“Kerawanan pangan” menghantui masyarakat Indonesia. Negara yang terkenal kesuburan dan kekayaan alamnya, dihantui “kerawanan pangan”. Seminar, symposium dan segala teori untuk mengatasi banyak dilakukan. Namun masih saja terjadi “kerawanan pangan” yang mengakibatkan gizi buruk pada balita, busung lapar, kelaparan di beberapa daerah. Apa benar terjadi “kerawanan pangan”? Sejatinya tidak. Kita hanya kekurangan beras, sedangkan bahan pokok lain seperti jagung, singkong, ubi, sagu dan bahan pokok penghasil karbohidrat diluar beras masih cukup berlimpah. Pemahaman pola konsumsi “beras sentris” sebagian besar masyarakat mempengaruhi simplifikasi kata pangan menjadi beras. Ditambah lagi ungkapan“Baru di anggap makan, kalau sudah makan nasi” melengkapi “kesesatan” kita.
Pemerintah memiliki andil dalam “kesesatan” masyarakat ini dengan melakukan doktrin penyeragaman, dalam hal kebutuhan pokok, yakni nasi. Indonesia dibawah rezim pemerintah orde baru yang “sukses” melaksanakan program swasembada beras ditahun 1984. Zaman sekarang ini untuk mewujudkan kembali swasembada beras sangat sulit terwujud bahkan kita telah melakukan impor beras sejak tahun 2000 awal. Selain itu sudah banyak lahan persawahan yang di alih fungsikan menjadi lahan permukiman, pasar dsb.
Kebijakan diversivikasi pangan
Untuk menyelesaikan permasalahan pangan, sudah waktunya membuka kesadaran kita. Bahwa masih banyak bahan pokok selain beras yang bisa kita konsumsi yang disediakan alam dibumi pertiwi ini. Pemerintah hendaknya melakukan tindakan nyata, untuk membuat kebijakan pangan nasional berbasis lokal. Artinya pemerintah pusat jangan mengulang kebijakan beras sentris peninggalan orde baru. Indonesia tidak kekurangan orang pintar, setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia “meluluskan” ribuan sarjana, lebih khusus Institut Pertanian Bogor. Namun penelitian para pakar tersebut masih berkutat pada produksi beras.
Kebijakan diversivikasi pangan nasional berbasis lokal menjadi satu jawaban untuk mengatasi kerawanan pangan. Memang untuk mengubah pola makan dibutuhkan waktuu yang sangat lama. Namun kita bisa melihat kesejarahan pangan berbasis lokal, seperti nasi tiwul yang menjadi kebutuhan pokok orang gunung kidul, Yogyakarta. Di Madura perlu dibangkitkan lagi kesejarahan tentang nasi jagung sebagai pangan lokal sehari-hari. Di Indonesia timur khususnya papua sagu menjadi pangan lokal sehari-hari masyarakat. Kemauan dan kesadaran jika kita masih mengandalkan beras sebagai kebutuhan pokok maka kerawanan pangan tidak dapat dihindari.
Keterlibatan stakeholder diharapkan untuk membantu menangani diversivikasi pangan berbasis lokal. Keragaman pangan membuat kita banyak pilihan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Merubah pola makan menjadi satu jalan mengatasi permasalahan kelaparan yang mengintai kita.
Change!
Leave a Reply