“There is no friend as loyal as a book”
Ernest Hemingway
Secuil kata Ernest Hemingway tersebut layak menjadi sambutan awal dari tulisan ini. Apabila dulu kita sering mendengar pepatah klasik “buku adalah jendela dunia”, kini jendela tersebut sepertinya sedang coba dibongkar dan digantikan dengan etalase khas mall mewah di republik ini. Menyoal tentang buku di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya, mulai dari sejarah kelam pembredelan buku oleh orde baru, hingga Mbah Pram (Pramoedya Ananta Toer) yang rela sampai hati menganggap buku–buku sebagai anaknya. Buku memiliki kesan tersendiri bagi para pembacanya, terutama bagi mereka penikmat buku bergambar kakek – kakek berjenggot lebat, atau buku bergambar palu dan arit.
Seminggu terakhir kita disibukkan untuk membaca berita sweeping Buku Kiri. Kiranya tidak perlu saya jelaskan definisi dari Buku Kiri, karena saya yakin para pembaca sudah bisa membedakan antara kiri dan kanan dalam kehidupan berideologi yang jelas buku kiri tidak akan pernah ditulis oleh Tereliye dan Raditya Dika. Informasi viral di sosial media membuat saya terhenyak untuk menuliskan fenomena aneh di republik ini. Ketika negara lebih sibuk untuk memberangus buku dibandingkan meninjau ulang gerakan HTI, atau bahkan anak–anak muda yang menjadi lebih sibuk memviralkan informasi di sosial media tentang buku kiri dibandingkan menonton ciuman klomoh Rangga dan Cinta.
Ya, begitulah. Sepertinya negara tidak pernah tahu (red: pura-pura tidak tahu) berapa lembaran uang yang harus dikeluarkan oleh para penikmat atau kolektor buku kiri. Mereka mana pernah tahu harga Das Kapital tiga jilid dengan halaman setebal bantal, dan lagi, saya haqqul yaqin negara tiada pernah tahu berapa batang kretek rokok yang dihabiskan Pramoedya Ananta Toer untuk membuat satu buku. Negara sepertinya juga sudah lupa seberapa besar jasa Tan Malaka yang kini bukunya sedang menjadi bahan sweeping. Padahal, bisa saja tanpa Tan Malaka Republik Indonesia tidak akan pernah lahir.
Mulai dari bulan Mei ini sweeping buku kiri sedang gencar dilakukan di Jogja. Tidak menutup kemungkinan kota–kota pelajar lainnya seperti Malang dan Surabaya kena sweeping. Atau bahkan nantinya itu sweeping bisa sampai kota-kota mahapolitan macam Bojonegoro, singgasana Raja Angling Dharma beserta titisannya, Very Yudha.
Para tukang sapu buku ini tidak hanya mendatangi lapak–lapak buku murah seperti halnya Wilis yang begitu digandrungi para pecinta kopi dan malam, mereka juga akan mendatangi indekos dan kontrakan mahasiswa yang sebagai tempat penyimpanan buku–buku kiri. Sudah seperti operasi militer yang dilakukan tentara orde baru, Bukan? Bayangkan jika saat mendobrak kosan lalu di dalam kamar sedang ada nafas yang sedang beradu dan balapan tetesan keringat sebagai akibat dari pergulatan sepasang merpati di atas kotakan empuk 1,5×2 meter. Kan kasihan nanti kasusnya nambah.
Lantas siapa kemudian yang menimbulkan paranoia dan trauma ketika fenomena semacam ini terjadi?
Saya tidak sedang membela komunis sebagai ideologi atau juga memuja Marx bak dewa karena laki – laki yang layak dipuja versi saya ya cuma si brengsek Rangga. Akan tetapi, saya lebih menitikberatkan pada pembelaan hak pribadi dan kepemilikan buku. Setiap orang berhak untuk membaca apapun yang mereka inginkan di negara demokrasi, setiap orang juga berhak memiliki apapun selama dibeli dengan uang sendiri. Asal bukan hasil mencuri apalagi ngutang duit ke mantan.
Kenapa?
Karena saya kasihan dengan mereka yang hiburannya adalah secangkir kopi sambil tiap 2 menit sekali menyibak halaman buku. Mahalli contohnya. Teman saya yang satu ini sudah lama menjalin kisah cinta abadi dengan sosok bernama buku. Jika suatu ketika ia dikenai sweeping, bayangkan apa yang akan terjadi kepada Mahalli. Kebahagiannya bakalan hilangkan?
Lalu yang repot siapa? Saya jugakan? Apa saya harus mengajaknya travelling seminggu sekali? Berlama-lama di rental PS? Mengajaknya untuk mencoba hobi baru dolenan CB dan dodolan nongko? Atau ikut-ikutan kontes D’Academy? Yang tersulit itu bukan mencari, Paklik. Tapi, menyesuaikan. Paham!
Ketakutan yang sedang melanda Menhankam sebenarnya sangat irrasional. Tindakan Pak Izad (panggilan sayang saya ke Bapak Menhankam) memberangus buku kiri agar ideologi berlambang Palu Arit tersebut tidak bangkit kembali di Indonesia seperti bias dari makna demokrasi itu sendiri. Coba deh sama-sama mikir, mana bisa dua bilah Palu dan Arit sanggup menumbangkan Garuda yang telah bertahun–tahun mengakar di republik ini. Garuda itu terbang tinggi di atas langit. Sedangkan, Palu dan Arit hanyalah perkakas yang biasa digunakan para tukang dan petani.
Terakhir.
Saya mau berpesan untuk Pak Izad beserta jajarannya, dan juga bapak-bapak gagah di Kapolri.
Pak, kita tidak sedang hidup di Korea Utara yang rakyatnya dihantui ketakutan denga potongan rambut alay Kim Jong Un. Kita juga tidak sedang hidup di zaman Hitler yang membawa ketakutan pada bangsa Yahudi dengan potongan kumis tipisnya. Kita ini sedang hidup di Indonesia. Negara yang penuh dengan ketentraman dan gemah ripah loh jinawi.
Negara tercinta kita ini dibangun dengan berbagai macam ideologi besar. Mulai dari komunis, liberalis, nasionalis marhaenis dan is-is yang lainnya. Seharusnya bapak-bapak tidak perlu capek-capek terjebak pada ketakutan simbolis berupa buku atau kaos bergambar palu arit. Kuwi nggur simbol, Pak. Mek kaos. Podo mbek kaos tipis yang dibagikan ketika ada pemilihan umum.
Eman keringat-keringat bapak yang berceceran sana-sini. Mendingan, keringat bapak itu bapak gunakan untuk mulai mengawasi sembari mengambil beberapa tindakan kepada gerakan Islam garis keras. Gerakan mereka kini mulai mengakar ke desa–desa. Tonggo desoku lho wes kenek, Pak.