Judul: Hukum dan Kebijakan Publik: Analisis Atas Praktik Hukum dan Kebijakan Publik dalam Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia
Penulis: Muchsin dan Fadillah Putra
Penerbit: Universitas Sunan Giri Surabaya dan Averoes Press
Tahun: 2002
Tebal: 202
ISBN: 9793237406
Studi kebijakan publik sebagai proses politik yang berorientasi pada akomodasi kepentingan publik, pada saatnya harus bersinggungan dengan erat dengan konsep demokrasi. Sebab tanpa persinggungan ini bukan tidak mungkin kebijakan publik justru akan meminggirkan kepentingan publik itu sendiri. Dan dengan demikian ia menjadi alat bagi kekuasaan yang ada di sebuah bangsa untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dan manipulatif untuk kepentingan sedikit orang.
Studi Kebijakan Publik
Kebijakan publik, pada posisi ini hanya dimiliki oleh segelintir orang, dan keuntungan dari produk politik (yang mengatasnamakan banyak orang) itu pun tidak berimbas pada keseluruhan masyarakat. Secara konseptual studi kebijakan publik yang tidak bersinggungan dengan konsep demokrasi ini sering disebut dengan istilah iron cage atau ada pula yang menyebutnya dengan iron trangle (Parsons, 1997: 580; Jordan, 1998: 713-740). Secara lebih eksplisit Jaques Ellul (dalam Jenkins-Smith, 1990: 205) melontarkan kritik terhadap analisis kebijakan publik yang menurutnya dapat melemahkan demokrasi, sebab analisis kebijakan cenderung akan dikuasai oleh para pakar analis kebijakan.
Demokrasi, barangkali adalah akronim Yunani yang paling absurd. Bagaimana mungkin demos (rakyat) dan kratos (otoirtas), atau sebutlah kekuasaan rakyat, bisa mewujud secara absolut dan konkrit? Sedangkan Pemilu, yang diakui sebagai mekanisme paling modern untuk merealisasikan suara rakyat pun, sesungguhnya hanya mewakili sebagian dari keseluruhan.
Sebagian yang mengusai keseluruhan itu, bisa jadi malah membawa masyarakat pada jurang kenestapaan. Itulah mengapa Socrates begitu tidak sepakat dengan demokrasi. Ia lebih mengusulkan meritokrasi, dimana masyarakat dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai keahlian tinggi di bidang yang dibutuhkan lembaga-lembaga kekuasaan.
Namun perkembangan konsep demokrasi hari ini makin mengalami kemajuan yang pesat. Ia tidak lagi mempercayakan mutlak keberadaannya pada mekanisme politik formal (seperti pemilu, partai, legeslatif, dan sebagainya), tapi lebih mempercayakan pada penyelenggaraan politik kenegaraan sehari-hari. Oleh karena itulah model terdahulu dari pandangan yang dikemukakan Schubert (1966), yaitu pandangan realis, akan lebih cocok untuk mencerna keberadaan demokrasi hari ini.
Kalkulasi Teknonomi
Berangkat dari kesadaran inilah, kemudian studi kebijakan publik menyandarkan dirinya atas persinggungannya dengan konsep demokrasi, dengan menggunakan indikator akomodasi kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud jelas merupakan proses tarik-menarik dari berbagai kepentingan di masyarakat, yang kemudian dapat menjelma menjadi opini publik. Pada saat inilah kemudian Page (1994) membebankan responsivitas demokratik (democratic responsiveness) pada setiap kebijakan publik yang ada. Page mengajukan banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar yang saling berkaitan antara kebijakan publik, demokrasi dan opini publik.
Tuntutan semacam itu, dalam perkembangan studi kebijakan publik berikutnya kemudian banyak ditemukan penyimpangan. Terutama ketika studi kebijakan publik didominasi dengan sangat kuat oleh pendekatan positifistik dan ekonomik. Pada perkembangan ini kebijakan publik menjadi suatu yang sangat elitis, dan hanya dikuasai oleh kelompok pakar saja, sedangkan publik tidak terlibat. Abdul Wahab (1998) menyebut keadaan analisis kebijakan publik seperti ini dengan dominasi kalkulasi teknonomi (teknik dan ekonomi).
Dalam penjelasan ini Abdul Wahab mengatakan dengan itu maka “kalkulasi teknonomi” (teknik dan ekonomi) biasanya lebih meninjol ketimbang kalkulasi sosial politik. Penggunaan analisis model ekonomi ini mengundang resiko: akan banyak menyingkirkan variabel-variabel yang oleh partisipan lain (misalnya warga masyarakat setempat, para aktifis lingkungan, pengamat dan pecinta lingkungan hidup) dianggap penting dan layak diperhitungkan. Pada proyek-proyek pembangunan semacam itu, diskursus yang terbuka dan kritis untuk “mempertemukan asumsi” tidak terjadi, sebab interaksi sosial biasanya berlangsung dalam suasana kaku, didominasi oleh para pakar dan birokrat dalam wacana resmi, tak jarang dalam bahasa teknis yang tidak dimengerti oleh masyarakat banyak.” (Abdul Wahab, 1998: 50).
Perkembangan mutakhir kebijakan publik mengarah pada pengedepanan nilai-nilai demokratis dikarenakan adanya banyak kelemahan dalam kebijakan publik tradisional yang positivistik. Kelemahan-kelemahan yang ada itu coba dijawab oleh kebijakan publik mutakhir, yang jawabannya adalah dengan memasukkan lebih banyak nilai-nilai hukum dan demokrasi di dalamnya.
Gambar: http://www.idahocounseling.org/wwwroot/userfiles/images/ppl/aboutbipp580px.gif
Leave a Reply