Judul: Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan, Sebuah Penelitian Sosiologis
Penulis: Sabian Utsman
Pengantar: Prof Dr Salladien, MA
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun: 2007
Tebal: 274
ISBN: 9791277958
Indonesia adalah merupakan negara maritim yang sudah terkenal di dunia internasional. Sebagian besar penduduknya yang tinggal di daerah pesisir merupakan nelayan tradisional dan sebagian besar dari mereka adalah tergolong miskin. Kusnadi (2002) dalam bukunya “Konflik Sosial Nelayan”, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki pantai terpanjang di dunia yaitu 81.000 Km garis pantai. Dari sekitar 67.439 desa di Indonesia, sekitar 9.261 desa termasuk desa pesisir dan sebagian besar adalah kantong-kantong kemiskinan struktural fungsional yang potensial terhadap kerawanan konflik.
Menurut Ahmad Syar’i yang mengantarkan buku ini, sejak keluarnya kebijakan modernisasi perikanan atau revolusi biru (blue revolution) sekitar tahun 1970 an, ternyata di sana-sini di seluruh pantai Indonesia terjadi pertentangan kepentingan, di satu sisi nelayan tradisional (lokal) menganggap lautan merupakan food security (cadangan untuk kehidupan masa depan) sehingga secara habis-habisan mereka pertahankan kelestariannya, di lain sisi nelayan modern (kebanyakan nelayan pendatang) menganggap siapa saja bisa mengambil kekayaan laut (cammons property resources) baik ikan maupun non ikan, walau dengan cara non protektif (seperti halnya pengoperasian pukat trawl).
Benturan kepentingan, dengan sumber laut terbatas (resources scarcuty), maka terjadilah konflik kekerasan antara nelayan lokal dengan nelayan luar daerah termasuk di daerah Sakates (Sabuai, Keraya, Telukbogam, dan Sungaibakau) Kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah (sepanjang 1998-2002 tidak kurang dari 28 buah kapal Trawl yang dibakar, ditenggelamkan, dan ditahan, serta beberapa awak kapalnya diciderai) sebagaimana yang ditulis dalam buku ini.
Cara Tradisional
Sedangkan Prof. Salladien dalam pengantarnya mengatakan sejauh ini, masyarakat nelayan kita yang multikultural dan multidimensional, peran teknologi untuk menggantikan tugas-tugas nelayan tradisional masih sangat kecil dan memprihatinkan. Mereka bekerja dengan cara-cara tradisional dan sangat bersahaja di sela-sela kerakusan dan persekongkolan para penguasa dan pengusaha yang tidak mempunyai komitmen dan moralitas untuk mengelola dan membangun sumber daya kemaritiman untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terutama masyarakat pesisir yang sampai saat sekarang adalah sebagian besar sebagai kantong-kantong kemiskinan setruktural dan fungsional justru di negara yang kaya-raya dengan sumber daya laut ini.
Terakhir penulis memaparkan bahwa kenyataan amuk massal di kawasan Sakates adalah bertentangan dengan kaidah-kaidah kultur dan atau norma-norma yang biasanya berlaku jauh sebelum konflik terbuka itu terjadi.
Hal ini merupakan konsekuensi tidak tegaknya supremasi hukum negara dan sangat minimnya intervensi negara dalam mengelola potensi konflik yang sebenarnya sejak awal sudah bisa diprediksi secara baik dan sangat berpotensi untuk pembangunan ekonomi masyarakat nelayan sepanjang dikelola secara tepat.
Leave a Reply