BULAN September ini, 40 tahun lalu. Tubuh ringkih Jimi Hendrix akhirnya lungkrah juga. London, kota hujan, dingin, dan membosankan itu memeluk jasad sang maestro selama-lamanya. Dia mati pada usia amat belia; 27 tahun.
Dini hari itu 18 September 1970. Tidak pernah terbayangkan gitaris dan penulis lagu terbesar sepanjang umur bumi itu, akan mangkat. Pacarnya, Monika Dannemann pun tak pernah menduga. Malam itu si gadis Jerman hanya ingin mengantar Hendrix pulang ke flat mereka di Samarkand Hotel, 22 Lansdowne Crescent, kawasan Notting Hill, London.
Apalah lacur, tanpa diketahui, Hendix menenggak sembilan butir Vesparex. Dokter memang sengaja menulis resep obat terkutuk itu mengurangi rasa resah yang selalu menggelayuti malam-malam si Foxy Lady. Tubuh manusia, kata sang dokter, hanya mampu menerima setengah tablet saja tiap harinya. Namun sang bintang rupanya tidak tahu betapa kuat obat produksi Jerman tersebut.
Tidak hanya jagat musik rock yang guncang atas berita duka itu. Seluruh dunia juga kaget luar biasa. Kematian Hendrix yang begitu dini tidak bisa diterima. Dunia menuduh Monika secara langsung dan tak langsung bertanggungjawab akibat lalai mengawasi. Mungkin dunia hanya sedih karena kehilangan aset terbesar. Maka Monikalah yang akhirnya disudutkan.
Jagad tak akan pernah melihat Hendrix menghasilkan nada-nada surga seperti Little Wing lagi. Lagu kemarahan, pembakar adrenalin, Fire tidak akan terlahir kembali. Stone Free, Hey Joe, Purple Haze, The Wind Cries Mary, mustahil ada kelanjutannya. Raja Psychedelic Rock dari Seattle itu sudah berhenti menulis selama-lamanya.
Sayang sekali. Padahal karir Hendrix sedang berada di puncak tertinggi. Bocah tengil itu dianggap sebagai seorang revolusioner musik blues. Melanjutkan apa yang sudah dirintis B.B King, Muddy Waters, dan Elmor James. Dia juga melengkapi dewa-dewa yang sudah ada, Eric Clapton, Bob Dylan, Rolling Stone. Dan tentu saja Fabulous Four, The Beatles, yang saat itu berada pada ujung keretakan dan sudah saling membenci.
Sungguh sayang. Apalagi, setahun sebelumnya, Hendrix menjadi simbol kaum bunga, Flower Generation, dalam ajang Woodstock 1969. Hendrix menjadi imam besar festival musik tiga hari penuh perlawanan dan idealisme itu.
Saat Hendrix membawakan lagu kebangsaan Amerika, The Star Spangled Banner, hati ratusan ribu penonton di perladangan luas milik Max Yasgur bagaikan tersayat. Mata lautan manusia betul-betul melihat gitar Stratocaster milik Hendix terbakar amarah.
Lewat Hendrix, ratusan ribu anak kandung Amerika itu sungguh membenci sang ibu pertiwi. Amerika di tangan Lyndon ’’Fucking’’ Johnson, teriak mereka pada sang presiden, bagaikan neraka jahanan.
Orang tua gila macam apa yang membiarkan anaknya mati sia-sia di perang tak berguna di Vietnam sana. Orang tua model apa yang demi nafsu menginvasi, tega membiarkan rumah impian terperosok dalam karut-marut ekonomi. Ibu gila langgam apa yang cuek pada rasisme rombeng itu. Sayang, saat perang akan berhenti, saat negara sudah mulai stabil, Hendrix pergi selama-lamanya.
Entahlah, apa yang terjadi pada usia 27 tahun. Bintang-bintang lain yang tidak seharusnya mati pada usia itu, akhirnya ke alam baka pula. Sebelum Hendix, pada 1969, pendiri The Rolling Stone, Brian Jones tenggelam di kolam renang belakang rumahnya. Janis Jopin, biduan jenuis itu mangkat persis sebulan sesudah Hendrix.
Lalu, dedengkot The Doors, The Lizard King Jim Morrison juga tewas pada usia 27. Tepat sepuluh bulan setelah Hendrix. Pada 1994, Kurt Cobain pencetus Nirvana dan pendiri aliran grunge itu, menembak kepalanya pada umur yang sama dengan Hendix.
Walau mati muda, lelaki tirus itu akan hidup abadi. Hendrix tetap terkenang sebagai nabi bagi anak muda yang marah. Hendrix abadi sebagai juru bicara, penyambung lidah, dan megaphone yang meneriaki kuping penguasa yang tuli..
Sumber gambar :
1. http://www.realizedsound.net/dac/wp-content/uploads/2010/06/jimi.jpg&
2. http://backdoormag.com/wp-content/uploads/2010/01/070818..
Saiful Arif says
Menikmati sekaleeee 🙂 Pingin baca juga yang kucing racun nur … . Anyway kebetulan saya nggak suka blues, tapi lebih seneng keroncong he he
nunur says
Wah sori mas, saya nggak suka keroncong. Maklum kelahiran Seattle :). Emang kucing racun apa mas ?, beda ya sama keong racun ?
halik says
jadi pingin tau karyanya…
punya lagunya nggak mas?
nunur says
@halik : Hah Apa ? anak band nggak pernah mendengarkan Hendrix ?
wow-wow.. :). Ada Lik, nggak banyak sih, tapi lumayan karya2 besarnya akau punya semua..
halik says
minta mas….
Adik ipar says
Keren dan detail.. Blues will never day.. Suara perlawanan.. Tapi koq di Indonesia blues kurang payu yo? Kalah ambek anak band yg C.I.N.T.A. Hahaha..
nunur says
@adik : walau gak payu tapi abadi. nek cinta2-an, isuk rilis, bengi ilang 🙂
Nunur Hidayat says
tulisan musisi abadi menyusul. 🙂
irkham maulana says
saya suka sekali sama bluesnya jimi hendrik… ngesoul banged 🙂
doddy says
Alhamdulillah saya sangat menyukai musik blues… hidup blues.. hidup pakde b.b king dan kawan2 blues.. i love blues.. blues blues blues blues.. kadang kumerasa sendirian