Judul: Kapitalisme Birokrasi : Kritik Reinventing Government Osborne-Gaebler
Penulis: Fadillah Putra & Saiful Arif
Pengantar: Prof. Drs. Solichin Abdulwahab, M.A, Ph.D
Penerbit: LKIS Yogyakarta dan PUSPeK Averroes Malang
Tahun: 2001
Tebal: 118
ISBN: 9798966937
Harus dipahami bahwa birokrasi Indonesia dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Birokrasi dan tradisi kita yang ratusan tahun tersebut, menjadikan liberalisasi adalah sebuah pergulatan.
Apa yang menarik dari buku ini dibandingkan dengan buku-buku tentang birokrasi yang lain adalah, tekanan yang ditonjolkan penulisnya pada masalah yang jarang dibahas.
Bingkai Sosial Pelayanan Publik
Tema yang diangkat penulis tergolong agak tidak biasa, sebab penulis tidak hanya menekankan pada masalah-masalah teknis manajerial pelayanan publik tetapi penulis lebih meletakkan bingkai sosial yang ada di seputar pelayanan publik. Hal ini nampak dalam keprihatinan yang diungkapkan terus-menerus oleh kedua penulisnya; keprihatinan kepada rakyat kecil sebagai imbas dari penyelenggaraan birokrasi. Inilah yang membedakan penulis buku ini dengan para penulis lain di Indonesia, mereka biasanya hanya menekankan pada masalah manajemen, tentu yang berkonotasi secara teknis.
Demikian diungkapkan sang pemberi kata pengantar, Prof Drs. Solichin Abdulwahab, MA, Ph.D (almarhum) sebagai respon awal tentang buku ini. Ia melanjutkan ketika negara menjalankan fungsi pelayanan publiknya, maka mau tidak mau hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial, dan dengan demikian masalah karakter negara harus dirtampilkan.
Apakah suatu negara itu haus akan kekuasaan atau justru bersedia berbagi dengan kelompok-kelompok lain di luar kekuasaan. Sekali lagi, hal yang saya kemukakan ini jarang ditulis oleh penulis di Indonesia. Sedangkan tentang karakter negara sendiri, nampaknya penulis ‘luput’ membicarakannya, padahal suatu karakter negara sangat berpengaruh terhadap model pelayanan publiknya. Di buku ini karakter negara tidak banyak ditampilkan. Dalam satu bab etika pelayanan publik, misalnya sebenarnya merupakan bahasan yang lebih bersifat individual, pembahasan yang bersifat mikro, meski bingkai sosialnya masih saja kelihatan.
Dengan kata lain, hal ini juga memberikan indikasi bahwa jika pembahasan pelayanan publik tidak ditempatkan dalam bingkai sosial, politik, historis, justru nanti orangh akan terjebak pada pemahaman bahwa pelayanan publik adalah sebagai sesuatu yang given. Padahal Teori Kritis menunjukkan bahwa pelayanan publik adalah hasil dari proese kesejarahan yang panjang. Itulah mengapa, birokrasi bisa saja diotak-atik dan dirubah, tetapi perubahan itu tidak sampai pada jantungnya, perubahan yang tidak menyentuh misi birokrasi itu sendiri. Dunia bisa saja berharap ada reinventing, pemabaharuan, revolusi, tetapi jika tidak ada perubahan di jantungnya, maka hal itu sia-sia saja.
Pelayan Publik “Banci”
Pelayanan publik di Indonesia bisa dikatakan tidak liberal, juga tidak sosialis, pelayanan publik yang “banci”? Memang agaknya sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan pelayanan publik di Indonesia.
Tekanan internasional mendorong Indonesia agar segera meliberalkan diri, sementara tekanan internal bangsa sendiri cenderung berusaha untuk memenuhi kebutuhan perut bangsa sendiri. Dampaknya adalah bahwa kebijakan-kebijakan yang pada akhirnya mendua, tidak konsisten. Ada realitas lain bahwa tuntutan politik domestik menjadi batu sandungan bagi liberalisasi.
Untuk situasi Indonesia hari ini, memang harus ada kompromi. Namun permasalahannya adalah bahwa langkah kompromi yang diambil seringkali berhadapan dengan kemampuan berkompromi yang lemah, bahkan tidak ada.
Kita tidak mempunyai resource based yang memadai untuk mengambil kebijakan yang konsisten. Hanya, dalam pemerintahan reformasi sendiri, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa birokrasi mulai ditempatkan di rel kemanusiaan. Persoalan ini nampaknya luput diamati oleh penulis, karena keduanya lebih cenderung memaparkan data-data teoritik, sehingga realitas yang ada kurang diperhatikan.
Benturan dengan Kenyataan
Beberapa gagasan yang disampaikan pada buku ini jelas memerlukan diskusi lebih lanjut, terutama tentang pembumiannya. Karena sebenarnya gagasan-gagasan yang kami munculkan, hari ini harus berbenturan dengan dua kenyataan besar.
Kenyataan pertama adalah kondisi internal riil birokrasi kita yang sampai sekarang masih kacau-balau, dan tidak mampu memberikan janji yang berlebihan akan pelayanan yang berkualitas pada masyarakat. Kenyataan besar kedua yang tidak kalah dahsyat adalah masuknya gagasan-gagasan Osborne yang demikian deras dalam wacana pelayanan publik di Indonesia, yang padahal seperti sering diulas pada buku ini.
Gagasan-gagasan Osborne itu ditelurkan berangkat dari fenomena yang ada di Amerika Serikat dan diperuntukkan bagi reformasi birokrasi di Amerika Serikat. Sementara akar-akar persolan kemerosotan kualitas pelayanan publik pada setiap bangsa berbeda-beda. Atau katakanlah akarnya sama, yaitu budaya misalnya, tapi lebih dari itu budaya pada tiap bangsa pun berbeda-beda pula. Di samping secara universal pun gagasan dari Osborne masih banyak yang harus dikritisi.
Leave a Reply