Judul Buku: PMII di Simpang Jalan
Penulis: A. Malik Haramain
Pengantar: Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun: 2000
Tebal: 192
ISBN: 9799289807
Sebagai salah satu bagian vital dari bangsa ini, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) memiliki rangkaian historis yang panjang dan berliku. Bersama dengan elemen gerakan mahasiswa yang lain, PMII didirikan dengan harapan mampu membendung situasi politik saat itu (baca: Orla) yang cenderung berlaku totaliter. PMII kemudian memasuki suatu zaman yang bernama Orde Baru, di mana totalitarianisme justru lebih mengganas dibandingkan orde sebelumnya. Dari sinilah sebenarnya cerita sebuah gerakan mahasiswa yang radikal, yang sering disebut sebagai “anak nakal” dari NU itu dimulai.
Bingung Menentukan Arah?
Di masa Orde Baru, tentu sekian banyak gerakan mahasiswa secara jujur tidak mengelak bahwa PMII adalah salah satu elan pendobrak perjalanan Orba. Namun hari ini, sebagai salah satu dari “anak nakal” NU itu, tampaknya merasa kebingungan menentukan arah.
Dua hal yang penting dikemukakan untuk menyebut PMII “bingung menentukan arah”, –maksudnya mungkin bisa dikatakan bahwa gerakannya sudah tak seradikal dulu–, adalah:
Pertama, situasi naiknya Gus Dur (NU) sebagai Presiden, yang mau tidak mau lantas membawa NU ke jenjang kekuasaan. Bisa diketahui bahwa NU semenjak khittah ke-26 di Situbondo adalah organisasi yang memproklamirkan diri di luar kekuasaan. Inilah yang kemudian membedakan NU dengan organisasi-organisasi lain di masa Orde Baru, misalnya, bahwa NU bisa digolongkan sebagai organisasi yang memiliki resistensi tinggi terhadap kekuasaan. Namun, semenjak Gus Dur naik ke puncak kekuasaan, akankah situasi itu bisa dipertahankan? Secara formal memang NU tetap bertahan pada khittah 26, tapi benarkah mekanisme kekuasaan bisa dipertahankan sedemikian rupa, hanya karena bertahan di bawah sebuah kesepakatan yang bernama khittah?
Itulah yang terjadi saat ini. Sementara NU lambat-lambat mulai kehilangan jati dirinya sebagai organisasi kultural, PMII pun merasakan hal yang sama. Organ gerakan muda dari NU yang dulu dirasakan penuh dengan semangat pembaharuan; anti status quo; anti kekuasaan, saat ini, sama dengan NU, lambat-lambat juga mengalami efek yang tak ringan dari naiknya Gus Dur ke puncak kekuasaan. Dengan bahasa sederhana, mampukah dan seberapa jauh kemampuan itu digunakan oleh PMII untuk secara kritis dan tajam menyoroti kebijakan dan kinerja pemerintahan Gus Dur, yang notabene sudah dianggap sebagai bapaknya anak-anak muda PMII itu? Inilah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban yang ditulis di kertas, melainkan penampakan secara riil bahwa PMII tetap pada idealisme semula, bahwa ia mampu melakukan perubahan. Sekurang-kurangnya, fenomena dan solusi seperti itulah yang ingin dikemukakan oleh penulis buku ini pada pembaca, bahwa PMII mesti tetap kritis, pada siapa saja, termasuk (apalagi) Gus Dur.
Kedua, Sebuah situasi yang disebut oleh Ulil Abshar Abdalla (intelektual muda PMII/NU, pemberi pengantar buku ini) sebagai “situasi antara”. Dengan analisa sosiologisnya yang kritis, Ulil menyebut bahwa gerakan mahasiswa semacam PMII pada saat ini (mungkin saja) sudah tak layak pakai alias kalau perlu dibubarkan saja. Hanya ia kemudian mempertanyakan ulang, misalnya PMII dibubarkan, apakah organisasi modern selanjutnya yang mampu menampung jumlah anggota PMII yang ratusan ribu itu?
Tradisional menuju Modern?
Di masa di mana terjadi pergerakan yang mendasar dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, atau terjadi pergerakan dari peradaban tradisional menuju peradaban modern, tentu membawa dampak yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah eksistensi organisasi-organisasi semacam PMII, yang disatukan atas dasar ideologi, yang menurut Ulil disebut sebagai organisasi dengan karakteristik tradisional (gemeinschaft), tentu akan mengikuti arus zaman, yakni menuju modern. Organisasi-organisasi atau perkumpulan masyarakat di bawah modernitas disatukan atas dasar kepentingan dan profesi yang sama (bukan lagi ideologi), seperti Ikatan Dokter, Ikatan Advokat, Ikatan Sarjana dan lain sebagainya (fungsionalisasi masyarakat).
Argumentasi yang lain, PMII sudah tak lagi menemukan tujuan yang sama untuk hari ini dengan saat di mana tujuan PMII didirikan. Itulah yang kemudian membubuhkan pertanyaan mendasar di mana sesungguhnya eksistensi PMII (dan organisasi Kelompok Cipayung lainnya, HAMI, GMNI, PMKRI, GMKI) hari ini? Sebuah pertanyaan yang selalu diulang-ulang Ulil: masihkah PMII relevan dalam keadaan sekarang ini? Jika iya, dalam bidang-bidang manakah relevansi itu dapat diketemukan?
Ulil menduga bahwa PMII sebetulnya terperangkap dalam “situasi antara” seperti ini. Sifat PMII sebagai perkumpulan mahasiswa yang mempunyai latar belakang kultural NU sebetulnya dengan mendefinisikan karakternya sebagai perkumpulan “gemeinschaft”. Tetapi situasi lain juga dihadapi ormas ini, yaitu kenyataan bahwa hampir sebagian besar anggotanya bekerja pada sektor pekerjaan modern yang berkembang pada asas-asas yang sepenuhnya bersifat fungsional. Akibatnya adalah bahwa di satu pihak anggota PMII makin terserap kepada model pengelompokan sosial yang makin fungsional, tetapi di pihak lain dia juga ditarik ke belakang oleh “memori kolektif” lama yang sifatnya atavistik.
Ada sejumlah anak-anak PMII yang mencoba mengatasi “situasi antara” ini dengan mencoba menuntaskan identitasnya, misalnya dengan meninggalkan sama sekali identitas atavistik dan sepenuhnya mengikatkan diri pada identitas yang lebih fungsional sifatnya. Di sini berarti terjadi semacam “penguburan memori” dan pembentukan identitas baru. Tetapi, dugaan saya, sebagian besar anggota PMII terjebak di dalam situasi ini dan tidak bisa keluar dari semacam keadaan “kuldesak”. Ini yang menyebabkan kebingungan dan situasi gamang yang dihadapi PMII. Dengan demikian, PMII di simpang jalan?
Benarkah di Simpang Jalan?
Pertanyaan ini mengemuka di hampir sekian banyak forum publik PMII akhir-akhir ini. Tapi penulis kemudian mempertanyakan ulang pertanyaan ini, benarkah PMII di “simpang jalan”? Bahkan, pertanyaan ini bersanding dengan sebuah pernyataan lain bahwa PMII mendapat “angin segar”? Penulis mengatakan bahwa ini adalah persoalan landasan hidup sebuah perjuangan, dan dengan demikian merupakan persoalan yang amat mendasar dalam kehidupan perjuangan PMII. Oleh karena itu, PMII perlu menata niat untuk selanjutnya menemukan formasi landasan perjuangan yang kukuh dan kokoh, tak mudah digoyahkan.
Naiknya Gus Dur ke panggung kekuasaan membuat perjuangan PMII untuk merebut kemandirian dan kesejahteraan rakyat menuju demokrasi harus ditata kembali, untuk memberi corak dan arah mekanisme perjuangan. Memang, tidak selamanya sebuah perjuangan untuk merebut demokrasi harus dihadapkan pada kekuasaan. Meski tetap harus dimengerti bahwa kekuasaan adalah mesin kebijakan yang menjadikan rakyat adalah steikholder-nya.
Terakhir penulis menyebut bahwa warna perjuangan PMII tidak selamanya harus turun ke jalan dan berteriak ramai menyalahkan kekuasaan. Pun, tidak kemudian PMII tidak sama sekali turun jelan dan berteriak protes, hanya karena pemerintahan hari ini adalah “NU” atau “Gus Dur”. Semangat perubahan tetap harus menjadi agenda PMII, dalam situasi dan kondisi apapun. Mendorong perubahan sosial berarti juga mengandaikan demokratisasi berjalan di rel yang benar. Dalam situasi di mana NU berpartisipasi secara dominan dalam politik, seharusnya tidak kemudian menjadikan PMII larut dalam euforia politik tersebut. PMII perlu mengulang lagi penjelasan bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa, yang concern akan perubahan; sebagai agent of social change, dan bukan agen politik tertentu.
Leave a Reply