Siang itu terik matahari benar-benar yang menyengat kulit. Walaupun pada Bulan Januari ini dianggap bagian dari musim penghujan, namun suasana siang itu di Desa Sukolilo, Kecamatan Jabung, Kabupetan Malang terasa panas. Pagi itu, tepatnya Hari Kamis (Kliwon) beberapa warga Sukolilo yang dipandegani oleh Pak Dikri mempersiapkan beberapa perbekalan yang akan mereka gunakan untuk atraksi kesenian bantengan malam nanti. Beberapa perbekalan seperti empat pasang kepala banteng yang terbuat dari kayu, alat-alat musik seperti; kendang, ketipung, dan jidor dan cok bakal atau sesaji dengan dikemas secara sederhana.
Atraksi kesenian bantengan sejatinya tidak hanya dilakukan pada saat malam Jumat Legi, akan tetapi dilakukan saat momen-momen lainnya seperti: hajatan orang sakit agar cepat sembuh, bersih desa, memperingati Hari Proklamasi Indonesia, bahkan juga untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Khusus pada momen peringatan Maulid Nabi Muhammad hanya dilakukan dulu semasa hindupnya KH Mukti, serorang kyai sepuh yang sangat dihormati oleh warga se kecamatan Jabung, bahkan hingga Tumpang.
Pak Dikri bersama-sama dengan kalangan muda di Desa Sukolilo sebisa mungkin mengatraksikan kesenian bantengan setip malam Jumat Legi. Ia dan beberapa warga disana meyakini pada malam Jumat Legi merupakan hari yang sangat tepat untuk mengolah rasa spiritual. “Sebetulnya semua hari sama saja, semuanya baik, akan tetapi memang ada hari-hari khusus dimana kita akan lebih mudah untuk mendekat dengan Hyang Maha Kuasa”, demikian argumen Pak Dikri saat ditanya mengapa ia gemar melakukan atraksi kesenian bantengan pada malam itu.
Sebelum mengatraksikan kesenian bantengan, Pak Dikri melakukan beberapa ritual tertentu guna membersihkan dirinya dari perbuatan dosa. Kebiasaannya melakukan puasa mutih, yakni aktivitas berpuasa selama tiga hari tiga malam, dimana saat berbuka hanya makan nasi putih dan air putih lantas dilanjutkan puasa lagi pada malam harinya, merupakan kebiasaan Pak Dikri menjelang malam Jumat Legi atau kebiasaannya tatkala akan mengatraksikan kesenian bantengan. Puasa mutih agaknya belumlah cukup bagi Pak Dikri dan beberapa seniman bantengan lainnya seperti Rustam, Wasi’an, dan kawan-kawannya. Para seniman bantengan itu juga sering tirakatan pada malam harinya. Tirakatan adalah sebuah aktivitas untuk tidak tidur semalaman.
Menurut kepercayaan seniman bantengan, dan tentu para penganut tradisi kejawen lainnya dengan tirakatan itulah membuat diri manusia menjadi lebih waskito. Dengan tirakatan itu pula seniman-seniman bantengan merasa lebih dekat dengan Hyang Maha Kuasa. “ Pas wayah dalu kuwi, donyo koyo-koyo ora ono penguripan, sepi mampring, sing ono mung keheningan. Ngono iku wektu sing paling enak awake dewe dedungo marang Gusti”, ucap Dikri dalam menggambarkan suasana tirakatan yang sering ia lakukan.
Setelah puasa mutih dan tirakatan tiga hari tiga malam dilakukan, maka menjelang malam Jumat Legi, tepatnya saat sang mentari benar-benar telah masuk dalam peraduannya, hingga maya pada gelap gulita, Pak Dikri bersama-sama dengan seniman bantengan lainnya tampak khusu’ memanjatkan do’a-do’a sebentar sebelum atraksi bantengan dimulai. Asap dupa mengepul dipojok arena pertunjukkan yang hanya pelataran rumah, tanpa panggung layaknya sebuah atraksi kesenian dewasa ini.
Alunan musik yang hanya bersumberkan dari tiga buah alat musik mengalun membelah malam, menggantikan suara jangkrik dan katak. Tung tak tung dor tung ken tung tak tung ken tung dor tang tang tang dor dang tak dang dor…begitulah suara musik itu bertalu-talu menjadi tanda dimulainya pertunjukkan bantengan. Ketika suara musik telah berjalan beberapa saat, maka sepasang kelompok bantengan memasuki arena pertunjukkan dengan jogedan yang menjadi kekhasannya masing-masing. Memang tak ada tarian baku dalam setiap pertunjukkan kesenian bantengan.
Saat beratrakasi itu, bantengan diperagakan oleh dua orang, yang satu memegang kepala banteng dan yang lain dibelakangnya dengan posisi membungkung dan memegangi pinggul si pembawa kepala banteng. Pemain bantengan yang berada di belakang pembawa kepala banteng ditutup tubuhnya dengan anyaman rotan yang menyerupai tubuh dari banteng, lantas ditutup lagi dengan kain berwarna hitam legam guna menyesuaikan dengan warna sebuah banteng yang sebenarnya.
Begitu berada di dalam arena pertunjukkan, maka sepasang bantengan itu sesekali tampak beradu diri. Sesekali mereka ditengah alunan musik yang ditabuh dengan nada tinggi, kian membuat emosi seniman bantengan meninggi pula. Beberapa kali sepasang bantengan itu tampak beradu kepala. Tepuk tangan penonton kian membawa suasana kontestasi antar seniman bantengan kian tinggi. Arena pertunjukkan telah berubah menjadi ruang untuk beradu ketangkasan, ruang mempertaruhkan harga diri, sebab siapa saja yang tetap dapat berdiri kokoh selama atrakasi bantengan dijalankan, maka ia dianggap sebagai sosok pemain bantengan yang mempuni.
Siasat dan strategi merupakan modal utama bagi seniman bantengan untuk menakar harga diri diatas pentas atraksi. Tentu modal fisik yang kuat saja tidak memadai bagi pemain bantengan. Ia juga harus memainkan gerak tubuh layaknya banteng ketaton, banteng yang sedang dalam posisi beringas. Disinilah dibutuhkan kekompakan untuk menerjemahkan gerakan bersama. Tak dapat dipungkiri bahwa kesenian bantengan merupakan kesenian yang penuh dengan saling ekploitasi, saling “memprovokasi” kemarahan banteng lainnya.
Sorak sorai penonton dan sesekali ejekan kerapkali mengalir, yang kian membuat para pemain bantengan itu semakin terbakar emosinya. Dengan polah yang begitu beringas itu, yang nampak seolah bukan lagi bantengan yang bersifat figuratif semata, akan tetapi benar-benar merepresentasikan banteng secara “nyata”. Malam kian larut, namun hiruk pikuk pertunjukkan tambah kian semarak. Para pemain bantengan kian larut dalam alam spiritual, tampak para pemain bantengan itu memasuki fase kalab (trance). Fase kalab (trance) adalah fase dimana pemain-pemain bantengan itu tidak lagi dalam alam kuasa kontrol diri, mereka telah bergumul dengan kekuatan lain yang masuk dalam diri mereka.
Untuk mendinamisasi irama gerak tari dan atraksi kesenian bantengan, khsususnya pada saat kalab, biasanya seniman-seniman bantengan memasukkan gendhing-gendhingan Banyuwangenan. Kenapa gendhing-gendhing Banyuwangenan? Pak Dikri selaku seniman gaek di komunitas bantengan memiliki alasan tertentu. “Dengan memberikan alunan gendhing Banyuwangenan, maka akan mendekatkan si pengalab dengan unsur spiritualitas yang mereka hadapi. Sebab di wilayah Banyuwangi itu terdapat alas banteng , yang oleh sebagian seniman bantengan dianggap bagian dari pusat kemagisan kesenian bantengan. Bahkan tak jarang kami juga melakukan ritual-ritual tertentu di daerah itu,” ujar Pak Dikri
Namun sang dukun atau pawang sebagai pengendali kekuatan lain yang masuk dalam diri pemain bantengan itu akan tetap membiarkan kekuatan lain yang bersifat mistik itu menguasai diri pemain, dan membuat atraksi gerak tari yang penuh dengan aroma magis. Sang dukun atau pawang seperti Embah Sukrisman akan segera bertindak untuk memberikan pertolongan atau penyembuhan diri agar si pemain bantengan sadar diri kembali ketika pemain bentangan itu dirasa secara psikologis tidak kuat lagi bergumul dengan kekuatan besar yang masuk dalam dirinya itu.
Menurut penuturan Embah Sukris, memang tidak semua kekuatan lain yang manjing atau masuk dalam diri pemain bantengan itu merupakan kekuatan yang bersifat baik, kadangkala juga bersifat sangat mengganggu. “Tapi itu semua memang sangat tergantung pada bagaimana tindakan kita sehari-hari, khususnya bagaimana kita berterima kasih pada alam. Bagaimana kita memperlakukan alam, yang kemudian tercermin pada sesaji setiap ritual yang kita berikan”, sela Embah Sukris.Fase kalab itu pula sebagai tanda puncak pertunjukkan kesenian bantengan terjadi. “Itulah klimaksnya”, ujar Pak Dikri.
Walau begitu, biasanya beberapa pawang tak kekuarangan siasat. Jika dalam penglihatan si pawang atau dukun yang akan memasuki raga pemain bantengan adalah kekuatan jahat, maka sebisa mungkin pawang akan berusaha untuk menolaknya, akan tetapi jika sebaliknya, maka sang pawang akan mempersilahkannya untuk memasuki raga sang pemain
“Keringat penari kalab yang menetes, debu yang mengepul akibat injakan kaki, dan udara yang disemburkan dari tubuh pengalab adalah kepanjangan dari keberkahan yang mampu semakin memperkokoh rasa spiritualitas waktu itu yang diri membalut penonton”, imbuh Pak Dikri.
Sesudah kalab terjadi, dan pemain-pemain bantengan itu mengalami penyadaran diri kembali oleh sang dukun, maka pertunjukkan bantenganpun segera usai. Walau begitu, para pemain bantengan tidak diperkenankan segera meninggalkan arena. Hampir seluruh pemain bantengan harus terlebih dulu menjalani terapi psikologis yang dipimpin oleh sang dukun atau pawang, lewat pembacaan mantra-mantra. Ritual singkat itu sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari berbagai kekuatan jahat yang hendak mengganggu.
Hal yang tak kalah penting lagi yang harus dilakukan oleh sang dukun atau pawang seusai pertunjukkan kesenian bantengan adalah memberikan do’a-do’a khusus bagi si pemilik hajat yang memprakarsai adanya kesenian bantengan. Misalnya saat upacara bersih desa, maka biasanya para pemuka masyarakat atau kela desa yang menitipkan pesan tertentu kepada sang dukun mengenai permintaan-permintaan tertentu agar dipanjatkan oleh sang dukun kepada Hyang Maha Kuasa.
Warga masyarakat di Kecamatan Jabung sangat menyakini, bahwa dengan digelarnya pertunjukan bantengan akan membawa keberkahan tertentu atas daerahnya. Masyarakat Jabung menganggap bahwa bantengan merupakan salah satu jalan saja untuk kian mendekatkan diri pada Hyang Maha Kuasa. “Ada banyak jalan dan cara bagi kita untuk kian mendekatkan diri pada Hyang Maha Kuasa. Tapi semua itu tetap berpulang pada kehendak Hyang Maha Kuasa sendiri, apakah dia berkenan menerima atau tidak upaya makhluknya ini”, ungkap Embah Sukris.
Bersambung
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Newsletter Ngaji Budaya PUSPeK Averroes, 2003
Leave a Reply