Judul : The Flowers of War (Jinjing Shisan Chai)
Sutradara : Zhang Yimou
Pemain : Christian Bale, Ni Ni, Zhang Xinyi, Tong Dawei, Atsuro Watabe, Huang Tianyuan
Produksi : Beijing New Picture Film
Tahun : 27 June 2012 (Indonesia)
“Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini, ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang.” (Pramoedya Ananta Toer)
Tema peperangan dan sejarah lumrahnya selalu menceritakan tentang sisi heroik panglima beserta para prajuritnya. Cerita film dibuat sedemikian menarik mungkin guna menampilkan sisi kepemimpinan dan kepahlawanan sang bintang. Namun, jangan pernah mencarinya di film The Flower of War. Ia jauh dari cerita kepahlawanan panglima atau juga kegigihan prajurit kerajaan.
Film ini adalah antitesis kelaziman cerita film bertajuk perang kolosal. Mengapa? Karena film ini lebih banyak menampilkan sisi ketakutan warga sipil korban perang-terutama perempuan yang harus menghadapi ancaman pemerkosaan dari penjajah Jepang. Film ini mengambil setting Penjajahan Jepang di Nanking antara tahun 1937–1938. Menurut sumber sejarah, peristiwa tersebut merupakan kisah nyata yang dikenal dengan tragedi “Pemerkosaan Nanking”.
Kedatangan John Miller (Christian Bale) ke Nanking ialah awal kisah film ini. John merupakan seorang pengusaha pemakaman berkebangsaan Amerika. John mendapatkan tugas untuk menguburkan Pendeta Ingleman yang tewas akibat perang. Bukannya disambut dengan karangan bunga, John malah mendapatkan sambutan hangat dari desingan peluru militer Jepang. Ia kemudian melarikan diri dan bertemu dengan Shu (Xhang Xinyi) yang sedang bersembunyi di gereja milik Pendeta Ingleman. Gereja tersebut aman dari serangan membabibuta prajurit Jepang.
Tidak lama setelah kedatangan John, para pelacur rumah bordil yang sedang mencari tempat persembunyian berdatangan ke gereja. Mereka beranggapan bahwa gereja lebih aman dibandingkan pengungsian. Kedatangan John dan para pelacur mendapatkan sambutan buruk dari George, asisten Pendeta Ingleman karena dianggap mengotori gereja.
Sementara itu, di posisi lain tentara China dibawah komando Mayor Li (Tong Dawei) berusaha menghadang pasukan Jepang. Meski kalah jumlah prajurit dan persenjataan, mereka tetap memberikan perlawanan sengit. Hingga akhirnya prajurit Mayor Li satu-persatu berguguran dan hanya menyisakan Mayor Li.
John dihinggapi keputusasaan tatkala mengetahui jasad Pendeta Ingleman terlempar akibat ledakan bom Jepang. Ia memilih menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan. Esoknya, kebrutalan tentara Jepang semakin menjadi-jadi hingga merambah ke gereja. Prajurit Jepang berdatangan untuk memperkosa para murid gereja yang masih dibawah umur. Kejadian laknat tersebut membuat John tergugah. Ia kemudian memperbaiki truk dan melarikan diri.
Wilayah gereja tersebut kemudian dipimpin oleh Kolonel Hasegawa (Atsuro Watabe). Hasegawa terkenal dengan kelembutan dalam memberikan rasa aman bagi murid-murid gereja. Namun ternyata ada agenda terselubung dibalik topengnya. Ia merencanakan siasat licik dengan mengundang murid-murid gereja untuk menghadiri pesta perayaan atas pendudukan Jepang di Nanking. John yang sedari awal menaruh kecurigaan mengkhawatirkan keselamatan para murid. Ia kemudian menolak permintaan Hasegawa tersebut. Namun, ia akhirnya luluh ketika mendengar Hasegawa bersikukuh dengan dalih perintah dari Kekaisaran Jepang.
Dengan bantuan Yu Mo (Ni Ni), John mencari ide untuk menyelamatkan murid-murid gereja. Hingga pada akhirnya ia memanfaatkan keahliannya dalam hal merias mayat. Ia kemudian mendandani para pelacur seperti penampilan murid gereja beserta seragam dan potongan rambut bob. Hal ini merupakan langkah besar yang dilakukan Yu Mo bersama pelacur lainnya untuk merubah stigma bahwa “Pelacur tidak akan peduli dengan kondisi negara yang sedang terjajah.”
Sebagaimana penjajahan Jepang di berbagai negara lainnya, penjajahan di Nanking juga tidak lepas dari Jugun Ianfu atau perempuan yang menjadi korban kebiadaban nafsu tentara Jepang. Film ini terlihat ingin menunjukkan bahwa harga diri seorang pelacur tidak semurah peluru tentara Jepang. Meski status sosial mereka dianggap rendah, seyogyanya mereka juga memiliki jiwa nasionalisme. Termasuk yang dilakukan oleh Yu Mo, salah satu pelacur yang mengajak teman-temannya untuk menyelamatkan Shu dan murid gereja lainnya dari jeratan Jepang.
Aksi heroik dalam perang tidak banyak ditampilkan dalam film ini, kecuali aksi dari Mayor Li yang memberangus segelintir tentara Jepang. Itupun dengan kadar yang tak lebih dari 15 menit. Bagi mereka yang menyukai drama perang, film ini akan mambawa penonton hanyut dalam suasana ketakutan dan meraskaan kegeraman atas kekejaman tentara Jepang. Film ini tidak terlalu mengulas pikiran seperti halnya film-film perang lainnya macam Saving Private Ryan atau Braveheart. Karena dalam durasi hampir tiga jam, penonton akan lebih banyak disuguhi kekejaman dan keganasan tentara Jepang terhadap warga Nanking.
Sumber gambar: https://marcellapurnama.files.wordpress.com/2012/07/flowers_of_war_2011.jpg