Krisis ekonomi yang melanda bangsa ini pada 1997 rupanya juga berimbas pada krisis kebudayaan. Bagaimana tidak, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masyarakat kalang kabut, apalagi untuk kebutuhan tersier seperti hiburan dalam bentuk kesenian. Di Malang sendiri kondisi yang demikian ini mempengaruhi pementasan seni pertunjukan. Terlebih untuk kesenian ludruk yang memerlukan puluhan juta untuk bisa menaggapnya. Pun demikian juga dengan kesenian-kesenian tradisi lainnya seperti wayang topeng mulai tenggelam ditelan peradaban.
Vakumnya pementasan ludruk dan sepinya tanggapan wayang topeng adalah fenomena krisis kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul bisa ditebak, faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti wayang topeng telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop.
Kondisi yang demikian ini berangsur-angsur mulai bisa bangkit kembali setelah masa pemeritahan Abdurrahman Wahid. Gus Dur mencoba untuk membuka kran demokrasi, dengan memberikan kebebasan ruang ekspresi seluas-luasnya. Bahkan memeberikan ruang spesial untuk warga Tionghoa untuk mengekspresikan keseniannya berupa barongsai. Kontan saja nama barongsai melejit dan pementasannya langsung disambut oleh masyarakat Tionghoa di berbagai daerah.
Namun kondisi ini tidak berpengaruh signifikan terhadap bangkitnya kesenian tradisi dari krisisnya. Pamor topeng malangan dan pementasan ludruk semakin meredup. Frekuensi pementasannya semakin menurun drastis.
Sebanarnya factor ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab karya seni bangsa ini menjadi tidak bertuan. Batik, reog, angklung, lagu-lagu daerah serta tar-tarian adalah aset budaya bansa ini. Seperti kita ketahui bersama aset budaya ini beberapa saat yang lalu telah diklaim oleh Negara tetangga sebagai kebudayaan produk Malasia, sementara kita dan para pemimpin kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah ini. Kepedulian pemerintah terhadap kesenian tradisi nyaris tidak ada sama sekali.
Terlepas dari seluruh kejelekan orde baru, namun kepeduliannya terhadap seni tradisi masih terasa kental. Kepedulian pemimpin sangat mempengaruhi secara signifikan terhadap perkembangan kesenian tradisi di Indonesia.
Terbukannya kran informasi lewat media paska reformasi, membuat masyarakat semakin melek terhadap politik. Akhirnya manufer politik yang senantiasa menjadi jargon para pemimpin kita menjadi rahasia umum. Sehingga kepedulian terhadap kesenian tradisi hanyalah topeng belaka. Para pemimpin berhitung ketika mereka mengangkat kesenian tradisi atau yang lainnya. Seberapa signifikan meningkatkan popularitasnya ketika mengembangkan kesenian tradisi dan pop? Ini pertanyaan yang senantiasa menjadi pertimbangan para pemimpin kita.
Bangsa ini kadang memang latah terhadap barang baru seperti halnya demokrasi dan lain sebagainya. Kita tidak pernah maumengaca kepada bangsa-bangsa yang bisa maju dengan mengembangkan potensi lokalnya. Jepang, China, dan India adalah bangsa yang mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, atau demokrasi, tetapi tetap berpegang teguh pada tradisi. Bangsa Indonesia secara perekonomian cenderung merosot, teknologi masih mengekor, demokrasi masih kanak-kanak.
Ironisnya lagi, beberapa orang Barat banyak sekali yang belajar karawitan, menari dan kesenian-kesenian daerah lainnya. Generasi muda kita sudah tidak mau lagi belajar kesenian ini. “Tidak modis dan ketinggalan jaman”, itulah kata para pemuda kita.
Sungguh memprihatinkan nasib kebudayaan bangsa ini. Bangsa ini menjadi rapuh, tak memiliki jati diri, gampang goyah. Hal ini dikarenakan bangsa ini tidak menghargai kebudayaan dan kesenian yang menjadi identitas bangsa. Wajar saja jika bangsa ini sering menjadi olok-olokan bangsa lain. Dalam mengembangkan kebudayaan tradisional memang harus ada keteladanan dan ketegasan dari pemimpin bangsa ini.
Gambar; http://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1269782105/wayang-topeng
Leave a Reply