Kumandang adzan Isya’ terdengar bersahutan. Setelah menunaikan ibadah sholat, Noko berencana ngopi bersama Bram dan Ucup. Dengan setelan peci hitam dan baju koko berwarna abu-abu ia berangkat menuju tempat ngopi langganannya. Bram dan Ucup berangkat duluan sebelum Isya’ tadi. Mereka berdua memang tergolong sedikit lebih liberal dibandingkan Noko.
Noko sengaja tidak mengajak temannya yang lain. Selain ngopi, ia juga berencana untuk tes drive kuda besinya. Maklum saja, tadi siang motornya baru saja menerima servis terbaik di bengkel milik temannya.
Ia menyalakan motornya perlahan, terlihat helm hitam sudah terpasang gagah di atas ubun-ubunnya. Motor diarahkan menuju tempat ngopi. Sepanjang perjalanan ia melihat pasangan muda-mudi sedang menikmati malam. Noko menghela nafas panjang, dalam hatinya ia juga ingin memiliki pasangan. Sekedar untuk pelabuhan ketika membutuhkan sandaran atau pelukan.
Sesampainya di warung kopi. Bram dan Ucup terlihat sedang terlibat obrolan yang cukup serius. Wajah mereka menampakkan sebuah guratan penuh emosi selayaknya ekspresi wajah Marquez pasca insiden tendangan Valentino Rossi. Noko memesan kopi. Ia kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan oleh kedua temannya.
“Ini ada apa toh? Kok kelihatannya blengkrengen dari tadi?”
“Iki lho, Cak. Mas Bram nggawe perkoro meneh. Kemarin habis melarang orang masuk Islam. Sekarang malah ngomeli aku.”
“Lohh!! Maksudnya melarang orang masuk Islam?”
“Iya, Cak. Masak orang mau jadi mualaf malah dilarang. Padahal jarang-jarang orang dapat hidayah seperti itu. Ancene pikirane rodok eror kok.”
“Gimana, Bram. Coba jelaskan apa yang dikatakan Ucup tadi!”
Bram yang sedari tadi terdiam menghisap rokoknya dalam-dalam. Tak lupa ia nyeruput kopi sebelum bersiap mendongeng panjang.
“Begini lho, Cak. Kemarin itu temanku mau masuk Islam. Terus aku coba tanya motifnya kenapa dia ingin masuk Islam. Dia menjelaskan mau masuk Islam karena ia sudah mulai nyaman. Ia juga bercerita jika ia ingin menikahi seorang Muslimah.”
“Terus?”
“Aku tanya ke dia, Cak. Opo bener kuwi pengen melbu Islam karena krenteke ati. Ojo-ojo nggur perkoro wedok. Masalahnya ia juga berujar bahwa orang tuanya menentangnya. Bagaimanapun dia temanku, Cak. Meski secara agama aku mengharapkannya jadi mualaf. Tapi, aku gak pengen nduwe konco yang punya hubungan buruk dengan orang tua”
“Mas, menjadi mualaf itu bukan durhaka. Itu adalah salah satu takdir Allah. Berarti temannya sampeyan merupakan orang pilihan yang sudah digariskan oleh Allah.”
“Ucup ini memang ngeyel kok. Perlu digarisbawahi. Aku gak pernah melarang dia masuk Islam. Aku hanya meminta ia mempertimbangkan segala resiko. Jarene agomone awak dewe dekne oleh hidayah. Lha jarene agomone wong tuone? Opo yo hidayah pisan?”
“Tapi kan. . .”
“Sebentar, Cup. Terus bagaimana kelanjutannya, Bram?”
“Sekarang ia tak minta untuk berfikir yang jernih, Cak. Ia tak minta untuk memikirkan lagi apakah benar ia memang sudah punya kesungguhan dan keikhlasan untuk hijrah. Tentunya dengan segala pertimbangan dan resiko yang ada. Setelah itu baru ia tak suruh untuk membuat keputusan, Cak.”
Noko terlihat menganggukkan kepala beberapa kali. Ia seolah paham betul apa yang dimaksudkan Bram dan kegundahan Ucup.
“Begini, Bram. Apa yang kamu katakan tepat sekali. Aku paham betul posisimu. Baik sebagai seorang Muslim maupun sahabatnya. Nasihat yang kamu berikan sudah bagus karena mencakup seluruh aspek kehidupan.”
“Lho, Cak. Sampeyan kok malah mbelo Mas Bram?”
“Ini bukan membela, Cup. Coba bayangkan, jika kamu di posisinya Bram. Apa yang akan kamu nasihatkan kepada temanmu tersebut?”
“Gak kesuwen, Cak. Langsung secepatnya tak suruh untuk mengucapkan lafal Syahadat.”
“Yang kamu katakan juga benar, Cup. Benar ketika sudut pandangnya merujuk pada agama. Tapi dari sudut pandang sebagai seorang sahabat dalam melihat resiko hubungan dengan keluarganya?”
Tatapan tajam Noko dan Bram tepat pada mata Ucup. Ucup terdiam. Ia menunduk tak bisa menjawab pertanyaan dari Noko.
“Begini. Hijrah merupakan sebuah anugerah yang tak didapatkan sembarang orang. Tapi melewati semua itu juga harus mempertimbangkan segala resiko yang ada. Yang dikatakan Bram tadi sudah sangat tepat. Ketika teman Bram sudah berfikir lebih dalam dan akhirnya ia memang hijrah akan lebih baik. Orang tersebut akan menjadi Muslim yang kaffah. Apalagi ketika dengan berfikir tersebut kemudian ia masuk Islam dan juga memiliki jalan keluar untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang tuanya.”
“Nahh. Benarkan, Cup?”
“Tapi, perlu diingat juga Bram. Kamu harus tetap sedia disampingnya untuk mendampinginya. Berikan dia pemahaman yang baik masalah Islam. Usahakan kamu menguatkan keyakinannya dulu. Setelah itu baru mengajarkan babakan syari’at dan yang lainnya.”
“Siap, Cak. Mosok gak percoyo mbek ayas?”
“Lapo aku percoyo nang kowe. Musyrik aku nanti malahan.”
Gelak tawapun pecah mengiringi jawaban Noko. Forum yang dari awal tadi terlihat sangat serius tiba-tiba berubah menjadi pemandangan penuh candaan. Ucup tertawa meringis, Bram terbahak-bahak sampai ingin pipis.
Mereka semakin mengerti, Noko memang juaranya membuat solusi dan menenangkan hati.
Leave a Reply