Judul: Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia (Mysticism in Java Ideology in Indonesia)
Penulis: Niels Mulder
Penerjemah: Noor Cholish
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Tahun: 2001
ISBN: 9795180509
Jawa memiliki tradisi yang sangat kaya dan beragam. Setidaknya selama seribu tahun, karya-karya sastra telah dihimpun mulai dari sumber-sumber kuno Sansekerta; legenda kerajaan dalam Pararaton dan Negarakertagama; sejarah Mataram dalam Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, serta syair-syair didaktik yang berpengaruh karya Mangkunegara IV abad XIX, karya-karya Ki Hadjar Dewantara serta Ki Ageng Soerjomentaram di abad XX, dan sebagainya.
Jawanisme
Yang mengesankan, karya-karya tersebut memperlihatkan corak berkesinambungan yang benar-benar hidup (hlm. 3). Kitab-kitab monumental tersebut tidak hanya sebuah karya yang selesai di tingkat pikiran, namun juga telah menjelma menjadi sebuah tradisi yang kini kita sebut sebagai Jawanisme.
Jawanisme merupakan proses yang secara sadar maupun tidak dijadikan sebagai pedoman hidup dan tata cara berperilaku. Memang, seperti ditulis oleh Mulder, Jawanisme (baca juga: kejawen) bukanlah suatu kategori relijius tertentu (hlm. 4). Ia lebih merujuk pada sebuah etika, corak dan gaya berpikir yang mengilhami perilaku orang-orang Jawa. Sehingga ketika ada yang mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik-praktik relijius, hal tersebut tak lebih sebagai corak yang secara dominan mewarnai tingkah laku mereka.
Satu hal lagi, Jawanisme menurut keterangan Muelder (hlm. 5) merupakan sebuah produk pertemuan antara Islam dengan peradaban Jawa kuno; juga merupakan produk penjinakan kerajaan-kerajaan Jawa oleh Hindia Timur (VOC); atau juga adalah hasil pertemuan antara kolonial dengan orang Jawa.
Gesekan-gesekan itu lantas mau tidak mau memacu orang Jawa untuk merefleksikan dirinya sendiri dan mengkonstruksi sebuah budaya dan jati diri yang betul-betul merepresentasikan kejawaan mereka. Sehingga Jawanisme bisa disebut sebagai sesuatu yang lebih kurang “asli”, hasil refleksi dan sublimasi berbagai pertentangan yang ada dulu kala.
Tarik-menarik perdebatan tentang posisi eksistensi Jawanisme tersebut ke dalam ranah agama, menjadi diskusi panjang di masa pra dan pascakemerdekaan. Bahkan, guna menertibkan anarki keagamaan yang mencuat di masa itu, Presiden Soekarno menyatakan bahwa hanya agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu saja yang mendapat pengakuan resmi (hlm. 12). Selain itu dilarang dan dibubarkan atas rekomendasi Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, di masa-masa kudeta 1965, Islam bergerak menyerang kelompok kebatinan ini lantaran menganggap mereka sudah disusupi oleh komunisme yang ateistik. Bahkan di Presiden Soekarno sendiri mengingatkan akan bahaya ilmu hitam, ekspresi klenik mistisisme Jawa. Sampai pada era 70an bisa dilihat pressure pada aliran yang sebenarnya monoteistik ini.
Mitologi Jawa
Apa dan siapa sebenarnya aliran (gerakan) ini? Premis dasar untuk memahami aliran ini bisa kita runut dalam mitologi Jawa. Seperti kita tahu, dalam mitologi Jawa, yang diadopsi dari epos Ramayana dan Mahabharata, kehidupan dilihat sebagai proses pertempuran antara “yang baik” dan “yang buruk”; antara “kekacauan” dan “ketertiban”.
Kekacauan direpresentasikan oleh Bala Kurawa dan ketertiban oleh Pandawa Lima. Kurawa adalah manifestasi dari kesombongan, keangkaramurkaan, penuh nafsu, dan egois. Sementara Pandawa adalah penjelmaan dari kehidupan yang harmonis, tenteram, sepi dari konflik. Cerita selanjutnya, perang yang diungkapkan melalui prosesi Bharata Yudha itu pada akhirnya dimenangkan oleh Pandawa Lima, lima bersaudara yang memihak belas kasih dan tanpa pamrih.
Demikianlah para penganut aliran mistik Jawa ini. Setiap individu-pribadi akan mengalami benturan-benturan dalam kenyataan hidup yang mencerminkan proses peperangan itu. Dalam berbagai prosesi yang mengandung mistik, individu-individu tersebut berjuang untuk menundukkan dan membebaskan batin mereka demi mencapai penyatuan (integrasi) dengan asal-muasalnya (hlm. 22).
Kesatuan eksistensi itu disimbolkan pada titik pusatnya yang merangkum segala sesuatu, dalam Sang Hyang (Sang Tunggal), Hyang Suksma (Sang Maha Jiwa), Urip (Hidup); dari mana satu eksistensi berasal maka ke sanalah mereka kembali. Dengan demikian, menjaga keselarasan, keharmonisan dan ketertiban adalah tujuan mulia dari ajaran mistisisme ini. Sehingga pada titik tertinggi perjalanan mistik ini, dunia fana menjadi tak berarti. Namun demikian, atas dasar bekal moralitas yang demikian itu, seorang mistikus akan bersinar bagaikan mercu suar (hlm. 23).
Karena itu praktik mistisisme dipandang sebagai upaya menempuh hidup yang lurus di dunia ini dan berusaha mewujudkan kehidupan damai yang didambakan.
Lebih lengkap bisa di baga di Google Book
Ilustrasi Gambar: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4f/Wayang_Painting_of_Bharatayudha_Battle.jpg
Leave a Reply