Tiba-tiba saya kembali teringat dengan komentar Kaji Wafi’ di status facebook saya (tentang dangdut) tadi pagi. Diungkapkan olehnya bahwa ia sedang suka-sukanya dengan lagu berjudul Kejora. Selama 23 tahun usia saya belum pernah rasanya mendengar lagu dangdut berjudul Kejora. Kontan saja saya cari di youtube, dengan satu harapan bahwa pengetahuan tentang perdangdutan tak boleh kalah dengan Kaji Wafi’. Ia sudah konsen mengabdikan dirinya pada Campur Sari dan perdukunan Jawa. Cukup saya saja yang menjadi Profesor Dangdut, biar dia jadi profesor Campur Sari saja.
Alangkah terkejutnya saya setelah tahu bahwa Kejora dinyanyikan oleh Lesti, alumni ajang pencarian bakat penyanyi dangdut di salah satu stasiun TV swasta. Bagaimana saya bisa menyangka, di tengah degradasi kualitas musik dangdut di negeri ini ternyata kembali muncul lagu berkualitas dan dinyanyikan secara elegan pula. Mari simak liriknya:
Kejora temanilah malamku, sampaikan rinduku yang terlarang
Dia yang ku cinta kini telah berdua, tak mampu diriku menahan rindu padanya
Kejora pancarkanlah sinarmu, temani keheningan malamku
Padamu kejora ku titipkan rindu, untuk dia yang kini jauh di mata
Ku berkhayal angankan dirimu seakan hadir di sini
Temaniku memelukmu, indah dalam belai kasih sayang
Tak terganti rasa cinta ini, meski kini kau tak sendiri
Sisa cinta kan jadi cerita, tersimpan selamanya bersama kejora
Kejora sampaikan rindu ini
Puitiskah liriknya? Mendengar lagu Kejora serasa kembali ke tahun 1990-an, saat dangdut benar-benar berjaya dan dihormati baik oleh masyarakat maupun oleh para musisinya sendiri. Mari kita sandingkan lagu yang saya anggap berkualitas ini dengan lagu-lagu dangdut di jaman kejayaannya.
Untuk apa kau berikan aku, benang yang kusut
Sementara diriku harus membuat kain, kain yang halus
Untuk apa kau hidangkan aku cinta yang kalut
Sementara tanganmu telah engkau berikan, pada yang lain (Senym Membawa Luka, dinyanyikan oleh Meggy Z. tahun 1996)
Katanya tebu manis airnya, kucoba tanam di pinggir hati
Tumbuh memang tumbuh, sayang sayang sayang, tebu berduri menusuk hati (Mahal, dinyanyikan oleh Meggy Z. tahun 2000)
Pernahkah anda bayangkan kegalauan dilukiskan melalui penggunaan kata tebu? Kejora dipakai sebagai perantara menitipkan pesan rindu, benang dan kain sebagai sebuah harapan, serta tebu sebagai cinta yang menyakiti hati. Kalimat-kalimat penuh dengan metafora.
Kembali ke lagu dangdut era sekarang. Beberapa penyanyi yang “dicap” atau menobatkan diri sebagai penyanyi dangdut, nyatanya jauh berada di bawah standar dangdut yang saya tetapkan. Hits lagu dangdut di radio, TV maupun di berbagai penyedia layanan download musik tentu dipenuhi dengan judul-judul seperti Abang Goda, Sakitnya Tuh di Sini, Goyang Dumang, Aku Ra Popo dll. Apakah kesemua lagu tersebut puitis? Tentu tidak, satu pun tak ada yang mengandung majas. Apakah dinyanyikan secara elegan dan selaras dengan isi lagu? Jawabannya juga tidak, bagaimana mungkin sebuah lagu yang bercerita tentang istri yang sedang bersedih ditinggalkan suaminya pergi, dinyanyikan sembari dribble bola daging.
Saya tak hendak memosisikan diri sebagai seorang moralis. Dengan demikian para pelaku dangdut tak akan saya salahkan. Bahwa merebaknya lagu dangdut yang dibumbui hamparan daging bukan semata karena para penyanyinya yang lupa budaya ketimuran. Bahwa hilangnya kualitas sastra dari lirik lagu dangdut bukan karena para pengarang lagu yang turun kreativitasnya.
Seni adalah representasi masyarakat penikmat. Jika para penyanyi sering tampil dengan tidak sopan, mungkin kita sebagai masyarakat memang lebih gemar melihat selangkangan. Jika lirik lagu tidak lagi puitis, mungkin kita sebagai penikmat lebih suka dengan segala hal yang instan dan praktis.
Ditulis sembari mendengarkan lagu Aku Bukan Pengemis Cinta-nya Jhoni Iskandar.
Leave a Reply