Strukturalisme merupakan gagasan relatif baru yang ditelurkan oleh Ferdinand de Saussure (ahli bahasa yang mempertahankan tesisnya tentang bahasa Sansekerta pada 1880). Dalam ilmu sosial, strukturalisme adalah penerapan analisis bahasa ke dalam gejala sosial sebagai kontribusi paling penting seorang Claude Levi-Strauss.
Apa yang paling penting diajarkan dalam strukturalisme dalam hal ini adalah perbedaan apa yang disebut dengan langue (bahasa) dan parole (ujaran/percakapan). Kata ‘hari raya’ adalah sebuah hari yang bisa merujuk pada perayaan apa saja, oleh dan untuk siapa saja. ‘Hari raya’ bisa melekat pada Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Natal, Hari Raya Waisak, Hari Raya Galungan, Hari Raya Imlek dan lainnya. Tetapi kata ‘Hari Raya Idul Fitri’ adalah satu-satunya hari raya umat Islam yang jatuh setelah bulan Ramadlan saat kaum muslim diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Lebih jauh, perbedaan antara langue dan parole adalah perbedaan antara apa yang sosial dan apa yang individual, apa yang umum dan apa yang spesifik, apa yang hakiki dan apa yang kebetulan.
Dalam perspektif strukturalis, kata ‘hari raya’ yang menunjuk pada sebuah hari istimewa dan merupakan suatu peringatan suci itu adalah dianggap sebagai makna yang melekat secara kebetulan belaka, dan tidak terlalu dipentingkan. Kata ‘hari raya’ digunakan bukan karena ia menunjuk pada sebuah peristiwa kemenangan tertentu yang harus diperingati secara bersama-sama, melainkan karena hubungan dan perbedaannya dengan kata ‘bukan hari raya’. Perkara yang ‘bukan hari raya’ itu tidak selalu merupakan ‘hari raya’ itu bukan perkara penting. Yang jelas, dan lebih jauh, sebagaimana pemikiran post-strukturalisme, misalnya Jacques Derrida, perbedaan bukan hanya metode untuk menunjuk sesuatu, melainkan perbedaan itu merupakan cara untuk membentuk identitas, dan bahkan menentukan makna sesungguhnya dari identitas itu. Jadi perbedaan antara ‘hari raya’ dan ‘bukan hari raya’ bukanlah semata-mata ‘hari raya’ adalah apa yang ‘bukan hari raya’, melainkan karena identitas ‘bukan hari raya’ itu sendiri memiliki hakikat eksistensi. Intinya, berbeda adalah identitas itu sendiri.
Dalam cara pandang Levi-Strauss yang menerapkan pada analisis sosial, hal seperti ini semakin menarik diikuti. Jadi apa yang utama dalam suatu analisis sosial, menurutnya, adalah bagaimana menemukan ‘kode tersembunyi’ yang ada di balik yang terlihat oleh mata telanjang. Kode tersembunyi itulah yang dinamakan sebagai struktur. Tindakan individual dalam ruang dan waktu hanyalah suatu kebetulan belaka. Jadi, kalau memahami makna lebaran idul fitri, yang perlu diperdalam adalah logika di balik keberadaan lebaran, bukan pada masyarakat yang merayakannya.
Dalam strukturalisme, subyek disingkirkan begitu rupa dan dalam konteks ini sungguh-sungguh mempelajari ‘kode tersembunyi’ sebagai struktur yang bisa memaksa aktor untuk bertindak. Mengapa seseorang harus mencopet untuk keperluan mudik, pada hakikatnya, jawabannya akan bisa ditemukan dari hal-hal yang tidak dapat dilihat secara kasat mata dalam perayaan lebaran. Jawaban mengapa polisi melarang para pelaku mudik untuk menggunakan sepeda motor berboncengan lebih dari tiga, dalam pandangan ini akan bisa ditemukan dari mempelajari ‘kode tersembunyi’ yang dimaksud. Bisa saja maksud polisi memang sungguh-sungguh menginginkan perjalanan yang aman bagi pemudik, atau bisa saja ada konspirasi penguasa untuk merumuskan kebijakan lain agar pemudik menggunakan angkutan umum yang sudah disediakan. Kita tidak tahu persis jawabannya karena ada sesuatu yang tidak terlihat. Jawaban mengapa pemerintah pada periode tertentu lebih mengedepankan penentuan lebaran dengan kalender, dan bukan pada ‘melihat bulan’, atau sebaliknya, dituntun dari ‘kode tersembunyi’ yang tersimpan dalam proses penentuan hari raya, apakah kepentingan politiknya, dari golongan manakah sang menteri berasal, dan seterusnya.
Mengapa kini banyak pemudik yang pulang kampung dengan menggunakan mobil rental sehingga menyebabkan mobil pribadi di jalanan semakin ramai, dan macet, harus diteliti dari ‘kode tersembunyi’ yang tidak terlihat. Bisa saja sang pemudik ingin pamer kekayaan di kampung karena dia sudah memiliki barang tertier itu, bisa saja untuk memudahkan perjalanannya, sewa kendaraan makin murah, bisa juga merupakan kritik terhadap sarana transportasi yang disediakan pemerintah yang kian hari kian buruk. Dan seterusnya.
Atas semua itu, dapat dilihat bahwa struktur dan yang ada di balik struktur mendominasi kegiatan pelaku dalam menjalankan tindakannya. Subyek bukanlah barang yang perlu dianalisis. Subyek disingkirkan. Orang-orang post-strukturalis menggarisbawahi cara berpikir secara arbitrer dan memulai analisis dengan menekankan pada perbedaan (difference).
Ketupat bukanlah dipahami sebagai makanan berbungkus daun kelapa yang diisi dengan segenggam beras dan dimasak sampai matang. Ketupat dimengerti karena ia berbeda dengan lontong dan opor. Kenyataan bahwa ketupat merupakan makanan khas lebaran Idul Fitri adalah kenyataan arbitrer atau itu suatu kebetulan belaka. Makna ketupat baru bisa dipahami ketika kita bisa menentukan perbedaannya dengan nasi uduk. Artinya ketupat itu eksis karena ada lontong, nasi uduk atau opor.
Bersambung (2-3 tulisan)
Leave a Reply