Masalah sampah adalah masalah yang cukup serius di negeri ini. Sampah sudah menjadi problem akut yang tak kunjung menemui solusi terbaik. Keberadaan sampah seperti debu yang berhamburan dan terpampang di setiap sudut jalan. Tak hanya sampah organik, sampah anorganik yang seharusnya dapat ditekan peredarannya juga menjadi wabah endemik.
Dari kesekian jenis sampah anorganik, sampah plastik memiliki persentase terbesar. Sampah kantong plastik Indonesia menghasilkan hampir 400 ton/hari atau setara dengan berat 16 pesawat Boeing 747. Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan rata-rata pemakain kantong plastik/orang di Indonesia adalah 700 lembar/hari. Artinya, sekitar 100 milyar kantong plastik digunakan tiap tahunnya.
Jika ditinjau dari produksinya, pembuatan kantong plastik setidaknya menghabiskan 12 juta barel minyak setiap tahunnya. Bisa dibayangkan bagaimana kebutuhan minyak bumi “hanya” untuk memproduksi kantong plastik saja. Belum lagi kebutuhan untuk industri lain, apalagi jika melihat dari kacamata fluktuatifnya harga minyak bumi dunia. Padahal, menjadi rahasia umum jika minyak bumi adalah energi yang tak bisa diperbaharui.
Penggunaan kantong plastik di Indonesia bak kewajiban makan rutin sehari tiga kali. Ironisnya lagi, kantong plastik bisa didapatkan secara cuma-cuma. Hampir di setiap toko, ritel, pasar, hingga supermarket atau mall menggunakan kantong plastik sebagai bungkus barang. Kantong plastik seolah berubah fungsi menjadi bagian dari pelayanan yang wajib keberadaanya. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama untuk melakukan diet kantong plastik.
Kantong Plastik Berbayar
Tertanggal 21 Februari 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat sebuah terobosan baru. Dengan memanfaatkan momentum Hari Peduli Sampah, pemerintah mengujicoba kebijakan plastik berbayar. Percobaan kebijakan ini dianggap sebagai langkah yang tepat untuk mengurangi keberadaan sampah plastik. Dalam satu poin kebijakannya, setiap kantong plastik dihargai Rp. 200 untuk ukuran kantong plastik yang terkecil. Pemerintah juga menggandeng Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Ketua Paguyuban Pasar untuk menerapkan uji coba kebijakan plastik berbayar.
Lewat kebijakan plastik berbayar diharapkan masyarakat lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik. Namun, kebijakan tersebut tak lepas dari pro-kontra. Terlebih lagi kebijakan yang diambil seolah kesusu dan dipenuhi kepentingan. Jika dikembalikan ke konsepsi perubahan, hal paling fundamental adalah merubah kebiasaan atau budaya masyarakat. Bukan seketika membuat aturan yang lagi-lagi dihubungkan dengan pundi-pundi rupiah.
Kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kantong plastik rasa-rasanya mustahil diubah. Dengan kebijakan plastik berbayar, kiranya masyarakat akan lebih memilih kehilangan 200 perak daripada membawa barang tanpa bungkus. Fakta tersebut menjadi pertanyaan besar akan keberlanjutan kebijakan plastik berbayar.
Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya banyak cara atau metode untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Sosialisasi rutin dan sustainable dari pemerintah daerah setempat adalah salah satu gagasan terdepan yang cukup efektif. Selain menggalakkan sosialisasi, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk lebih memproteksi produksi kantong plastik atau menggantinya dengan kantong belanja yang lebih ramah lingkungan. Bukan malah membebani masyarakat dengan kantong plastik berbayar.
Kebijakan tumpang tindih dan aneh macam ini bukanlah yang pertama. Jika ditarik ke belakang, kebijakan pembangunan jalan tol untuk mengurangi kemacetan juga tergolong lucu, karena di sisi lain penjualan kendaraan bermotor tidak dibatasi. Jika sudah seperti ini yang terjadi bukanlah kebijakan peduli sampah plastik, akan tetapi kapitalisasi kantong plastik.
Sumber gambar: http://www.diposkan.com/wp-content/uploads/2016/02/kantong-plastik-berbayar.jpg