Politik Citra terhadap Bantengan
Saat muncul kembali di era tahun 90 an, kesenian bantengan memang telah banyak bergumul dengan kontruksi kebudayaan lain, bahkan seniman dan gaya jaranan kepang dor begitu mewarnai nafas bantengan. Ketika bantengan telah “merubah diri”, maka berbagai citra baru segera dilekatkan kepada dirinya. Dari kesenian yang berbau syirik sampai kesenian yang identik dengan kekerasan.
Ungkapan betapa bantengan telah menjadi kesenian yang mendekatkan manusia pada kemusyrikan itu dengan amat jelas disampaikan oleh Gus Dhori. Putra sulung KH Mukti ini menyatakan bahwa bantengan kini tak ada bedanya dengan jaranan. Keduanya menjadi kesenian yang mendekatkan manusia dari perbuatan yang tidak disukai oleh Alloh SWT. Kalau dulu bantengan mungkin menjadi kesenian alternatif untuk dijadikan dakwah Agama Islam, tapi kini bantengan telah rusak, bantengan telah menjadi kesenian yang mengarahkan diri pada kekufuran.
Pernyataan senada juga dialami oleh Pak Dikri. “Saya pernah didatangi oleh seorang kyai, ia datang karena masih ada hubungan kekerabatan dengan saya. Karena ia melihat saya setiap hari bergumul dengan bantengan, ia melihat bahwa saya melakukan perbuatan yang dilarang agama. Tentu itu menurut dia, menurut pemahamnnya. Bahkan saya waktu itu diceramahi panjang lebar soal pemahaman agama yang ia memiliki. Ujung-ujungnya ia meminta saya untuk menjauhi bantengan. Kalimat terakhir itulah yang membuat saya sangat kecewa dengan dia”, ujar Dikri.
“Kalau dia memang memiliki pandangan agama yang memandang bahwa kegiatan berkesenian yang saya lakukan itu adalah dianggapnya pemujaan terhadap syaitan, seharuskanya kan itu cukup menjadi pandangan dia. Kenapa bantengan yang telah saya jalani sejak kecil dia hakimi sedemikian rupa. Saya merasa dalam bantengan tidak memuji setan. Saya justru mengalami rasa spiritualitas yang tidak saya dapatkan ditempat lain. Karena ia mencela kesenian itu didepan mata saya, maka sayapun menyatakan bahwa kalau memang bantengan itu kesenian setan, maka saya logikanya juga setan. Terus kalau saya setan mau apa? Toh saya tidak mengganggu orang lain,” seru Pak Dikri.
Melihat bantengan diduduk letakan sebagai kesenian yang oleh sebagian kalangan agamawan mendekati berbuatan kekufuran ini, Embah Sukrisman melihat bahwa tidak semua agamawan (Islam) yang mencela, atau melarang bantengan. “Banyak juga dikalangan agamawan itu yang sangat akomodatif, sangat memahami tradisi, sangat mengerti keberadaan bantengan dilingkungan masyarakat Jabung ini. Mereka-mereka (agamawan) itu biasanya sehari-hari hidup dilingkungan masyarakat, berbaur dengan masyarakat secara langsung tanpa ada jarak. Mereka biasanya tidak memiliki pondok pesantren, paling-paling langgar kecil yang dia kelola. Kyai-kyai seperti inilah yang biasanya mengerti kami, bukan kyai-kyai yang hidup dibalik tembok pesantren, yang cenderung tertutup, dan kurang begitu tahu kebudayaan lingkungannya secara ituh”, ungkap Embah Sukris.
Tak heran jika dalam perkembangannya kalangan seniman bantengan lebih bisa bergaula dengan kyai atau agamawan yang memang sehari-hari bisa bergumul dengan mereka, yakni kyai yang biasanya tinggal langsung diperkampungan penduduk tanpa batas-batas apapun juga. Bahkan dalam beberapa momen, tak jarang kyai-kyai tersebut mengajak seniman bantengan untuk tampil mengisi acara-acara keagamaan yang biasanya dilakukan dan diprakarsai oleh Desa.
“Kalau kami diminta menyemarakkan acara-acara semacam itu seperti Maulid Nabi, kami juga sangat mengerti dimana posisi kami, kami juga tidak akan menggunakan bantengan dalam acara-acara hajatan seperti bersih desa, atau ruwatan. Kami akan mengemas bantengan menjadi kesenian yang bersifat hiburan semata, kami tidak memasukkan unsur kalab didalamnya”, ungkap Pak Dikri.
Pernyataan Pak Dikri diatas menandakan betapa seniman bantengan juga sangat mengerti posisi dan situasi dimana mereka berada. Mereka sangat menghargai orang lain yang juga menghargai kesenian yang mereka gemari itu. Di Jabung sendiri, biasanya di desa desa seperti Sukolilo, Kemantren, Slamparejo dan Argosari merupakan deretan desa-desa yang kerapkali menggunakan kesenian tradisi seperti bantengan untuk menyemarakkan peringatan hari-hari besar Islam dan hari-hari besar nasional.
Selain munculnya pandangan kekufuran atas bantengan, citra lain yang kini begitu melekat terhadap bantengan adalah kesenian diidentikkan dengan tindakan kekerasan, seperti pemicu munculnya tawuran massal. Menghadapi pandangan negatif ini, Pak Dikri, Rustam, maupun Wasi’an menganggap bahwa bantengan sejatinya tidak bisa dikatakan sebagai kesenian yang mengundang tindak kekerasan.
Akibat citra semacam ini memang sangat merisaukan seniman bantengan. Bahkan akibat citra semacam ini pula, negara lewat aparaturnya seolah memiliki dalih untuk melakukan pembinaan terhadap kesenian dan seniman bantengan. Seperti yang dilihat sendiri oleh tim ngaji budaya, saat ini paguyuban kesenian bantengan memang secara kultural dibina oleh seorang bintara militer yang berpusat di Desa Sukolilo. Adalah Sersan Misroto seorang bintara yang sehari-hari bertugas di Korem, Malang ini telah menjadi pembina bagi seniman-seniman bantengan di Jabung, khususnya yang ada di Desa Sukolilo.
“Saya terpanggil dan perlu melakukan pembinaan terhadap seniman-seniman bantengan, terutama bagi mereka yang masih muda. Sebab kami melihat bantengan itu kerapkali menjadi ajang bagi kalangan muda untuk melakukan tawuran. Silahkan saja berkesenian, akan tetapi jangan sampai menganggu keamanan warga lainnya”, ungkap Misroto.
Upaya Misroto untuk melakukan pembinaan “moral” di kalangan bantengan memang cukup berhasil. Kini lewat paguyuban bantengan yang ia pusat di Desa Sukolilo setidaknya telah menyedot sentralisasi kesenian bantengan di Jabung ke desa tersebut. Bahkan Misroto yang dibantu oleh seniman bantengan yang ia bina segera akan mendirikan paguyuban resmi bantengan dan akan menjadikan paguyuban itu menjadi payung bagi kesenian bantengan. Ia berkeinginan bahwa seluruh kelompok bantengan yang ada di Jabung dapat tersentral disana, sehingga kalau ada kelompok seniman bantengan diluar paguyuban itu yang dalam pentasnya timbul kekerasan, walaupun dalam eskalasi yang kecil, maka ia tidak ikut bertanggungjawab.
Menghadapi citra yang kurang menguntungkan ini, beberapa seniman bantengan juga agak resah dibuatnya. “Kalaupun pada saat atraksi bantengan dimainkan, kami bukan korek yang berguna menyulut api kekerasan. Kita harus bisa memisahkan hal itu. Jangankan bantengan, pertunjukkan musik dangdut saja bisa mengundang tawuran massal kok. Jadi kita harus bisa meletakkan mana kesenian bantengan, dan mana persoalan luar yang dimasukkan saat atrakasi bantengan dijalankan”, ujar Wasi’an.
“Bantengan itu bukan untuk gagah-gahan, bukan pula untuk membentok sosok jagoan. Ini merupakan media masyarakat yang bersifat hiburan dan berwatak sosial semata. Jadi tak ada ceritanya seniman bantengan itu menjado sosok jagoan. Justru didalam pergumulan dikalangan bantengan mengajarkan rasa kasih mengasihi”, imbuh Wasi’an, seniman bantengan yang masih muda dari Desa Argosari.
Kegalauan seniman bantengan yang dianggap sebagai sumber kekerasan ini juga sangat merisaukan seniman bantengan generasi tua seperti Pak Dikri dan Embah Sukris. “Hal ini harus dirubah”, ujar Embah Sukris singkat. Kedua seniman gaek itu memang tidak mengetahui, mengapa bantengan kemudian dilekatkan dengan biang kekerasan. “Unsur kalab memang tidak bisa dijadikan alasan kekerasan itu muncul. Kalab itu justru menjadi unsur sosial dan spiritual, Jadi saya heran kalau ada anggapan kalab sebagai pangkal kekerasan. Saya juga heran kenapa opini ini muncul. Maka persoalan ini harus benar-benar diletakkan sesuai dengan proporsinya. Jadi kita bukan langsung menuduh”, sergah Pak Dikri.
Akankah seniman bantengan merubah konstruksi yang begitu negatif yang dilekatkan pada produk kebudayaan yang mereka kembangkan itu? Akankah pula subyek-subyek diluar bantengan yang merasa berkepentingan atas bantengan memasuki dan ikut mengkontruksi bantengan, tanpa mau tahu apakah kontruksi yang mereka buat itu akan produktif atau bahkan kontraproduktif atas otentisitas dan kemandirian kesenian bantengan? Memang produk kebudayaan bukanlah bebas nilai, ia bahkan representasi dari nilai-nilai subyektivitas. Produkt kebudayaan adalah cermin artikulasi nilai, dan nilai itu saling dipertarungkan, saling diperebutkan guna memperoleh sebuah klaim, sebuah legitimasi, yang jelas ujung-ujungnya ada kekuasaan (ring/mift).
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003
Leave a Reply