Judul: Distilasi Alkena (Denganmu, Jatuh Cinta Adalah Patah Hati Paling Sengaja)
Penulis: Wira Setianagara
Penerbit: MediaKita
Tahun : 2016
ISBN: 9789797945138
“Bagaimana mungkin aku berpindah, jika hanya padamu hatiku bisa singgah.”
Masih ingat dengan pemuda kelewat awet lajang pemilik brewok lebat dengan plintiran kumis layaknya sendok garpu? That’s right. Wira Setianagara atau yang beken dipanggil Wiranagara. Yak, pemuda 23 tahun ini lagi-lagi membuat ulah. Jika dahulu ia kondang akan stand up mellow bak lagu Kenanglah Aku milik Naff. Kini ia kembali menghebohkan generasi ababil, kaum alay, dan umat baper seluruh nusantara.
Akhir februari lalu, ia merusak tatanan kenyamanan hati setiap insan dengan buku bertajuk Distilasi Alkena: Denganmu, Jatuh Cinta Adalah Patah Hati Paling Sengaja. Buku setebal 172 halaman ini berisi serangkaian bait-bait patahan, sajak-sajak penyesalan, hingga puisi-puisi kerinduan untuk melewatkan kenangan dengan balutan senyuman atau tangisan. Anda tak perlu jauh-jauh ke perpustakaan Universitas Leiden hanya untuk mengetahui apa arti Distilasi Alkena. Cukup ke laboratorium sebentar dan tanyakan kepada kakak-kakak asisten praktikum dengan setelan jas putih dan rok mininya arti dari Distilasi alkena.
Isi buku ini sebenarnya beberapa sudah ia tuliskan di blog/web pribadinya sejak 2012 lalu. Namun, untuk melengkapi kebutuhan dan agar terlihat tebal, ia menambahkan beberapa sajak yang belum pernah diposting di blognya. Dan menjadi sangat sempurna nan mengena tatkala buku ini dibumbui dengan gambar dan ilustrasi yang serasi dengan narasi cerita. Pun begitu dengan judul bab yang digunakan, Wira memilih berbagai macam reaksi kimia sebagai perumpamaan. Dasar Mahasiswa Pertanian!
Secara umum, buku ini adalah cerita seperti diary depresi pribadi Wira yang dituliskan dengan berbagai cara. Meski berstatus generasi 90an, Wira menghindarkan diri dari penulisan ala kadarnya seperti curcol-curcol di medsos ala ABG zaman sekarang. Kadang tulisannya melambai bak putri keraton, kadang bermetafora layaknya senja di Jogja, kadang pula tampil dengan dentuman-dentuman mengena seumpama tatapan Michelle Chen yang manja.
Cerita-cerita tersebut terbagi menjadi tiga pokok besar. Pertama tentang kepedihan tatkala ditinggalkan atau mendapati penolakan, kedua perihal menikmati kesendirian, dan ketiga ikhwal mengikhlaskan cinta yang terlampau pergi di lain pelukan. Berikut adalah beberapa kutipan yang mewakili tiga pokok besar isi buku ini.
Tentang Kepedihan Tatkala Ditinggalkan atau Mendapati Penolakan
“Tingkat sepi paling mengerikan, adalah sepi dalam keramaian.” (Hal. 46)
Perihal Menikmati Kesendirian
“Sayangnya, beberapa kisah hanya butuh didengarkan tanpa solusi.” (Hal. 33)
“Sungguh rindu membuat kebodohan terasa begitu cerdas.” (Hal. 145)
Ikhwal Mengikhlaskan Cinta yang Terlampau Pergi Di Lain Pelukan
“Waktu akan menamparmu dengan sangat bijaksana.” (Hal. 42)
“Aku ingin sibuk sesibuk-sibuknya untuk sukses sesukses-suksesnya. Agar kau percaya penyesalan bisa datang bersamaan dengan perpisahan.” (Hal. 96)
. . . . .
Secara garis besar, Distilasi Alkena tampil nyentrik-dengan pilihan diksi dan rima-dengan derajat kebaperan tingkat dewa. Tiap baitnya puitis nan melankolis-hingga tak sadar-ketika membaca-daratan pipi menipis-tergerus erosi air mata duka cita. Lebay!
Buku ini menjadi sangat istimewa tatkala dibaca saat rintikan hujan turun mendera atau menjelang tidur tepat ketika jarum jam membentuk sudut 0 derajat. Berserah dan ikhlaslah semenjak berdiri di depan kasir pembayaran-jika membaca buku ini-sekali lagi-anda akan terbuai dalam hanyutan kenangan. Karena seyogyanya itulah niatan Wira menuliskan Distilasi Alkena.
Bagaimanapun, seperti apapun, dan dengan cara apapun, Wira telah berhasil mewakili kegundahan para penikmat kopi dan senja dengan Distilasi Alkena. Buku ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang wani nolak meski belum ditembak. Menjadi hantaman untuk mereka yang memilih berbagai macam kode ghaib untuk menghindar dari strategi-strategi pendekatan. Menjadi rujukan tandingan untuk mereka yang memilih pergi tanpa mengucapkan kalimat perpisahan.
“Sebab, ribuan pelukan akan tetap menguap bila dihadapkan sebuah kepergian.”