Oleh M. Dwi Cahyono
Masyarakat Jawa, seperti digambarkan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java adalah satu masyarakat yang tak bisa dipisahkan dari tradisi menghormati nenek moyang, yang ditunjukkan dengan ritus slametan. Jika orang Jawa dipisahkan dari slametan, maka hilanglah sosok ke-Jawa-an mereka. Dan memang tradisi slametan bukan hanya monopoli warga pedalaman Jawa, para nelayan yang hidup di sepanjang pantai Laut Jawa pun juga memiliki tradisi slametannya sendiri. Petik Laut adalah salah satu bentuk slametan tersebut.
Para nelayan pada umumnya menyakini bahwa ada penguasa gaib di laut, yang kepadanya mesti diberi persembahan agar mereka terhindar dari murkanya, dan sebaliknya mendapat limpahan berkah. Upaya menghindari kemurkaan penguasa samudera yang berwujud terhindar dari gulungan ombak besar, terjangan angin badai, pemangsaan binatang laut, dan sebagainya adalah hal yang penting. Dasar pemujaan mereka adalah ketakutan akan kekuatan Yang Mahadahsyat.
Dalam kaitan itu, mereka menyadari bahwa kedahsyatan dan keganasan samudera tak selalu mampu ditaklukkan, sehingga perlu ditempuh upaya lain, yakni dengan cara “menjinakkan” penguasa gaib-nya. Sebagai nelayan, berkah yang berupa melimpahnya ikan tangkapan di laut tentu amat diharapkannya. Mereka merasa tak cukup hanya dengan mengandalkan perangkat canggih penangkap ikan, namun perlu pula menyenangkan hati Pemberi Berkah dengan puja, sesaji ataupun dengan persembahan korban, yang semuanya ini merupakan “suap (briber)” terhadapnya.
Namun yang tak kalah penting, di balik ritus bahari tersebut tersirat adanya pernyataan syukur, ekspresi rasa terima kasih atas anugerah yang telah diberikan. Manusia Jawa adalah sosok yang tahu diri bahwa hasil laut yang mereka peroleh bukan semata berkat kemahiranya menangkap ikan dan kecanggihan alat tangkap yang dioperasikannya. Semahir apapun ketrampilan mereka, dan secanggih apapun perangkat yang digunakan, takkan berarti jika “Pemberi Berkah” tidak berkenan memberikan berkahnnya.
Petani dan nelayan, memang memiliki alam yang berbeda. Para petani umumnya relatif dapat memperhitungkan perolehan panen yang bakal didapatkannya. Tetapi nelayan adalah pekerja yang tak pernah dapat meramalkan sukses kerjanya, kecuali atas campur tangan dari Illahinya. Pulang melaut dengan tangan hampa kendati tengah “masa along” (masa puncak banyaknya ikan di laut) atau sebaliknya merupakan hal yang biasa, bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Ketika para nelayan mengekspresikan rasa syukurnya dengan melarung sebagian ikan tangkapannya ke laut, maka sesungguhnya mereka juga sedang berharap agar Sang Penguasa memberi anugerah yang lebih besar di kemudia hari. Pada ritus Tutup Layang yang terjadi di Brondong, Lamongan misalnya, salah satu kelengkapan sesajian yang penting adalah ikan yang telah dimasak, dan tumpeng yang dilengkapi dengan hiasan berbentuk ikan-ikanan. Maknanya adalah mendermakan sebagian dari rizki kepada Sang Penguasa Alam.
Tetapi sebenarnya di samping ritus Petik Laut, masih ada sejumlah ritus lain, seperti upacara kali pertama menurunkan perahu/kapal [yang baru dibuat atau diperbaiki] ke laut, awal turun kembali ke laut setelah melewati masa tenggang selama musim angin, upacara larung pada tiap 1 Sura, dan sebagainya. Masyarakat nelayan pada umumnya menganggap peristiwa-peristiwa ini merupakan masa transisi yang penuh dengan bahaya. Karena itulah mereka perlu memohon kekuatan secara religio-magis kepada Yang Maha Kuasa. Oleh karena itulah ritus ini dapat pula digolongkan sebagai ritus peralihan.
Ritus kebaharian, sesungguhnya mengatasi agama-agama besar. Artinya ia telah menjadi ritus sedari dulu, ketika agama-agama resmi belum ada. Dan tradisi tersebut masih berlangsung hingga kini. Namun akhir-akhir ini ada upaya kalangan agama tertentu untuk mengintervensi pada tradisi ini. Misalnya dengan cara menyisipakan doa menurut agama tertentu, atau menyesuaikan waktu pelaksanaannya dengan hari-hari besar agama tertentu.
Kita tidak tahu sampai kapan tradisi Ritus Bahari ini bisa bertahan. Tetapi apa yang bisa dikatakan saat ini adalah bahwa, ritus bahari seperti Petik Laut memiliki fungsi-fungsinya sendiri yang tidak serta merta bisa digantikan oleh fungsi ritus agama-agama resmi yang mereka anut. Jika suatu tradisi masih dipertahankan keberadaannya, berarti tradisi itu masih dipandang fungsional bagi pelakunya dan karenanya tak perlu dipaksakan untuk ditiadakan hanya lantaran dinilai tidak selaras dan tak mengacu kepada doktrin agama besar (apapun nama agama itu).
*) Drs. M Dwi Cahyono, M Hum, adalah staf pengajar Universitas Negeri Malang
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003
Gambar: http://album.banyuwangikab.go.id/217/9/banyuwangi+petik+laut+04.jpg
Leave a Reply