Di Kota Malang, lumrah sekali orang ngomong, “Mulai makin dingin. Ini bulan-bulan menjelang mahasiswa baru berdatangan.” Kalimat pertama dengan kalimat kedua memang tak ada hubungannya sebelum dijelaskan bulan-bulan yang dimaksud itu bulan apa. Bulan apa saja? Ya bulan Juli, Juni, dan Agustus. Kota Malang, dari segi cuaca, sama saja sebenarnya dengan daerah lain yang berada di ketinggian tertentu dari permukaan laut di Jawa Timur pada umumnya. Tahun 2012 lalu, saya ke Bondowoso mengunjungi kuburan paman, di sana juga dingin sebagaimana di sini, apalagi perbandingannya adalah Madura—sebuah pulau di mana nyaris semua orang dan setan dari yang berpangkat kopral hingga jenderal bersepakat atas cuaca panasnya.
Kedatangan mahasiswa baru bukan penyebab perubahan cuaca. Pernyataan ini jelas, tak perlu konfirmasi ke Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), apalagi cuma mau tahu apakah hari ini hujan atau tidak untuk memastikan jemuran Anda kering. Meski mahasiswa baru bukan penyebab turunnya angka dari 27 derajat Celcius ke 19 derajat Celcius, tapi jelaslah kehadiran mereka memperbanyak populasi orang di Kota Malang. Rumah-rumah di Jl. Kertorahayu belakang Mekdi MT. Haryono itu sudah banyak yang ditinggalkan pemiliknya untuk dialih-fungsikan sebagai kost-kostan. Sudah tidak ada anak-anak kecil main di jalan sekitar itu saat sore menjelang. Itulah kenapa jumlah SD di Ketawanggede hanya segelintir, bahkan SDN Ketawanggede tinggal satu (SDN 1 dan 2 jadi satu lokasi). Populasi orang asli Ketawanggede berkurang, tergantikan naiknya jumlah mahasiswa tiap tahun yang bukan hanya terpusat kuliah di UB atau UIN.
Turunnya jumlah populasi orang Ketawanggede asli berbanding terbalik dengan naiknya jumlah warung makan di kelurahan terpadat di Kota Malang ini. Tapi kepergiaan mereka seperti amoeba yang membelah diri menjadi mahasiswa dan mahasiswi dengan jumlah yang berlipat ganda. Gerak pertambahan jumlah manusia berlipat ganda, kata Malthus dalam tulisannya yang sangat terkenal “An Essay on the Principle of Population”, ketersediaan makanan mengikuti laju hitungan aritmatika yang cenderung meningkat tapi sangat pelan, tidak bisa mengikuti jumlah tingkat pertumbuhan penduduk. Malthus tumbang, industrialisasi datang. Di Ketawanggede, industrialisasi berupa berkembangbiaknya jumlah Pujimulyo menjadi Pujimulyo yang lain.
Jumlah manusia bertambah. Rata-rata dari mereka punya kendaraan bermotor minimal roda dua. UB, yang jumlah mahasiswa barunya pertahun tak pernah kurang dari 10.000 orang, hanyalah satu dari sekian banyak kampus di kota ini yang selalu gagal menerapkan kebijakan larangan bagi mahasiswa baru untuk kendaraan bermotor ke kampus. Bagaimana bisa jadi, selain transportasi publik yang tak bisa benar-benar digunakan secara publik, mahasiswa ini juga susah diangkat kesadarannya untuk jalan kaki 3 km tiap hari ke kampus.
Ada 50-an kampus di kota ini. Jika total mahasiswa yang diterima oleh kampus tersebut sekitar 150.000 orang pertahun, berarti ada kepala dengan jumlah yang sama masuk tiap tahun, sedangkan jumlah keluarnya juga tidak seimbang. Tanya saja kakak-kakak yang sering ngopi di warung-warung dekat UIN, UB, Unisma, UMM, dan sekitarnya itu. Paling banyak dari mereka adalah mahasiswa expired dan sarjana yang menganggur gara-gara tidak bisa move on dari imutnya dedek-dedek gemes di kampus.
SPP, Uang Masuk, dan APBD
Jumlah 150,000 orang pertahun ini dalam bayangan saya masih mungkin untuk lebih. Namun, bayangkan saja, jumlah kampus yang banyak ini selalu berkompetisi untuk menaikkan jumlah mahasiswanya. 150,000 orang ini sudah setara tiga kali jumlah populasi Kepulauan Faroe atau setengah dari jumlah penduduk Islandia.
Jika ada sekitar 150,000 mahasiswa baru tiap tahun yang masuk ke Kota Malang, dan mereka bayar SPP beserta uang gedung sekitar 15,000,000 dalam rata-rata, maka dari itu saja sama dengan 2,250,000,000,000 alias nyaris sama dengan APBD Kabupaten Lamongan tahun 2016 (cek sendiri, maklumi kalau keliru). Jadi, jumlah mahasiswa baru di Kota Malang bisa cukup untuk bikin kabupaten sendiri jika bertempat di Jawa atau bisa membuat negara sendiri jika lokasinya ada di Samudra Pasifik.
Ketawanggede, kelurahan dengan jumlah mahasiswa terbanyak berdasarkan data yang dirilis oleh JNK Research Center sebelum subuh tadi, terlihat seperti asrama mahasiswa besar yang penuh sesak. Jika Anda tersesat di sekitar Kertopamuji Gang Masjid, jangan heran dengan banyaknya tulisan “terima kost putri” di rumah-rumah yang sebelumnya bapak-bapak tua duduk di depannya di sore yang cerah.
Leave a Reply