Saya bertemu Andrew Mavious tengah Agustus lalu di Singapura. Kami sama-sama menginap di 28 Hostel. Sebuah penginapan super murah di Dunlop Street, wilayah Ronchor Planning Area, kawasan Little India. Seperti namanya, saya hanya perlu mengeluarkan 28 sing dollar saja untuk semalam tinggal di sana (1 Sing dollar sekitar Rp 6.900).
Ada harga ada rupa. Hostel itu adalah penginapan sejenis asrama. Ada tiga kasur tumpuk dalam satu kamar. Artinya, satu bilik bisa menampung enam orang. Terdapat dua kamar mandi kecil di tempat itu, sebuah kipas angin, dan satu AC. Meski kecil dan sederhana, kamar itu bersih, sama sekali tidak terkesan kumuh. Kamar mandinya juga. Air panasnya tidak pernah ngadat.
Meski diisi ramai-ramai, saya juga merasa aman. Hostel itu dilengkapi kamera banyak sekali kamera cctv di beberapa lokasi. Minus kamar. Petugas meja depan bisa memantau apapun aktivitas tamu di koridor hostel.
Selain bersama Andrew, saya juga sekamar dengan dua orang India. Belakangan juga dengan tiga orang Filipina setelah satu India keluar. Saya tidak sempat berbicara panjang lebar dengan mereka. Namun akhirnya saya tahu mereka berasal di Mumbai, New Delhi, dan Manila.
Saya tidak menyangka, melihat wajahnya yang banyak ditumbuhi jambang, usia Andrew ternyata baru 24 tahun. Pemuda kelahiran Sydney itu sangat ramah. Banyak senyum. Tidak seperti orang Australia yang selama ini saya kenal. Rata-rata muka mereka serius dan angker.
Saat usia 12 tahun, Andrew mengaku pernah berkunjung ke Bali. Dia memiliki memori indah selama berada di sana. Namun Andrew merasa tidak nyaman karena harus bepergian bersama orang tuanya. ”Saya tidak bisa melakukan apa yang saya suka,” katanya.
Karena itulah, lepas SMA, Andrew memutuskan keluar rumah, hidup dan melakukan apapun keinginannya. Terakhir, dia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang kelistrikan.
Andrew suka sekali traveling. Uang yang terkumpul hasil bekerja, dia gunakan untuk berpetualang. Saat bertemu saya, Andrew menceritakan bahwa dia sudah seminggu berada di Singapura. Aktivitasnya macam-macam. Pagi berkeliling ke tempat-tempat menarik di negara itu. Malamnya nongkrong di bar-bar kecil Little India bersama teman-teman sesama petualang. Mereka mendengarkan musik, menghabiskan bergelas-gelas bir, tertawa-tawa bersama mulai malam sampai subuh.
Selepas dari Singapura Andrew berencana bertolak ke Jerman. Mungkin dua, tiga bulan di sana. Cari kerja kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Lalu ke Kanada. Di sana dia ingin bekerja agak serius. Bidang apa saja. Mungkin selama setahun, atau juga dua tahun tergantung keadaan. Setelah itu Andrew ingin kembali ke Australia. Namun tidak kembali ke Sydney. ”Saya ingin ke Melbourne, atau Perth saja,” yakinnya.
Andrew membawa tas yang besar sekali untuk menampung semua kebutuhannya. Dia sempat menertawakan tas kecil saya yang kelihatan sangat gendut. Sebab walau sempit, tas itu berisi lima potong baju dan t-shirt, laptop, sarung, peralatan mandi, buku, dan sedikit cinderamata hasil lima hari di Singapura.
Dia menyebut saya turis yang ngirit (atau maksudnya kere). Dia tidak mendefinisikan diri sebagai backpaker. Namun dia seperti backpacker. Berkelana kemanapun untuk menenuhi keinginan hati. Meski duit cekak, makan, dan tidur seadanya itu sama sekali tidak masalah. Terpenting bisa merasakan pengalaman mengunjungi dan mengenal tempat-tempat asing.
Di Singapura, saya menemukan banyak sekali orang yang punya pemikiran seperti Andrew. Saya pernah ngobrol dengan pasangan asal California yang memilih berkeliling dunia ketimbang hidup nyaman di negaranya.
Mereka memilih tidak menikah. Padahal sudah bersama selama bertahun-tahun. Ke mana-mana runtang-runtung berdua. ”Mengapa menikah kalau kami bisa senang-senang seperti ini. Lagian menikah itu mahal. Kami suka seperti ini saja,” kata Jack, sebut saja namanya begitu. Mereka gembira meski tidak punya duit banyak. Hidup enteng sekali, betul-betul mengalir seperti air. Tidak tahu kapan akan berhenti, yang penting dijalani saja. Tanpa target dan tujuan.
Jack mengatakan pada saya bahwa hal yang paling berharga di dunia ini bukanlah uang. Tetapi waktu. Belakangan perkataan Jack sangat saya rasakan. Terutama saat saya tak bisa pulang ke kampung halaman pada lebaran tahun ini.
nunur says
pertamax di halaman sendiri nih..:)
halik says
ternyata ada juga orang bule yang gak suka duwit…
Saiful Arif says
aku jg :p
nunur says
Jangan jauh2, mas Saiful juga alergi duit kok 🙂
syadhu says
aku juga alergi duit, sih
Tulis Nama Anda says
waktu ohh waktu…begitu berharga bila sudah sempit..
nunur says
waktu itu seperti pedang..
halik says
iya juga sih…
punya duwit kalo nggak punya waktu juga percuma….
tapi kayaknya lebih enak kalo punya banyak waktu buat cari duwit ha..ha..
halik says
eh ada yang lebih enak lagi…
punya banyak waktu untuk menghabiskan duwit…