Pernah Nonton acara Din Brodin? Bagi masyarakat Jawa Timur yang punya pesawat televisi dan bisa menangkap gelombang Stasiun J-TV pasti pernah liat atau setidaknya mendengar tentang Din Brodin. Sebuah komedi situasi yang menampilkan tokoh bernama Brodin, orang yang ditampilkan sebagai sosok beretnis Madura dengan logat yang khas, lucu, konyol, lengkap dengan berbagai atribut “nyentrik” Madura seperti songkok hitam, kaos loreng dan celana kolor hitam. Dalam panggung entertainment, khususnya pada aspek bahasa dan logat, Madura memang sering diproduksi sebagai komoditas humor. Waktu kecil kita mungkin juga mengenal sosok Mbok Bariyah, sang penjual rujak cingur dalam film Boneka Si Unyil. Dalam komedi Srimulat kita juga mengenal tokoh Kadir, yang menjadi lucu karena logat Madura-nya.
Seorang kawan Madura, sebut saja namanya Alif, mengaku merasa tersinggung melihat logat Madura hanya dijadikan bahan humor di televisi. Baginya fenomena seperti ini adalah pelecehan terhadap etnisnya. Sebenarnya tidak hanya Bahasa Madura yang sempat dijadikan sebagai bahan komedi, Bahasa Jawa Solo dan Bahasa Banyumas juga sering diperlakukan serupa dalam panggung hiburan. Hanya saja, tontonan tantang ke-Madura-an mungkin dirasakan lebih sensitif karena hal ini tidak hanya berkenaan dengan logat dan dialeg, lebih dari itu, ke-madura-an memiliki sensitivitas yang mengarah kepada ras dan etnis.
***
Sebelum merantau di Malang, aku nyaris tidak pernah bersua langsung atau ngobrol-ngobrol dengan orang yang berlogat Madura, kecuali sesekali ketika bertransaksi dengan penjual sate ayam yang banyak lewat di depan rumah sesaat setelah bedug Maghrib. Saya pernah berfikir juga, mengapa semua penjual sate ayam yang kutemui selalu orang Madura. Sampai-sampai hampir menjadi kesimpulan dalam benakku bahwa penjual sate ayam keliling pastilah orang Madura. Sehingga ketika punya teman kuliah asal Madura, aku selalu bergurau, “Gimana te sate-nya, Cong?!”
Nampaknya tidak hanya sate yang pernah diidentikkan dengan Madura. Beberapa orang dan bahkan banyak orang memiliki stigma tidak sedap tentang Madura. Orang Madura adalah orang yang kasar, hobinya carok, egois, fanatik, kolot, pemburu besi tua, logatnya lucu, seenaknya sendiri dalam urusan bermukim di tanah orang lain dan lain sebagainya. Nampaknya tidak ada anekdot rasis sebanyak anekdot tentang Madura.
Salah satu misal yang bisa ditulis di sini adalah anekdot yang menyatakan bahwa untuk mendeteksi orang Madura dalam sebuah jamaah Sholat di Masjid adalah sangat mudah. Cukup dengan melempar besi di serambi depan masjid. Orang yang secara reflek menoleh cepat ke arah sumber suara, itu sudah bisa dipastikan adalah orang Madura. Entah mengapa banyak stigma negatif selalu muncul terhadap etnis Madura.
***
Jujur, aku sempat merasa jengkel dengan Fairouz, teman Madura satu kontrakan rumah. Pasalnya setiap didatangi temannya sebangsa dan setanah air, dia selalu ekspresif menampakkan kesukuan dengan serta merta langsung mengubah bahasa obrolan ke dalam bahasa Madura. Padahal aku lagi asyik ngobrol dengannya, dengan bahasa Indonesia tentunya. Begitu bertemu dengan “kerabat ras” nya itu, aktivis PMII ini selalu dengan heroik bertutur sapa dengan bahasa moyang mereka dan terus mengobrol tanpa memperdulikan orang lain. Seakan aku dikucilkan dan dibiarkan tidak faham dengan apa yang mereka perbincangkan. “Sudah-sudah jangan pakai pakai bahasa planet”, begitu biasanya selorohku sebagai bentuk protes atas keterkucilanku dalam sebuah perbincangan di rumah kontrakan. Ah, mengapa mereka ini fanatik banget dengan bahasa daerahnya?
Belakangan, aku baru tahu dari salah seorang kawan Maduraku yang lain bahwa ada semacam “kode etik” bagi para perantau dari tanah Madura ketika mereka bertemu. Mereka seperti diwajibkan bertegur sapa dan berbincang dengan Bahasa Madura. “Kita kalau baru kenal, sering mempertanyakan dulu dari buju’ (leluhur) mana. Malah terasa aneh, Mas, jika kita sesama Madura, meski baru kenal, kemudian tetap memakai bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Jawa. Jadi semacam menunjukkan rasa persaudaraan. Berdialog dengan bahasa Madura tata krama sesama perantau asal Madura”.
Setidaknya aku sudah pernah berkunjung ke pulau Madura, tepatnya di Sumenep. Aku banyak bertemu dengan perantau asal Jawa termasuk seorang mantan tandha’ kelahiran Malang bernama Yeni. Namun tidak pernah ada perasaan untuk “memaksakan diri” menggunakan bahasa Jawa dan memamerkan ke orang lain. Aku seperti merasa “tersingkir” setiap para Duro ini bernostalgia dengan bahasa sukunya. Apakah mereka merasa bahwa bahasa Madura lebih adiluhung daripada bahasa etnis atau daerah lain. Jika ini benar, mungkin inilah sebabnya mengapa para perantau asal Madura kebanyakan lebih suka berbincang dengan Bahasa Indonesia daripada belajar sedikit bahasa daerah dimana dia merantau. Bahkan Lila, seorang anak Kediri menjadi jarang berkomunikasi dengan bahasa Jawa karena “pergaulannnya” dengan teman kontrakan yang semuanya Duro. Sehingga dia harus terbiasa dengan bahasa Indonesia meskipun yang dia ajak bicara sama-sama anak Kediri (Jawa). Mengapa sih anak Madura tidak berusaha belajar dan mempraktikan bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di tanah dimana mereka merantau?
Ah, biarlah. Ini adalah pemaknaan mereka yang aku tidak berhak untuk menghakimi. Penjelasan seorang teman mengapa mereka lebih suka berdialog dengan bahasa Madura di depan publik, rasanya sudah cukup membuatku menerima mengapa mereka –dalam bahasaku- narsis. Tidak hanya itu, aku juga harus menghilangkan kosa kata narsis kepada mereka ketika melihat forum perbincangan anak Madura. Aku harus faham, setiap entitas budaya memiliki konstruksi etis tersendiri. Jika the others tidak mau memahami bahwa semua ini adalah bagian dari dialog kebudayaan, maka ekspresi anak-anak Madura yang seakan bangga dan memamerkan bahasa dan daerahnya ini mungkin akan dianggap fanatisme ataupun sukuisme. Mungkin juga, dengan sikap seperti itu, semua entitas bisa mendialogkan kebudayaan. Buktinya, aku harus mencari tahu mengapa orang Madura sangat “fanatik” dengan bahasanya setelah melihat perilaku Rois dan kawan-kawannya seperti itu.
Aku jadi teringat dengan bahasa India. Menurutku, Bahasa India itu bahasa yang campur bawur, seperti gado-gado. Setidaknya itu yang aku tahu dari lagu-lagu India saat nonton film Bollywood. Dalam bahasa India ada banyak kosakata yang bersumber dari bahasa daerah, bahasa Arab dan bahasa Inggirs. Dan nampaknya hal itu bagi masyarakat India tidak menjadi masalah. Mungkin jika kita terbiasa dengan melakukan “dialog” kebudayaan, kitapun akan mudah berkomunikasi dengan etnis lain tanpa harus memakai bahasa nasional.
Etnisitas dan bahasa bukanlah sebuah identitas yang tegas ataupun harus ditegaskan. Perbincangan tentang nation dan etnisitas di negeri ini mungkin harus dimulai dengan secara dinamis mendialogkan kebudayaan, termasuk dalam konteks bahasa. Sepertinya tidak perlu segan untuk memahami dan mempertanyakan identitas kebudayaan lain yang kebanyakan berasal dan dikembangkan dari keragaman etnisitas ataupun struktur budaya.
Jika belajar memahami bahasa Madura adalah salah satu “upaya” untuk mendialogkan kebudayaan dengan teman-teman “Duro”-ku, sepertinya hal itu memang harus kulakukan. Makanya akupun kemarin mulai berlatih mendengarkan bahasa Madura sedikit-sedikit. “Bede bedena bede’ bedheh” (Artinya, ada wadah bedak yang bedah). Sebuah kalimat untuk melatih membedakan pengucapan oral “D” yang memang dalam logat madura terdapat pelafalan yang lebih kompleks dari bahasa lain. Seperti wawasan makhoorijul huruf-lah dalam Ilmu Tajwid.
So, mencoba memahami Bahasa Madura? Jika itu diperlukan dalam pergaulan, ah, mengapa tidak?!