Pare adalah salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Secara Geografis, Pare berada di timur dari Kota Kediri yang berbatasan dengan Kabupaten Jombang. Hingga kini, Pare terkenal dengan sebutan Kampung Inggris. Bukan tanpa alasan, banyak lembaga kursus Bahasa Inggris berada di wilayah ini, tepatnya di Desa Tulungrejo dan Desa Pelem.
Sejak didirikannya embrio lembaga kursus tahun 1977 Desa Tulugrejo telah mengalami perkembangan yang sangat cepat. Perkembangan Kampung Inggris ditandai dengan berdirinya banyak lembaga kursus Bahasa Inggris dan datangnya ratusan anak muda dari berbagai penjuru di Indonesia untuk belajar Bahasa Inggris. Mereka tinggal di rumah-rumah masyakata yang perlahan kemudian disebut sebagai kos-kosan (homestay) atau di English Camp.
Era Santri dan Masyarakat Agamis
Menurut Clifford Geertz, 1983, kondisi tersebut terjadi sejak jaman kolonial Belanda ketika Pare berkembang menjadi kota baru. Perkembangan tersebut ditandai dengan arus urbanisasi masyarakat dari pesisir jawa yang meningkat, pembukaan perkebunan tebu yang semakin luas, dan sektor perdagangan yang terus tumbuh. Sampai masa depresi perang kemerdekaan, pedagang Jawa yang paling berkembang bukanlah pedagang batik yang setengah bangsawan ataupun para pedagang setempat, melainkan para pedagang keliling antar daerah yang pergi ke Pare dari bagian Jawa lainnya.
Masyarakat urban yang datang ke Pare berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur. Sebagian besar datang dari daerah pantai utara yakni Kudus, Demak, Tuban, Gresik, Surabaya, bahkan dari Madura dan Bawean. Golongan ini dengan bertahap membangun jaringan perdagangan antar daerah yang menghubungkan Pare dengan daerah pantai utara yang lebih maju secara ekonomis. Golongan inilah yang kemudian bersama orang Cina serta Arab pertama kali mengkaitkan beberapa pasar di Pare dengan kuat.
Kehadiran mereka di Pare telah memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat Pare. Dari segi budaya, hampir semua pedagang keliling itu adalah orang Islam yang kuat dan taat beragama serta tingkah lakunya lebih santun dibanding kaum bangsawan Kawedanan Pare. Masyarakat Pare menyebut mereka sebagai kaum sholeh atau santri. Keberadaan kaum migran semakin diperkuat dengan didirikannya masjid di persimpangan jalur kereta dalam kota yang kemudian memunculkan pemukiman Kampung Kauman, nama yang sama digunakan oleh masyarakat santri pesisir. Setelah pola pemukiman masyarakat santri tersebut menguat mulai muncul pula masjid serta pusat keagamaan seperti pondok pesantren di sekitar Kota Pare.
Salah satu faktor yang mengukuhkan status Pare sebagai kaum santri adalah berdirinya Pesantren Darul Falah oleh KH. Ahmad Tohir. KH. Admad Tohir adalah ayah kandang dari putra KH. Ahmad Yazid yang kemudian dikenal sebagai pelopor pesantren bahasa. Sosok KH. Ahmad Yazid adalah kiai yang dikenal yang menguasai beberapa bahasa. Diksi pesantren bahasa lebih dikarenakan metode pembalajaran bahasa yang dipraktikkan KH. Ahmad Yazid dalam pembelajarannya. Jika pada umumnya pesantren hanya mengenal Bahasa Arab, maka KH. Ahmad Yazid juga mengenalkan Bahasa Inggris pada santrinya.
Menjelma Menjadi Kampung Inggris
Sejarah Kampung Inggris dimulai dengan lahirnya Basic English Course (BEC) yang berdiri pada 15 Juni 1977 dengan tokoh utamanya adalah KH. Ahmad Yazid dan muridnya, M Kalend Osen. Kalend adalah pengajar Bahasa Inggris yang dapat dikatakan berawal dari ketidaksengajaan. Awal mula, Kalend adalah santri Gontor yang kehabisan biaya untuk melanjutkan pendidikannya. Lalu Kalend datang ke Desa Tulungrejo Pare untuk melanjutkan pendidikan agama ke KH. Ahmad Yazid yang dikenal memberikan pendidikan gratis kepada siapa saja yang ingin belajar.
Sebelum melembagakan BEC sebagai kursus Bahasa Inggris resmi, Kalend melakukan aktivitas pendidikan Bahasa Inggris secara gratis dan nomaden. Ia sering kali berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain, dari teras Masjid Darul Falah, balai desa, lapangan hingga teras rumah warga. Hingga akhirnya BEC memiliki gedung sendiri di Dusun Singgahan, Desa Pelem, Pare yang notabene merupakan rumah dari istri Kalend.
Pesatnya perkembangan lembaga kursus bahasa terjadi pada tahun 1990-an. Perkembangan yang terjadi pada dekate tersebut didorong oleh sebuah kondisi dimana setiap orang dituntut untuk dapat menguasai Bahasa Inggris sebagai bahasa global. Selain itu, pendidikan tinggi khususnya pasca sarjana yang menuntut adanya skor TOEFL atau IELTS juga menjadi faktor perkembanganyan. Dampaknya, peningkatan peserta didik meningkat tajam, sehingga BEC tidak lagi bisa menampung daya minat peserta belajar bahasa inggris. Dari sinilah sebutan Kampung Inggris itu mulai muncul karena banyak lembaga yang tersebar di kedua desa.
Identitas Kampung Inggris mulai menguat dengan ditantai semakin menjamurnya lembaga kursus bahasa dan minat siswa yang terus bertambah besar. Selain, itu identitas Kampung Inggris juga diperkuat dengan lingkungan masyarakat yang dapat berbicara dengan Bahasa Inggris. Alasan lain penyebutan Kampung Inggris juga bisa dikarenakan pembelajaran Bahasa Inggris yang diselenggarakan di kampung ini memiliki keunikannya masing-masing. Keunikan dalam menggunakan metode pembelajaran unik dan praktis dengan mewajibkan siswa untuk menggunakan Bahasa Inggris pada spot-spot area tertentu sejak bangun hingga menjelang tidur.
Leave a Reply