Pemakaian cadar oleh perempuan masa kini tidak dapat didoktrin secara langsung. Pemakaian cadar dapat dinilai sebagai introspeksi di masa lalu dan merupakan refleksi historis atas subjektivitas perempuan. Jangan-jangan, pemakaian cadar masa kini merupakan metamorfosis dunia perhijaban. Hal ini tentu tidak lepas dari niat masing-masing individu dalam memakai cadar. Bukan berarti bahwa perempuan tidak mendapat kebebasan dengan adanya cadar yang melekat di wajahnya. Akan tetapi, kebebasan sesungguhnya pada perempuan adalah memberikan kebebasan memilih bagaimana merepresentasikan dirinya. Penggunaan cadar jika memang dipaksa itu merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaliknya jika tanpa paksaan merupakan kebebasan memilih. Apakah pemakaian cadar masa kini merupakan bentuk kemunduran Islam?
Sekitar abad 18-19, cadar memang dinilai sebagai sesuatu yang dinilai bertentangan dengan semangat dan ajaran Islam. Hal ini tidak lepas dari konteks pemakaian cadar yang merefleksikan tanda kepemilikan. Qasim Amin (1 Desember 1863-23 April 1908) adalah tokoh reformis dari Mesir yang menggelorakan semangat pembebasan wanita. Kehadiran Qasim mendongkrak tradisi masyarakat Mesir, dimana wanita dijadikan sebagai budak dan pemuas nafsu kaum pria serta selalu dipingit di dalam rumah. Qasim dengan karya fenomenalnya yang berjudul Takhrir Al-Mar’ah dan Al-Mar’ah Al-Jadiidah telah mampu mengungkap satu per satu fenomena kejahilan masyarakat Mesir.
Pada masa itu, banyak yang mengharamkan membaca karya tersebut karena dinilai melanggar ajaran Islam. Orang pada masa tersebut memang berpikir sangat kolot tentang perempuan. Justru pada masa itulah disebut masa kemunduran Islam. Perlu diingat bahwa Rasulullah telah menyuarakan HAM persamaan antara laki-laki dan perempuan di akhir Haji Wada’. Akan tetapi, masyarakat banyak yang lupa atau bahkan sengaja lupa untuk memenangkan ideologi patriarkinya.
Hal pertama yang ditentang oleh Qasim adalah mengenai cadar. Cadar yang semula dipaksakan kepada istri akhirnya diberikan kepada anak perempuan, saudara perempuan, dan akhirnya kepada semua perempuan. Memakai cadar adalah simbol kepemilikan pada masa lampau dan salah satu tingkah laku jahiliyah yang memberikan karakter bagi generasi selanjutnya. Selain itu, banyak dijumpai perempuan bercadar sambil menunduk yang berjalan diiringi pengawalnya. Secara tidak langsung, perempuan tersebut berkata, “Aku percayakan kelemahanku, kedunguanku kepada laki-laki untuk melindungiku, untuk menjagaku.”
Terkadang, meskipun berjalan dengan pengawalnya, ada saja perbuatan laki-laki yang mengganggu perempuan bercadar tersebut. Apakah bercadar menjamin keamanan perempuan? Lantas, mengapa perempuan hanya diam saja? Apakah wanita bercadar lebih menarik dibandingkan wanita tidak bercadar? Tentu saja tidak. Laki-laki dalam keluarga telah melihat bagaimana kedudukan perempuan dalam rumah tangga yang diindikasikan seperti budak. Laki-laki sebenarnya juga merasa kesulitan dalam memikirkan bahwa penutup dan selendang adalah simbol kebodohan dan keterkucilan. Padahal jika perempuan mau, mereka bisa menentang laki-laki atas perilaku senonohnya.
Seklusi atau pemingitan adalah perbuatan yang membatasi kebebasan perempuan dengan klaim syariah dan hukum kemanusiaan, serta menempatkan mereka pada keterasingan dengan status yang rendah. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan syariah yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama yang mampu mengatur kehidupan sehari-harinya. Satu-satunya solusi untuk membebaskan seklusi terhadap perempuan yakni jalan pendidikan yang sama dengan yang diperoleh laki-laki. Perempuan yang terus menerus dikurung adalah perempuan yang sakit. Maka dari itu, mereka lebih terbawa oleh hawa nafsu mereka daripada perempuan merdeka. Jika pengurungan perempuan itu tidak membuat perempuan bergerak, maka hal itu menunjukkan kerusakan pada setiap kebaikan dalam diri perempuan. Perempuan seharusnya dapat menggali bakat dan minatnya di luar, tidak hanya berdiam diri di rumah.
Pemingitan terhadap perempuan yang dilakukan oleh orang-orang Mesir telah melupakan fakta bahwa perempuan berhak hidup bahagia seperti yang laki-laki lakukan. Kesedihan dan keputusasaan merajalela, sehingga timbul pemikiran bahwa Negara Islam telah menuju akhir hayat. Justru hal tersebut mengambil kebebasan perempuan. Perempuan berhak mengetahui dunia luar, perempuan berhak dalam proses edukasi. Jika kaum Muslim mengambil opini bodoh semacam ini, maka laki-laki dengan bangganya akan berkuasa dan membatasi perempuan. Penulis yakin, jika perempuan berpendidikan dan ia keluar rumah, yang ada ia malah dihormati bukan dicaci. Ilmulah yang menjadikan seseorang itu terhormat baik laki-laki maupun perempuan.
Perempuan harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, karena di tangan perempuanlah generasi muda berada. Pemingitan hanya akan memunculkan efek negatif karena perempuan hanya berdiam diri di rumah tanpa mengetahui pendidikan yang berdasar eksperimental. Begitu pula dengan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga harus disetarakan. Laki-laki harus menganggap istri sebagai seorang partner ahli dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Apabila perempuan telah mendapatkan kebebasannya serta dapat memberikan kontribusinya terhadap suatu negara, maka negara akan melaju dengan pesatnya. Seperti halnya yang tertera dalam teori struktur fungsional yakni apabila suami istri dapat bekerja sama dan dapat membagi tugas dengan baik, maka fungsi dari sebuah organisasi akan berjalan dengan seimbang dan tidak ada tumpang tindih di antaranya. Masihkah ada kebijakan negara-negara di Arab atau bahkan Indonesia yang mendiskriminasi kaum perempuan. Hal ini akan dibahas di tulisan selanjutnya.
Oleh; hilmiinaya4@gmail.com
Leave a Reply