Judul: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 9786022911029
Satu lagi novel milik Andrea Hirata yang dirilis pada Mei 2015 lalu. Karya fiksi yang banyak menarik minat pembaca ini sukses naik cetak ke dua pada tanggal rilisnya. Itulah novel berjudul Ayah. Novel ke sembilan milik Andrea ini merupakan karyanya yang dibuat dalam waktu paling lama di antara karya-karya terdahulunya. Ia melakukan riset yang cukup komperehensif sebelum melakukan proses penulisan. Bisa anda bayangkan betapa menariknya cerita fiksi yang dibumbui data-data riset ilmiah ini.
Sabri yang Sabar
Dialah Sabari, lelaki baik hati dan pendamba cinta yang tak biasa. Sebenarnya ia tak pernah mengenal cinta, tak pernah pula berusaha mendapatkannya. Baginya, cinta adalah tindakan asusila yang dilegalkan oleh manusia dan negara. Cukuplah hikmah perjalanan cinta yang ia lihat dari para sepupunya. Mendamba cinta begitu tingginya lantas rusaklah hatinya. Tapi prinsip itu tak bertahan lama, hingga ia bertemu seorang gadis di akhir masa sekolah menengah pertama.
Pada hari ujian akhir Bahasa Indonesia, tiba-tiba seorang gadis menikungnya. Niatan mengumpulkan lembar jawaban urung. Perempuan beringas dengan nafas memburu dan keringat bercucuran itu secapat kilat menyalin seluruh isi kertas miliknya. Sabarai hanya ternganga hingga pengawas berdiri di hadapan mereka, mengingatkan bahwa waktu telah habis.
Jangankan berterima kasih, tegur sapa saja tak ada. Tapi itu menjadi saat terindah bagi Sabari untuk mengawali kisah cintanya. Gadis bengal itu tersenyum sambil menyerahkan pensil miliknya kepada Sabari. Begitu saja lalu pergi. Tangan Sabari yang sedang menerima pensil terhempas dari tubuhnya, terbang entah ke mana. Untuk pertama kalinya Sabari dirundung cinta.
Hari-hari berikutnya ia lalui dengan mengagumi sang gadis. Segala yang disukai pujaan hati ia jalani. Menjadi anak sekolah yang cerdas, olahragawan juara hingga sastrawan puisi. Ternyata cinta melecut semangat belajarnya.
Cinta tak berbalas itu terus ia miliki sejak sekolah hingga ia jadi suami. Nama “Sabari” nyatanya menyertai kesabarannya mencintai wanita yang sama. Wanita yang sedari masa sekolah ia kagumi kemudian ia nikahi dalam keadaan bunting hasil hubungan dengan lelaki yang tak pernah diketahui.
Amiru dan Radio Ayahnya
Di tempat dan waktu yang berlainan, ada kisah anak dan ayah bernama Amiru dan Amirza. Mereka hidup “bahagia” di tengah kemiskinan keluarga dan sang ibu yang sakit-sakitan. Sejatinya hidup mereka penuh kesedihan, tapi mereka memiliki radio, benda ajaib yang mampu mengalihkan perhatian hingga kesedihan berubah menjadi kebahagiaan.
Amirza, sang ayah, tak pernah melewatkan malamnya tanpa mendengarkan siaran RRI. Amiru, sang anak, juga tak kalah sukanya menguping suara radio dari balik dinding kamar ayahnya. Tapi yang paling membuatnya bahagia adalah kala melihat ayahnya yang tak pernah lelah memperbaiki antena radio.
“Amiru senang melihat ayahnya bereksperimen dengan radio. Karena dengan begitu, kata hatinya pikiran ayahnya, juga pikirannya sendiri akan teralihkan dari kesedihan. Kesedihan karena ibu Amiru yang sering jatuh sakit. Ibunya bisa sehat selama berminggu-minggu, tetapi jika penyakitnya kambuh, dia tak bisa bangun dari tempat tidur”.
Ada masa ketika sang ayah mengulur kabel dari ujung ke ujung. Salah satu ujung dililitkan di antena radio. Sedangkan ujung lainnya diikat di telinga wajan. Ada pula saat sang ayah membuat kumparan timah yang diletakkan di atas pohon. Upaya ke dua ini sempat sukses sesaat, sebelum antena buatan itu disambar petir.
Sang anak yang cukup cerdas dalam pelajaran fisika itu diam-diam mengapresiasi tingkah laku ayahnya terhadap radio kuno itu. Ia sering datang ke tukang reparasi untuk berdiskusi. Menanyakan keberhasilan dan kegagalan eksperimen ayahnya kemudian ia hubung-hubungkan dengan teori fisika.
Ledakan senyum sang ayah saat sukses menjadikan radio berbunyi nyaring juga selalu meledakkan senyum Amiru. Kadang ia merasa puas karena dugaan kegagalan benar-benar terjadi. Kadang kala ia juga terheran-heran, dugaan kegagalan tak terjadi, hipotesis fisikanya tak terbukti.
Suatu hari setelah sukses menjadikan radionya berbunyi paling nyaring, istri Amirza jatuh sakit. Keluarga miskin itu tak punya harta apapun yang bisa dijual. Hanya ada radio yang harganya setara dengan biaya untuk memulangkan sang istri dari rumah sakit. Hari-hari setelah radio terjual Amiru sering mengintip ayahnya dari balik dinding. Tiap malam ayahnya hanya duduk termenung di dalam kamar. Ia kesulitan tidur setelah sekian lama terbiasa tidur diiringi gelombang frekuensi.
Markoni dan Karma Ayahnya
Masih di tanah Belitong, ada sosok Ayah yang lain bernama Markoni. Masa mudanya dilalui dengan leha-leha. Keluarga yang tergolong mampu tak pernah sukses membuatnya rajin belajar. Ia selalu saja bermasalah dari masa sekolah hingga masa kuliah. Tuan Razak, ayahnya yang bekerja sebagai Syah Bandar siap membiayai sekolahnya bahkan menjual rumah jika diperlukan.
Tuan Razak mengirimnya ke sekolah diploma di Tasikmalaya, berharap anaknya bisa menjadi mekanik radio yang bekerja di kapal. Tapi sayang, Markoni masih saja meneruskan kenakalannya di tanah Jawa. Tak genap dua tahun ia sudah pulang ke Belitong. Bukan Ijazah yang didapatkan tapi istri yang dibawanya.
Kini Markoni menjalani penyesalan terbesar dalam hidupnya. Melamar kerja tak diterima, membuat usaha juga tak pernah ada hasilnya. Berbagai bisnis ia lakoni, mulai dari warung makan, bengkel, asongan, jualan minyak, hingga mendirikan studio musik.
Markoni tak ingin terjatuh di lubang yang sama. Ia berusaha agar apa yang menimpanya tak terjadi pada anak-anaknya. Ia kemudian mendidik anaknya dengan mengulang-ulang kata yang disampaikan mendiang ayahnya. Anaknya harus sekolah tinggi. Apapun akan dikorbankan demi pendidikan, bahkan menjual rumah jika diperlukan.
Rupanya hukum karma berlaku bagi Markoni. Tingkah laku sewenang-wenang kepada ayahnya dahulu, berbalik arah menimpanya kini. Dua anak lelakinya memilih hidup sebagai bedebah. Si bungsu yang perempuan juga tak berbeda. Meski pendiam ia anak yang multi talenta. Dinasihati tak mempan, dimarahi juga melawan. Bahkan sejak seusia SD, saat ayahnya menghardik, ia justru membalikkan kata-kata ayahnya itu. Bahwa ayahnya juga drop-out dari bangku kuliah.
Ketiga kisah beda waktu dan tempat ini terus berjalan menuju satu titik perjumpaan. Perempuan yang dinikahi Sabari tak lain adalah Lena, anak bungsu Markoni yang bakat bengalnya sudah nampak sejak sejak usia dini. Amiru, anak baik yang pintar fisika itu adalah Zorro, anak Lena yang diambil paksa dari asuhan sabari saat usianya belum genap 3 tahun.
Belajar dari “Ayah”
“Jika kamu mencinta maka berikan apa yang kamu bisa dan kamu punya untuk dia”. Begitulah kesan yang saya tangkap dari novel ini. Kisah-kisah cinta baik antar lawan jenis maupun antar ayah kepada anak dilukiskan dalam makna yang tulus. Cinta berarti memberi tidak mengharapkan kembali. Andrea mengolaborasi pesan ini melalui cintanya Sabri kepada Lena dan Zorro yang sebenarnya bukan anaknya sendiri, juga cinta antara ayah dan anak bernama Amirza dan Amiru.
Selain itu, Kiranya istilah “kata-kata adalah doa”, benar adanya. Mencintai disertai dengan kata indah seperti bagaimana ayah Sabari berpuisi menjadikan sabari menjadi anak yang pandai dan teladan. Namanya juga mengandung doa yang kelak menjadi karakter kepribadiannya, Sabari yang sabar.
Tak hanya soal cinta, novel ini juga memberikan kesan mendalam mengenai nasionalisme dan persatuan Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi komponen penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini nampak dari ketulusan Bu Norma, Guru Bahasa Indonesia yang memberikan bekal berupa Kamus Bahasa Indonesia pada Tamat dan Ukun sebelum mereka pergi merantau ke Sumatera. Bahasa Indonesia dan Kamus ini akhirnya sangat berguna bagi mereka berdua.
Mengapresiasi Karya Andrea
Andrea Hirata menjadi penulis yang cukup misterius dalam karyanya kali ini. Keberhasilannya adalah membuat saya terus-terusan ketagihan untuk membaca lembar demi lembar. Tiga kisah berbeda latar menjadi adiksi bagi saya untuk terus menelusurinya. Dari kisah pertama hingga kisah ke tiga dan kembali ke kisah pertama, begitulah seterusnya.
Banyaknya variasi tokoh, karakter, setting tempat maupun waktu tak mengurangi fokus dan titik klimaks dalam novel ini. Pada titik perjumpaan ketiga kisah ini, nafas yang sempat tertahan dari awal halaman, tiba-tiba menggelegak, terasa lega dibuatnya.
Sebagaimana karya-karya sebelumnya, Andrea melukiskan “Ayah” dengan sederhana dan terasa nyata. Kesedihan, kesetiakawanan, kemalangan dan kekonyolan diramu dalam rentang halaman, paragraf bahkan baris yang tak berjauhan. Alam imajinasi dan refleksi dibuatnya berbaur menyatu. Dalam beberapa saat saya sempat membayangkan sebuah kejadian. Di saat yang lain, saya merasakan kesedihan karena keselarasan kisah dalam novel dengan pengalaman pribadi sebagai pembaca.
Hal yang paling menarik adalah soal bagaimana ia memberikan gambaran kesuksesan hidup manusia. Keberhasilan Andrea Hirata menceritakan kisah-kisah motivasi dalam tetralogi Laskar Pelangi telah mendorong munculnya fenomena “latah kuliah”. Banyak novel-novel yang menguntit dibelakangnya, mengumbar kisah “porno” diawali “foreplay” berupa kehidupan kere kemudian berakhir dengan puncak “ejakulasi” pada kesuksesan kuliah di luar negeri. Nampaknya Andrea sadar betul akan fenomena itu. Dalam novel ini, ia bercerita dengan cara yang lebih membumi. Ia tak mempertontonkan kesuksesan yang terlampau besar di akhir cerita.
Kehidupan tokoh-tokoh dalam Ayah berakhir dengan wajar-wajar saja. Tak ada kuliah di Mesir, Eropa atau Amerika. Tidak pula berakhir dengan bahagia karena kaya raya. Sabri, Amiru atau Amirza misalnya, masih saja hidup miskin hingga akhir cerita. Kali ini Andrea memposisikan pembaca untuk lebih dewasa dalam membaca novelnya. Ia tak menyeret dengan kasar, tak memaksa pembaca untuk mengamini konsep kesuksesan materi dalam buaian kisah utopis yang terlampau jauh dari realita. Kebahagiaan itu ukurannya ada di hati bukan dalam hal materi atau ekonomi. Ia mendobrak cara pengisahan mainstream yang telah dibangunnya sendiri.
Leave a Reply