Judul Buku: Birokrasi dalam Polemik
Penulis : Moeljarto Tjokrowinoto, dkk
Editor: Saiful Arif
Penerbit: Pustaka Pelajar & Pusat Studi Kewilayahan
Tahun: 2001
Tebal: 155
ISBN: 9799483565
Kita ketahui, birokrasi di masa Orde Baru adalah instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengukuhkan status dan keberadaan rezim. Kita juga mengetahui bahwa demokrasi di era Orba dicerminkan dari perilaku birokrasi yang hanya mementingkan dirinya sendiri, authoritarianism birocratyc. Birokrasi bahkan menjadi media untuk menjaga kelangsungan rezim yang berkuasa. Hasilnya, birokrasi pun menjadi semacam kekuatan yang tidak memfungsikan dirinya untuk melayani masyarakat, akan tetapi melayani kepentingan pemerintahan saja.
Pelayanan publik yang didambakan masyarakat dalam bingkai netralitas lembaga pun akhirnya tak tercipta dalam suasana yang demikian. Imbasnya yang lebih ironis lagi adalah bahwa “kekacauan” semacam ini masih terjadi hingga era reformasi ini. Aparat pemerintahan pun pun sangat sibuk dan kerepotan untuk menata dan memperbaiki kondisi ini. Berbagai macam jenis dan praktik KKN meraja-lela dalam birokrasi kita ini. Dalam situasi demikian, mana mungkin birokrasi yang adil bisa tercipta di dalamnya?
Mewirausahakan Birokrasi
Kita mengenal konsep “Mewirausahakan Birokrasi”. Konsep ini muncul dari buku David Osborne & Ted Gaebler yang terkenal yaitu Reinventing Government (Massachusets-New York: Addison Wesley PC. Inc). Menurut mereka, birokrasi seharusnya tidak lagi dijalankan dengan aturan-aturan yang ketat sehingga potensi kreativitas individu akan mati. Birokrasi seharusnya diarahkan untuk memenuhi syarat-syarat efisiensi dan efektifitas. Menurut mereka, organisasi publik yang dijalankan berdasarkan peraturan tidak akan efektif dan efisien.
Kinerjanya akan berjalan lamban dan terkesan bertele-tele. Tetapi birokrasi yang digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya akan lebih efektif dan efisien. Hal itu bisa dilaksanakan dengan meletakkan misi organisasi sebagai tujuan, mereka dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut.
Osborne dan Gaebler memberikan posisi yang berhadap-hadapan antara misi dan peraturan dalam birokrasi organisasi publik. Secara ekstrem mereka memandang bahwa kedua hal tersebut merupakan pilihan, di mana kita harus memilih salah satunya. Bagi mereka, pilihan terhadap salah satu aspek itu akan membawa pada penegasian aspek yang lainnya.
Argumentasi di atas diperkuat dengan bukti bahwa adanya peraturan dalam birokrasi memang bertujuan baik. Akan tetapi dalam banyak kasus, hal itu menyebabkan organisasi berjalan lambat serta kurang mampu merespon tuntutan lingkungan yang berubah dengan cepat. Menurut Osborne-Gaebler, dengan peraturan orang tidak akan mampu melakukan apa yang menurut pandangannya benar, karena takut terkena sangsi jika ternyata ketahuan mengabaikan atau melanggar aturan tersebut. Karena itulah mengapa banyak pegawai pemerintah yang apatis dan tidak kreatif, serta melupakan misinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Hal yang mendasari mengapa Osborne-Gaebler memandang sinis pada peraturan adalah, peraturan memang dapat mencegah penyimpangan-penyimpangan dan korupsi, akan tetapi efeknya terjadi pemborosan atau inefisiensi. Keunggulan organisasi yang digerakkan oleh misi jika dibandingkan dengan yang digerakkan oleh peraturan adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, serta dengan semangat yang lebih tinggi. Etika enterpreneurship dengan gagasannya tentang pemerintahan yang digerakkan oleh misi ini memberikan sumbangan posistif bagi perkembangan birokrasi dan pelayanan publik ke depan.
Menjaga Jarak Sosial
Di sisi lain, birokrasi di Indonesia ternyata mengalami masalah lain. Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya, yaitu publik pengguna jasa layanan. Inilah seperti yang dikatakan oleh penulis yang mengritik ide Osborne-Gaebler ini, sebagai penyebab mengapa rakyat berada dalam situasi yang tidak berdaya (powerless) dan relatif tidak memiliki pilihan.
Penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi pada kemanusiaan akan sangat sulit diterapkan di Indonesia. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menyiapkan prakondisi yang baik untuk menerapkan birokrasi yang manusiawi. Di samping itu, yang harus diperhatikan adalah akseptabilitas budaya masyarakat kita atas introduksi itu.
Harus diingat bahwa gagasan-gagasan Osborne itu ditelurkan berangkat dari fenomena yang ada di Amerika Serikat dan diperuntukkan bagi reformasi birokrasi di Amerika Serikat. Sementara akar-akar persolan kemerosotan kualitas pelayanan publik pada setiap bangsa berbeda-beda. Budaya pada tiap bangsa pun berbeda-beda pula. Di samping secara universal pun gagasan dari Osborne masih banyak yang harus dikritisi.
***
BUKU ini cukup baik dalam menyajikan perdebatan di dalamnya. Dipicu oleh tulisan dari Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Ph. D, yang mengungkap mengenai akar teoritik pelayanan birokrasi di Indonesia, kemudian disusul tulisan Fadillah Putra dan Saiful Arif yang mengritik ide rego, lantas disusul oleh tesis M. Mas’ud Said yang mempertahankan ide tersebut untuk dipraktekkan di Indonesia. Buku ini cukup baik dibaca oleh para birokrat Indonesia, dan para akademisi untuk bisa bercermin kembali mengenai arah birokrasi Indonesia.
Leave a Reply