Judul : Konflik Antaretnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa
Penulis : Achmad Habib
Penerbit : LKis Yogyakarta
Tahun : 2004
Tebal : 172
ISBN : 979-3381-65-5
Tak banyak kajian mengenai konflik antara etnik Cina dengan Pribumi di Indonesia. Dari sedikit itu sebagian besarnya mengenai konflik Cina-Jawa di perkotaan. Kota yang selalu menjadi magnet untuk mendatangkan banyak orang memicu konsentrasi kependudukan yang multi etnis. Kompleksitas hubungan antar etnis di perkotaan inilah yang banyak menyeret perhatian akademisi untuk mengkajinya.
Achmad Habib melalui buku yang berjudul “Konflik Antaretnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa” berhasil meneropong dengan saksama bahwa kompleksitas permasalahan dan konflik antar etnis di pedesaan ternyata tak kalah rumit dibandingkan yang terjadi di perkotaan. Desa yang selalu identik dengan ketentraman dan kerukunan layaknya singa yang sedang tertidur pulas. Memiliki masalah besar yang sewaktu-waktu “bangun” dan menimbulkan dampak serius bagi masyarakat desa sendiri maupun bagi masyarakat di sekitar kawasan peedesaan.
Seperti etnis cina pada umumnya, kedatangan mereka ke Jawa mulanya adalah untuk tujuan berdagang. Melihat luas dan suburnya lahan pertanian di pedesaan, Cina kemudian menyewa tanah kepada Jawa. Di sisi lain, Jawa memiliki lahan luas yang berlebih sehingga dengan dengan senang hati menyewakan tanahnya kepada Cina. Inilah titik dimulainya hubungan Cina-Jawa.
Lambat laun, pekerjaan di bidang perdagangan mulai ditinggalkan sedangkan pekerjaan sebagai petani menjadi penghasilan utama Cina. Sampai pada tahap ini, baik Cina maupun Jawa merasa bahwa tanah adalah “segalanya” bagi kehidupan mereka. Cina memiliki strategi penguatan posisi dengan cara mempekerjakan Jawa (termasuk pemilik tanah yang disewanya) sebagai buruh tani. Ketergantungan Jawa terhadap Cina mulai muncul begitu pula dengan letupan-letupan konflik kecil antar keduanya.
Bersamaan dengan mulai munculnya letupan-letupan konflik antar Cina dan Jawa, Pemerintah Orde Baru meluncurkan program kembali ke desa bagi pensiunan tentara. Untuk menguatkan posisinya, tentara bekerjasama dengan Cina. Cepat atau lambat, tanah yang semula hanya disewa kemudian benar-benar dikuasai oleh Cina. Jawa semakin terhimpit oleh 2 kekuatan yang melebur, Cina dan Tentara. Konflik lahan pertanian kemudian bergeser menjadi konflik rasial “anti Cina”. Perjalanan konflik ini dimodelkan oleh Achmad Habib dengan dialektika pola hubungan: 1) majikan-pekerja, 2) mitra kerja, 3) pesaing, 4) hingga akhirnya menjadi musuh.
Dibalik sekian banyak keterdesakan Jawa, sebenarnya ada manfaat yang diterima oleh pribumi ini. Dengan interaksi dan permusuhannya, Jawa dapat belajar bagaimana etos kerja, cara bercocok tanam dan cara mendistrbusikan hasil pertanian dari Cina.
Selain mengungkapkan mengenai perjalanan sejarah pergolakan interaksi Cina-Jawa, melalui buku ini Achmad Habib juga mengkritisi konsep the stranger (orang asing) nya Georg Simmel. Buku ini juga berhasil membuka fakta baru dan membalik pandangan mainstream bahwa peminggiran tidak hanya diderita oleh Cina, tetapi juga dialami oleh Jawa.
Leave a Reply