. Musyawarah mufakat itu ciri demokrasi. Apa mendingan diganti khilafah saja?
Tatto itu Bernama Gudik
Sudah menjadi rahasia umum jika gudik merupakan salah satu label sahnya seorang santri. Penyakit kulit yang cukup menjijikkan ini seperti sebuah hal yang tak tabu untuk diperbincangkan atau diperlihatkan. Dan luar biasanya, meski pernah kena gudik, nyatanya para santri juga pada akhirnya menikah. Gak ada tuh yang ngejomblo selamanya.
Seganteng-gantengnya Kamu, Sekeren-kerennya Kamu, Tetep Tunduk di Hadapan Kiai
Biasanya dalam suatu pesantren pasti ada idola ataupun santri paling ditokohkan. Syarat menjadi idola sebenarnya tak sulit. Cukup dengan fasih mengaji, pintar maknai, taat pada pengurus dan tak pernah melirik santriwati. Meski begitu, mereka yang katanya ganteng ataupun keren atau apalah itu bakalan nunduk ketika dipanggil Abah Kiai. Apalagi karena habis membuat masalah.
Kisah Cinta Santri
Mereka yang berpikiran jika santri hanya bisa ngaji dan tak pernah merasakan jatuh hati tentu harus segera diceramahi dan ditindaklanjuti. Jangan salah, kisah asmara di pesantren melebihi romantisme cinta yang dibangun Martin Heidegger dengan Hannah Arendt.
Saling mengirim surat lewat teman sekamar atau sekedar menitipkan salam lebih dari cukup untuk mengganti kerinduan. Karena cinta seorang santri bukan berkutat pada seberapa sering berjumpa, melainkan seberapa dalam kalimat rindu yang terucap lewat do’a.
Begitulah serba-serbi menjadi santri. Segala hal yang dirasa memberatkan pada akhirnya menjadi kenangan yang tak bisa dilupakan. Pandangan kolot dan kuno tentang santri perlahan bergeser menjadi cerita yang makruh diakhiri. Karena menjadi santri tak hanya belajar mengaji, tapi juga belajar untuk saling memahami. Ada rasa yang tak mungkin untuk dilupa, ada cinta yang mustahil hilang begitu saja.
Dan untuk menutup tulisan ini, mari mengirimkan Fatihah kepada para Kiai. Terima kasih, Abah. Sudah sabar dan mau menerima kami. Jika waktu bisa diulang lagi, kami tak akan pernah ragu untuk kembali. Kami bangga menjadi santri.
Leave a Reply