Mengutip Ben Anderson dalam karyanya, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1945 (Cornell University Press, 1972), Manuel Kaisiepo (Kompas April 1999) pernah menulis, Sjahrir dan para pengikutnya sesungguhnya berada di luar arus utama revolusi. Mereka adalah kelompok intelektual yang teralienasi dari arus bawah, sekalipun pada saat-saat tertentu mampu menggunakan pengaruhnya. Sebagai sebuah interpretasi atas Sjahrir, pandangan ini merupakan revisi atas pandangan sebelumnya dari karya klasik George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952). Kahin mengemukakan bahwa Sjahrir adalah tokoh yang paling berpengaruh, terutama pada hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan sesudahnya. Sjahrir, demikian Kahin, adalah arsitek terjadinya pergeseran sistem pemerintahan pada bulan November 1945 dari sistem presidensial menuju parlementer. Dari sini, Kahin memang mengakui bahwa pandangannya lebih banyak dipengaruhi faktor kedekatan dan simpatinya pada tokoh revolusioner RI ini.
Demikianlah, ada banyak interpretasi atas Sjahrir, tokoh yang sering disebut “orang ketiga” setelah Soekarno dan Hatta sebagai orang penting dalam sejarah pergolakan revolusi Indonesia. Bahkan selain Kahin, karya lain yang relatif spesifik membahas Sjahrir, di antaranya adalah Robert J Meyers, The Development of Indonesia Socialist Party (1959); Ben Anderson (1972/1977); John Legge, Intelectualls and Nationalism in Indonesia: A Study of The Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta (1988); Lindsay Ray, Sutan Sjahrir and The Failure of Indonesian Socialism (1993), dan –yang terbaru– dari Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (Cornell University, 1994). Mereka begitu tertarik mempelajari tokoh pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) ini, entah mengapa. Yang pasti, Sjahrir memang tokoh revolusioner, yang bagi Legge, pemikiran Sjahrir tetap mempunyai makna dalam berbagai interpretasi. Seperti ditulis ulang Manuel Kaisiepo, makna pemikirannya di PSI misalnya, bukan terletak pada perannya sebagai sebuah organisasi politik, melainkan pada fakta bahwa ia merepresentasikan suatu aliran moral dan politik yang bersumber dari kehidupan bangsa Indonesia. Banyak dari pikiran Sjahrir yang hingga hari ini masih hidup, dan mampu menunjukkan resistensinya di antara gelombang politik amoral yang tumbuh.
Seperti dalam buku Pikiran dan Perjuangan, tampak begitu kuat pikiran Sjahrir menyuarakan kemauan kaum proletar untuk membebaskan diri mereka dari kolonialisme. Dengan mengemukakan secara dalam akan taktik dan strategi perjuangan, Sjahrir berusaha menunjukkan jika gaya perjuangan rakyat Indonesia tak pernah dipengaruhi oleh siapa-siapa, kecuali dengan gaya dan kekhasannya sendiri. Dan dari sinilah Sjahrir memotret bahwa perjuangan rakyat Indonesia adalah radikal-revolusioner. Dengan tegas ia mengatakan, Perjuangan rakyat kita pada hakikatnya bersifat revolusioner. Hal ini disebabkan tujuan dan alat-alat perjuangannya juga revolusioner serta membutuhkan perubahan prinsipil dari segala sifat kemasyarakatan. Bagaimanapun juga setiap gerakan revolusioner bermaksud memerdekakan masyarakat dari segala tradisi (kebiasaan) lama. (hlm. 103-4). Menurut Sjahrir, politik revolusioner adalah suatu politik yang ditujukan bagi perubahan radikal dan prinsipil dari struktur masyarakat zaman ini. Politik revolusioner juga menggunakan segala alat perjuangan yang sesuai dengan keadaan masyarakat (hlm. 104). Politik yang tidak diselenggarakan secara bernafsu dan terburu-buru, tapi merupakan hasil olahan pemikiran yang mendalam dan matang.
Sjahrir bukan seorang Marxis begitu saja, cara pandangnya justru banyak mengoreksi Marx. Dengan menjelaskan bentuk persahabatan antara Engels dan Marx misalnya, ia selanjutnya berhasil mengelaborasi secara lebih luas makna “dialektika” (dialektiek) yang pernah ditunjukkan keduanya –bukan Marx yang berperan dalam menggalang ideologi Marxisme, tapi Engels–. Bahwa Engels justru banyak memformulasikan pikiran apa yang selanjutnya menjadi pikiran Marx (juga). Tapi Engels kurang begitu dikenal, ia lebih banyak dikenal sebagai ahli bahasa. Meski keduanya pernah berguru pada Hegel dalam hal “dialektika” ini, namun Marx-Engels memaknai dialektika tidak secara kaku, sebagai thesa-antithesa-sinthesa, namun lebih lunak dan mengena. Pikiran Marx-engels bukanlah pikiran Hegel, dan sebaliknya. Saat orang mengritik pikiran Hegel misalnya, demikian Sjahrir (hlm. 148), belum tentu orang mengenal pikiran Marx-Engels. Bukan sekedar dialektika-materialisme, tapi juga dialektika sejarah.
Seperti kebanyakan para pemikir revolusioner dunia, Sjahrir juga tak hanya bicara soal politik revolusioner, ia juga bicara soal kebudayaan dan sastra. Menurutnya, kesusastraan dan rakyat harus menjadi pokok perhatian semua pemuda di Indonesia yang bersemangat dinamis dan berikhtiar untuk mencapai kebudayaan baru. Sjahrir menolak perbedaan antara Zivilization dan Kultuur yang dibuat orang Jerman. Menurutnya, kebudayaan orang borjuis yang berasal dari Barat, justru telah digunakan sebagai kebudayaan universal (peradaban). Bagi Sharir, kebudayaan bukanlah barang mati, akan tetapi pusaka yang harus diarahkan lebih dulu untuk mendapatkannya. Jadi, warisan kebudayaan yang paling besar bukanlah berbentuk barang jadi, tapi sejauh mana generasi kini memiliki kesediaan untuk mengalahkan (merubah) kebudayaan lama; kebudayaan yang dinamis dan bukan kebudayaan yang status quo.
Kebudayaan (dan kesusastraan) harus dekat dengan rakyat. Mungkin dengan memakai gaya naturalisme yang pernah dikembangkan Zola, pelopor naturalisme. Naturalisme merupakan kebudayaan yang mampu menggambarkan rakyat banyak, dekat dengan perasaan rakyat. Keburukan dan kedzaliman di tengah rakyat bisa digambarkan dengan sejelas-jelasnya, dengan bahasa yang amat sederhana dan mudah dicerna rakyat. Bahkan menurut Zola, naturalisme tidak hanya menggambarkan, tetapi lebih digunakan untuk membuktikan suatu teori ilmu. Bahkan dengan penuh keyakinan, Sjahrir mengemukakan jika saja buku Zola dan Gorki (murid Zola) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan banyak para peminatnya. Sebab karya Zola dan Gorki adalah karya sastra yang bernilai tinggi, ia bisa menggambarkan kesengsaraan kaum miskin di Eropa. Bagi Sjahrir, Zola dan Gorki, juga Adama van Scheltema dan A.M. de Jong (Belanda) hanyalah sebuah ilustrasi, sebuah contoh. Rakyat Indonesia bisa menggali kekayaan sastra dan kebudayaannya sendiri. Menurut saya, demikian Sjahrir, rakyat banyak yang tertarik pada hasil karya Zola bukan karena teori suatu ilmu, bukan pula karena riwayat Rougeon-Macquart dan keturunannya. Rakyat akan tertarik pada gambaran-gambaran Zola seperti dalam I’Assornmoin dan Germinal. Sebuah gambaran yang mendetail dan tajam menyoroti kesengsaraan kaum buruh.
Buku Pikiran dan Perjuangan ini merupakan kumpulan tulisan Sjahrir tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia, terutama yang banyak ditulis di surat kabar Daulat Ra’jat. Catatan-catatannya menunjukkan betapa ia amat mementingkan persatuan dan perdamaian untuk kemerdekaan. Catatan-catatan Sjahrir tersebut juga memperlihatkan semangat yang menggelora dalam menentukan model gerakan dan perjuangan. Menurutnya, sebuah revolusi harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner, bukan oleh golongan nasionalistis (yang oportunis) yang pernah membudak pada fasis kolonial Belanda, atau fasis militer Jepang.
Buku ini menjadi penting artinya bagi pendidikan generasi muda Indonesia hari ini, bahwa mereka pernah memiliki tokoh kaliber dunia: Sutan Sjahrir. Hanya buku ini kurang enak dibaca, mungkin karena penyuntingannya yang terlalu kasar.
Dan, Sjahrir telah pergi meninggalkan Indonesia, meninggalkan kita semua, 9 April 1966 yang lalu, di Zurich Swiss dalam suasana yang mengecewakan: karena masih berada dalam status tahanan. Manusia Indonesia tetap memperingatinya setiap 9 April. Indonesia tidak hanya kehilangan manusianya yang radikal, tapi manusia yang di kemudian hari mampu melahirkan manusia-manusia besar lainnya: Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Soebadio Sastrosatomo (kawan-kawannya di PSI) dan manusia besar lainnya.
Bacaan: Sutan Sjahrir. 1999. Pikiran dan Perjuangan Sutan Sjahrir. Yogyakarta: Penerbit Jendela
Leave a Reply