Kota Malang, banyak jawaban yang akan didapatkan ketika ada pertanyaan, dimana kamu menghabiskan malam minggu. Hal itu sepertinya berlaku pada Sabtu (19/3/2016) hari ini, saat beberapa anak muda menghabiskan waktu mereka di kafe dan warung kopi. Ada sekumpulan anak-anak muda lainnya yang menggunakan kaos berlogo “60+” menghabiskan malam minggunya untuk menyemarakkan kegiatan Earth Hour. Gerimis tipis-tipis di awal acara sepertinya tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggelar kegiatan tahunan di dunia tersebut.
Earth Hour sendiri merupakan salah satu kegiatan hasil inisiasi WWF (World Wide Fund for Nature) Australia pada tahun 2004. Alhasil Earth Hour pertama kali diselenggarakan di Sydney pada tahun 2007, tanggal 31 Maret, pukul 19.30. Kegiatan ini berupa pemadaman lampu yang tidak diperlukan di rumah, perkantoran, dan instansi pemerintahan, selama satu jam untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya tindakan serius menghadapi isu perubahan iklim. Kegiatan ini dilakukan sekali dalam setahun di minggu ketiga bulan Maret. Indonesia sendiri sebagai negara dengan tingkat konsumsi energi listrik yang cukup tinggi mulai turut serta dalam kegiatan ini pada tahun 2008.

Semangat WWF dalam peningkatan kesadaran masyarakat akan penggunaan energi listrik patut untuk didukung, karena diakui atau tidak konsumsi energi di negeri ini cukup tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya di beberapa daerah seperti halnya Kota Malang hari ini, kegiatan Earth Hour nyatanya tidak lebih baik daripada Hari Raya Nyepi di Bali atau bahkan masyarakat Kangean yang setiap harinya hidup dengan 12 jam penggunaan listrik. Kegiatan Earth Hour 60+ Kota Malang dimulai pada pukul 20.30 WIB, bertempat di Balai Kota Malang.
Gerimis tipis-tipis yang sedari awal menemani pembukaan kegiatan ini, berubah seketika menjadi hujan deras ketika mendekati pemadaman lampu pada pukul 20.30, (mungkin mereka lupa menyewa pawang hujan). Alhasil, tagar #MalangPetengan berubah menjadi #MalangUdanGaSidoPetengan dan panitia yang jumlahnya lebih banyak dari pada partisipan yang menyaksikan Earth Hour mulai kelabakan. Padahal seharusnya panitia sudah memperhitungkan kondisi ini, mengingat doa para jomblo di Kota Malang seringkali mustajabah untuk menurunkan hujan di malam minggu.

Selain persoalan hujan yang seharusnya bukan menjadi alasan, kegiatan Earth Hour di Kota Malang tidak begitu total seperti halnya di daerah lain seperti Bandung, Jakarta, atau Semarang. Ketika kita kembali mengingat semangat Earth Hour yang tidak hanya menampilkan mbak-mbak gemes mengayuh sepeda listrik untuk menyalakan lambu berbentuk angka “60+”, lebih dari itu Earth Hour adalah pemadaman lampu yang tidak diperlukan di instansi pemerintahan. “Instansi Pemerintahan” berarti adalah Balai Kota dan Gedung DPRD Kota Malang, minimal dua gedung tersebut harus melakukan pemadaman lampu.
Namun yang terjadi di luar ekspektasi para partisipan, pemadaman lampu hanya dilakukan di teras Balai Kota, bahkan saat acara Earth Hour berlangsung ruang dalam Balai Kota masih terlihat ada lampu yang menyala, ditambah lagi dengan lampu-lampu sekitar Balai Kota yang terang benderang. Ekspektasi para partisipan yang ingin merasakan suasana gelap gulita dan bersama-sama menyalakan lampu senter handphone mereka untuk selfie pun musnah.
Apabila kita ingin berpikir logis tentang penggunaan daya listrik dan kegiatan Earth Hour, maka semangat untuk menghemat konsumsi penggunaan energi listrik tidak akan kalian temukan di Kota Malang. Sayangnya Pak Jaw yang ahli soal menghitung energi listrik tidak ikut melihat kegiatan tersebut, padahal secara kasat mata awam soal dunia per-setruman. Kita bisa melihat bahwa penggunaan energi listrik ketika kegiatan Earth Hour di Kota Malang lebih besar daripada pemadaman lampu teras Balai Kota. Lihat saja ketika pukul 20.30, sound system di acara tersebut masih hidup dan berapa laptop yang masih menyala. Fenomena inilah yang membuat acara tersebut tidak sesuai dengan semangat awal diselenggarakannya Earth Hour.

Siapapun boleh berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan energi listrik seperti halnya semangat awal dari kegiatan Earth Hour termasuk mbak-mbak gemes di Kota Malang. Namun ketika kembali lagi pada kegiatan Earth Hour Kota Malang, kita akan lebih banyak disuguhi mbak-mbak gemes yang takut kena beceknya air hujan atau memperjuangkan make up mereka supaya tidak luntur terkena air hujan. Esensi kegiatan yang seharusnya memberikan edukasi terhadap generasi muda akan bahaya perubahan iklim akibat penggunaan energi listrik yang berlebihan seakan-akan tidak begitu terlihat disini, mungkin karena mbak-mbak ini lebih sibuk untuk update di sosial media daripada memberikan edukasi ke partisipan yang datang di kegiatan tersebut.
Lebih luar biasanya lagi, ketika kegiatan Earth Hour berlangsung pada pukul 20.30-21.30, sepeda listrik hasil karya mahasiswa elektro yang rencananya akan dikayuh untuk menghidupkan angka “60+” warna biru ini, dikayuh oleh mbak-mbak gemes dengan make up tebal sambil menggunakan high heels di kaki mereka. Bayangkan betapa susahnya mengayuh pedal sepeda dengan menggunakan high heels, bahkan MHN yang sudah bersepeda dari Malang-Pare harus tertawa jahat saat mendengar ceritanya.
Mungkin secuil tulisan ini adalah kritik tentang kegiatan Earth Hour seperti halnya Christian Science Monitor yang mengkritik penggunaan lilin berbahan parafin dalam kegiatan Earth Hour. Mari berfikir ulang, benarkah Earth Hour di Indonesia hari ini lebih mengedepankan sisi penyadaran masyarakat ataukah hanya kegiatan seremonial terbaru sebagai ajang muda-mudi selfie dan update di semua sosial media mereka, menunjukkan bahwa mereka adalah pejuang lingkungan sesungguhnya.