Sebelum memulai membicarakan tulisan ini. “Berbiasalah, Berbahagialah!”
Wira Setianagara atau yang lebih beken dipanggil Wiranagara adalah pemuda kelahiran Batang, 21 November 1992. Pemuda dengan ciri khas brewok tebal dan kumis diplintir ini adalah sosok yang bersahaja. Pembawaannya kalem, meski dari wajahnya tercermin dedengkot kompeni. Namanya mulai agak melambung ketika ia terpilih sebagai salah satu finalis kompetisi Stand Up Comedy di salah satu televisi swasta nasional.
Sebagai seorang pemuja cinta, Wira melebihi kelaziman seorang penyayang wanita. Sudah seyogyanya pula ia diamini sebagai pejuang perdamaian dunia. Ia layak mendapatkan penghargaan nobel perdamaian dunia. Bagaimana bisa?
Penyabar dan Pemaaf
Sebagai seorang laki-laki, Wira adalah pemegang sah prototype laki-laki penyabar dan pemaaf. Bagaimanapun ia disakiti dan dikhianati oleh seorang wanita, ia tetap bersabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia tak sedikitpun menaruh dendam pada mereka yang melukai hatinya. Ia juga tak pernah mencoba untuk melakukan balas dendam. Kesabarannya sekelas Arya Kamandanu, keikhlasannya setara Laudya Cintya Bella tatkala melihat Raffi Ahmad menikah, dan sifat pemaafnya seperti Raj Malhotra di film Mohabbatein.
Alih-alih benci atau balas dendam, kebesaran hatinya malah memilih untuk membuka pintu maaf dan memberikan doa bahagia. Hal ini dapat dilihat dari penggalan puisinya berjudul Dipersi Kardiomiopati “Sehat-sehatlah selalu, makan teratur dan tersenyumlah untuk geliat manja di dalam perutmu. Rumahmu akan dihinggapi malaikat, sambutlah dengan suka cita dan rayakan dengan meriahnya doa. Bahagiakan dia seperti pasanganmu membahagiakanmu, ajari dia cara tertawa seindah sungging senyumanmu.”
Ajaran Neriman dan Legowo
Dahulu, sering kali dongeng bercerita mengenai tokoh yang neriman dan legowo. Kisah-kisah kepahlawanan semacam ini diberikan kepada anak-anak untuk dijadikan sumber inspirasi kehidupan. Dengan carut-marutnya Pemerintahan Indonesia hari ini, sulit kiranya mencari sosok legowo dan neriman di era digital.
Jauh dari hiruk-pikuk kebisingan kondisi perpolitikan nasional. Wira memberikan alternatif dalam menjunjung tinggi sikap neriman dan legowo. Ia terhindarkan dari pertanyaan-pertanyaan konyol macam pertanyaan MKD. Ia juga jauh dari gosip miring yang menjadi trending topic di media.
Wira menyucikan diri dan menjadi sufi lewat kelegowoannya dalam menerima sesuatu. Oleh pecintanya, ia dihindarkan dari hadast kecil, disucikan dari hadast besar. Ajaran neriman dan legowo ia sebarkan lewat penggalan syair-syair berdarah. Syairnya tak melulu hanya tentang meratapi kepedihan, tapi juga menyikapi kesedihan dan beranjak menuju masa depan.
Mengumandangkan Perdamaian lewat Kalimat Cinta
Mari kita jujur kepada diri sendiri. Patah hati adalah hal yang tak mengenakkan bukan? Cinta bertepuk sebelah tangan selalu menyakitkan toh?
Menjadi sebuah hukum jika gagal mendapatkan sesuatu selalu memberikan kekecewaan. Termasuk dalam urusan hati dan cinta. Wira, dalam berbagai karya dan karakter yang dicitrakannya sering kali mengindikasikan bahwa ia adalah kategori orang dengan patah hati yang mendalam. Mungkin karena ditinggal selingkuh, atau juga pernah ditolak 11 kali dari 10 kali percobaan nembak cewek.
Kiranya, memang tidak ada yang tau pasti bagaimana lika-liku dan kenyataan riil apa yang pernah terjadi padanya. Namun, bukankah sesuatu yang diulang-ulang berarti itu benar? Jika merujuk pada kebenaran adalah apa yang terlihat, rasa-rasanya tak perlu untuk menggali informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Kita sepakati jika Wira sering kali patah hati. Jika itu benar, anggap saja benar, karena jika tidak benar tulisan ini tak akan terbit, maka sudah sepantasnya kita angkat topi kepadanya. Mengapa? Karena Wira adalah yang terbaik di posisi ini. Wira yang notabene sering kali dilanda patah hati memilih berkhutbah tentang perdamaian lewat kalimat cinta. Sakit yang dirasakannya tak lantas membuatnya berhenti berkarya. Malahan, dari patahannya, ia lebih intens menggaungkan panji-panji perdamaian. Budak Sajak, begitu banyak orang menyematkan julukan padanya.
Karya-karyanya menggema ke seluruh penjuru bumi bak lengkingan surau adzan di keheningan shubuh. Pesan darinya begitu mengena untuk mereka yang termasuk dalam barisan tertolak, korban selingkuh, korban php, korban tikung, hingga korban-korban lainnya. Dari karyanya pula, banyak orang menyandarkan diri untuk menikmati kesendirian. “Mengapa? Karena semua orang juga layak menangis dan bahagia. Termasuk pihak yang tersakiti.” Adalah salah satu penggalan sya’ir berdarah miliknya yang mampu menjadi sandaran untuk mereka yang dilanda kepiluan.
Beberapa alasan di atas kiranya sudah layak dijadikan alasan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Wira. Sebagaimana yang umum terjadi, konflik di muka bumi banyak terjadi bukan hanya karena perbedaan, tak sekedar akibat permusuhan, tapi karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau juga karena cinta yang tiba-tiba pergi tanpa pesan. Dan, Wira, ada di pihak paling ikhlas mendamaikan konflik atas nama cinta. Karenanya, sekali lagi. “Berbiasalah. Berbahagialah!”
Leave a Reply