“Pemimpin tanpa kritikus, bagaikan malam hari tapi listrik mati”
(Pepatah Pulau Kangean)
Kita tidak pernah tahu siapa Jonru sebelum fenomena Pilpres 2014 yang lalu. Jika mau jujur, sebenarnya hanya segelintir orang yang mengenal dan mengetahui Jonru. Saya curiga jika jumlah tersebut lebih sedikit dari suporter Perseta Tulungagung. Nama Jonru seketika melejit bak roket Paman Sam yang “nyasar” ke Afghanistan ketika mendekati momentum Pilpres 2014. Dan taukah anda apa efeknya? Nama keduanya menjulang tinggi mengisi deretan Top Lagu Bulan ini. Hallah.
Pepatah klasik Bojonegoro mengatakan, “Kritikus adalah tim sukses terbaik dalam proses pemilu.” Pepatah tersebut turut menggambarkan bagaimana kolaborasi antara Jonru dan Jokowi begitu terasa saat Pilpres 2014 kemarin. Masyarakat yang awam dengan teori konspirasi akan menganggap bahwasanya Jonru adalah haters Jokowi nomor wahid. Akan tetapi, coba lihat lebih dalam bagaimana gelagat Jonru dalam proses pilpres kemarin. Ia tidak lebih ngos-ngosan daripada dua orang anak manusia yang rela berjibaku di Senayan. Ya, Jonru hanya sebatas menjadi inisiator yang memfasilitasi haters Jokowi dalam bentuk fanpage Facebook dan juga akun Twitter. Selebihnya, Jonru hanya akan melihat carut marutnya demo 20 April 2014 yang katanya hendak melengserkan Jokowi, atau baku hantam yang terjadi di Senayan.
Bisa dikatakan bahwa Jonru adalah sales terbaik dibandingkan . Isu yang diangkat Jonru seringkali menjadi trending topic baik bagi haters maupun followersnya. Secara terstruktur, hal tersebut mengangkat popularitas sosok yang dibahas olehnya. Nah, orang yang dibahas dalam isu Jonru tidak lain tidak bukan adalah Jokowi. Mulai dari Jokowi Cina, Jokowi komunis, Jokowi keturunan Cina, sampai Jokowi saudagar Cina yang lupa arah jalan pulang. Diakui atau tidak, 84% popularitas Jokowi di dunia maya hampir 10% adalah infaq jariyah dari Jonru. Lantas, apalagi yang harus dipertanyakan dari konspirasi Jonru dan Jokowi.mbak – mbak gemes dengan rok mini yang menjanjakan rokok di warung kopi

Bahkan hingga kini Jonru masih seringkali mendukung naiknya popularitas Jokowi dengan isu–isu kekinian. Mulai dari peristiwa jatuhnya crane di Masjidil Haram akibat kedatangan Jokowi di Jeddah, hingga yang terakhir isu foto editan photoshop saat Jokowi melihat matahari terbit di Papua. Orang yang tidak peduli dengan kunjungan Jokowi ke Jeddah ataupun kunjungan Jokowi di Papua akan merasa biasa saja tanpa ada bumbu dari Jonru. Akan tetapi, mereka yang begitu getol melihat gerak-gerik Jokowi tentu langsung menatap tajam ke isu tersbeut. Jadi, kesuksesan Jokowi dalam hal kunjungan ke berbagai daerah hari ini adalah hasil kerja keras Jonru dalam membranding isu di sosial media.
Jika mau flashlight, eh, flashback, semua orang hampir tidak ada yang tahu siapa Jokowi sebelum ada berita tentang mobil ESEMKA. Setali tiga ranjang, tiadalah yang mengenal Jonru sebelum dia menjadi kritikus Jokowi. Keduanya menjelma bak pasangan emas Tsubasa dan Misaki atau sepasang merpati cinta layaknya Mas Toto dan Eneng yang begitu erat nan memabukkan. Mau tidak mau, hubungan Duo J (Jokowi n Jonru) secara tersirat mengindikasikan konspirasi kelas wahid. Hal ini sejalan dengan pepatah masyarakat Pulau Kangean yang mengatakan, “Pemimpin tanpa kritikus bagaikan malam hari tapi listrik mati.”
Kolaborasi keduanya hampir dipastikan akan berlanjut hingga 2019 atau bahkan sampai 2024. Garansi satu tempat di line up Jokowi sudah pasti menjadi milik Jonru. Isu reshuffle tidak akan pernah menyeret nama Jonru. Mengapa? Karena hanya Jonru yang rela dibully, dikatakan goblok bahkan dikatakan sinting oleh para pendukung Jokowi.
Ikhlaslah. Karena Anda tidak akan pernah mengetahui Jokowi dan Jonru terpisah. Sampai kapanpun keduanya tak akan mendendangkan lagu Haruskah Berakhir sebagaimana yang dibawakan Gery Mahesa. Apalagi mencoba memadukan lagu dua kekasih saya, Raisa dan Isyana (Mantan Terindah Tetap Dalam Jiwa).
#ThanksJonruDanSalam2Periode. Ehh!