Judul: Jurnal Wacana “EKOLOGI POLITIK REDD+: Kontestasi Politik, Modal, dan Pengetahuan”
Edisi: No.30, Tahun XV, 2013
Penulis: Rini Astuti, John F. McCharty, Jacqueline A.C. Vel, Suraya Afif, dkk.
Penerbit: Insist Press
ISSN: 1410-1298
Adalah realitas jika di abad ke-21 iklim telah berubah. Realitas ini dibangun atas penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli lingkungan hidup. Mayoritas dari mereka menyatakan bahwa perubahan iklim diakibatkan pemanasan global. Hal ini menyebabkan perubahan pola adaptasi masyarakat terhadap lingkungan. Selain itu, peraturan baru tentang lingkungan hidup juga mulai dirombak dan dijalankan .
Jurnal Wacana terbitan Insist Press ini memberikan sajian menarik mengenai kontestasi kuasa dibalik narasi perubahan iklim. Dengan menggunakan tajuk tema: “Ekologi Poltik REDD+, Kontestestasi Politik, Modal, dan Pengetahuan,” jurnal ini mencoba untuk memberikan analisis terhadap konsep pengelolaan emisi gas karbon (REDD+) sebagai salah satu upaya dunia menghadapi perubahan iklim. Untuk menguatkan analisis, disajikan dalam jurnal dengan beragam judul yang saling berhubungan.
REDD+ dan Pengelolaan Hutan
Apa itu REDD+?
Merujuk pada Miles dan Kapos, Rini Astuti dalam pengantar menyebutkan Reducin Emission From Deforestation (REDD+) adalah salah satu upaya penyerapan karbon dan mekanisme pencegahan emisi yang secara aktif diusulkan negara berkembang untuk disertakan dalam mekanisme protokol Post-Koyoto. REDD+ tidak muncul begitu saja, konsep ini dimunculkan oleh International Panel for Climte Change (IPCC) yang kemudian digaungkan oleh negara-negara berkepentingan melalui ilmu pengetahuan dan media. Dalam prosedurnya negara berkepentingan akan dibayar untuk melakukan konservasi hutan melalui berbagai kebijakan dan pengukuran kinerja (Wacana, hlm. 3-4).
Tak dapat dipungkiri, semenjak ditemukannya mesin uap telah memberikan konsekuensi meningkatnya kebutuhan energi. Selain itu, modernisasi juga memberikan implikasi berupa perubahan struktur ekologis alam. Bagaimana tidak, selain pengerukan sumber daya alam, efek lain macam pembuangan gas yang tidak ramah juga terjadi.
Negara dengan tingkat modernitas tinggi seperti Amerika dan beberapa negara eropa mengambil wacana REDD+ sebagai bukti sumbangsih mereka terhadap lingkungan. Bukan tanpa sebab, mereka melakukan “kebaikan” tersebut didasari atas desakan bahwa pembangunan yang mereka lakukan telah menyebabkan pemanasan global. Kebaikan ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban, sebab di balik itu semua ada bisnis besar dengan nalar neoliberalisme (hlm.4).
REDD+ sebagai sebuah doktrin kemudian menutup mata terhadap realitas ekologi hutan. Hasilnya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lagi-lagi menjadi korban. Tak hanya masyarakat, struktur ekologis hutan pun ikut-ikutan ketiban sampur dari keberadaan REDD+.
Lebih lanjut, buku ini kemudian mengambil ekologi politik sebagai pisau analisis. Dalam tulisan Astuti, dijelaskan bahwa ekologi politik sebagai sebuah pendekatan eklektik untuk menganalisis konteks politik hubungan antara manusia dengan alam (hlm. 6). Salah satu fakta dari analisis ini ditemukan bahwa nalar neoliberalisme dalam REDD+ menyebabkan fungsi alam bergeser. Jika awalnya sebagai wadah keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis, kini juga dianggap sebagai potensi kandungan karbon.
Konflik di Balik Kuasa
Nalar neoliberalisme selalu bernegasi dengan masyarakat kelas bawah (di sekitar hutan dan alam). Tetapi, bertendensi dengan pemilik modal (investor domestik dan asing).
Pergulatan diatas dapat ditemukan dalam tulisan McCharthy, Vel, dan Afif yang menuliskan secara analisis historis. Disebutkan bahwa pemerintah sedang gencar meningkatkan produktivitas lahan. Upaya tersebut dilakukan dengan proses akuisisi berskala besar, utamanya untuk percetakan sawah, perkebunan sawit, jarak, dan alokasi hutan (hlm. 17-18).
Proses peningkatan produktivitas ini sebenarnya telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda untuk kepentingan bisnis (hlm. 22-23). Proses tersebut berlangsung dengan sewenang-wenang dan selalu berubah sesuai rezim pemerintahan, hingga periode ini yang lebih menonjol pada proyek karbon. Alhasil, masyarakat pedalaman terkena imbas berupa alienasi ruang terhadap lahan. (hlm.59-60).
Kebijakan REDD+ yang menyasar pengolalaan baru terhadap hutan tentu membutuhkan sumber legitimasi. Sumber ini diperlukan sebagai kedayaan proses pendisiplinan agar obyek menjadi tunduk dan terbatasi. Sehingga, walaupun konflik mengitari, kebijakan tetap berjalan tanpa hambatan serius.
Astuti kemudian memaparkan strategi kepengaturan hutan di Indonesia dalam perspektif Governmentality Foucault. Melalui kerangka ini REDD+ dipahami sebagai rezim tata kelola yang dibentuk dan diberi pengaruh oleh berbagai aktor, motivasi, kepentingan, dan pengetahuan (hlm. 73). REDD+ mulai gencar dilaksanakan sejak adanya Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 yang kemudian menghasilkan Satgas REDD+.
Subyektivitas para aktor awalnya membuat pemerintah kesulitan melaksanakan kebijakan ini. Pro kontra banyak terjadi, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu lingkungan. Akhirnya, Pemerintah memasukkan aspek partisipasi politik dalam kebijakannya. Beberapa LSM diajak untuk berdialog. Hasilnya, beberapa LSM yang sebelumnya kritis menjadi termobilisasi sebagai aktor dalam melangsungkan kebijakan (hlm. 82-83).
Sebagai imbas dari kepengaturan yang bertendensi dengan nalar neolib, masyarakat dan ekosistem hutan terkena dampaknya. Oleh Ciptaningrat Larastiti dan Yetty Oktayanty, persoalan ini dibahas secara terperinci dan mendalam. Menggunakan gaya antropologi, keduanya menampilkan data dan fakta empiris yang menarik. Di akhir buku, tulisan Darmanto mengulas buku Global Political Ecology yang menjelaskan mengenai kepengaturan lingkungan hidup sebagai narasi politis yang lekat dengan upaya neoliberalisasi.
Jurnal ini sangat recommended, khususnya bagi para pemerhati lingkungan hidup. Begitu pula bagi para akademisi, pemangku kebijakan, dan masyarakat. Dengan membaca jurnal ini, kita akan diantarkan menunju nalar untuk kritis terhadap segala narasi perubahan iklim yang terus menggelinding bagai bola salju.