Gemuruh masyarakat siang itu begitu kentara di Sirkuit Sepang Internasional, Malaysia. Masyarakat Negeri Jiran tengah berbondong-bondong untuk menyaksikan secara langsung balapan Moto GP di tanah mereka. Dari yang benar-benar mencintai balapan, yang cuma ngefans satu pembalap hingga yang hanya ikut-ikutan turut menyemarakkan perhelatan balap motor tertinggi di muka bumi.
Perlombaan menentukan jawara Moto GP tahun ini memang sedang panas-panasnya. Jarak poin yang dikumpulkan oleh The Doctor (julukan Valentino Rossi) tengah dibayangi ketat oleh Jorge Lorenzo. Menyisakan dua race lagi, menjadikan suhu aspal sirkuit Sepang lebih mendidih dibandingkan biasanya. Persaingan kedua pembalap tersebut tak ubahnya persaingan sengit antara Sherlock Holmes dengan James Moriarty. Keduanya sama-sama di anugerahi dengan kejeniusan dan kehebatan dalam memanfaatkan semua peluang.
Naasnya, bagi Rossi, ia seperti sedang dikepung oleh pembalap dari Spanyol. Lorenzo di peringkat dua, Marquez di peringkat tiga, dan Pedrosa di peringkat empat adalah nama-nama kelahiran Negeri Matador. Kondisi yang sama pernah terjadi pada diri Cristiano Ronaldo. Dalam perebutan pemenang Ballon D’Or, ia berada di tengah-tengah antara Lionel Messi dan Andres Iniesta yang kebetulan keduanya berasal dari Barcelona.
Kompleksitas permasalahan semakin bertambah dengan perseteruan antara Rossi dengan Marc Marquez. Keduanya terlibat adu mulut dalam konferensi pers yang diadakan sebelumnya. Marquez yang secara style balapan memiliki kemiripan dengan Rossi memang beberapa kali sempat terlibat adu balapan dengan sang pendahulu. Keduanya beberapa kali saling kebut-salip di beberapa balapan sebelumnya.
Di sirkuit Sepang, perseteruan antara Marquez dan Rossi mencapai puncaknya. Ketika keduanya tengah terlibat balapan sengit, tetiba Marquez jatuh tersungkur. Dari beberapa tayangan ulang, terlihat jika karena “tendangan” Rossi-lah yang menyebabkan Marquez terjatuh. Balapan selesai, Pedrosa langgeng di podium juara yang disusul Lorenzo dan Rossi di peringkat dua dan tiga.
Pasca balapan, tim investigasi dari Direktur Balap Moto GP kemudian memutuskan menghukum Rossi dengan tiga poin pinalti. Hukuman tersebut mengharuskan Rossi akan memulai balapan selanjutnya dari posisi terakhir.
Ketidaksadaran Rossi dan Proyeksi Marquez
Meski banyak perdebatan antara pihak Rossi dengan Marquez. Agaknya Rossi harus menyadari bahwa keinginan untuk menjadi yang nomor satu terkadang tak semudah yang dibayangkan. Mungkin ia bisa belajar dari Messi. Sang Raja lapangan tak hanya sekali mengalami “kesialan” untuk memberikan yang terbaik bagi negaranya. Mulai dari menjuarai Copa America di tahun 2007 yang pupus oleh seterunya, Brazil, kegagalan memenangkan piala di tahun 2014, hingga yang masih segar diingatan ialah takluknya Negeri Tango di tangan Chile di Final Copa America, Juli kemarin.
Semua masyarakat di penjuru dunia tahu bahwa Messi adalah pemimpin Argentina di setiap pertandingan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum pula jika publik ingin melihat Messi untuk mengangkat piala bagi negaranya. Beban tersebut-lah yang mungkin saja sampai hari ini menjadi misteri bagi Messi untuk segera diruntuhkan. Tanggungan berat yang dalam benak Messi ingin segera tuntaskan. Ada keinginan yang bercampur angan dalam diri Messi. Seperti menyimpan dan memikul setendon air di musim kemarau namun tak tau harus dibuang kemana.
Rossi yang notabene adalah pembalap senior juga seolah mengisyaratkan celah kelegendaan kisahnya di dunia balap. Secercik nila yang merusak susu sebelangga. Hujan sehari yang menghapus kemarau setahun. Kedua peribahasa tersebutlah yang mungkin hari ini sedang terjadi pada diri pemilik motor balap nomor 46 tersebut.
Kisah Rossi tentu mengingatkan publik pada kisah Zinadine Zidane. Sang Maestro asal Negeri Eiffel sedikit tercoreng namanya ketika insiden “sundulan mautnya” kepada Marco Materazzi. Kemiripan tragedi keduanya adalah pada situasi dimana kejuaraan yang sedang diikuti ialah kejuaran terakhir. Harapan untuk membuat salam perpisahan termanis seketika runtuh karena perilaku “kekanakan” dari pria dewasa dengan gelimangan piala.
Bagi Rossi sendiri, ia mengaku hanya mempertahankan diri agar tidak terjadi insiden yang merugikan dirinya. Sayangnya, mungkin Rossi tak tuntas mempelajari psikoanalisis milik Sigmund Freud. Ia tak mampu meredam id yang tengah menguasai alam bawah sadarnya. Ia juga melupakan bahwa balapan tersebut memiliki superego sendiri.
Pertentangan id, ego dan superego memunculkan sebuah kondisi yang tak menentu dalam diri Rossi. Tindakan yang dilakukan Rossi selayaknya pandangan Freud lain mengenai insting Thanatos. Perilaku agresif yang dilakukannya lebih banyak dipengaruhi kecemasan dalam ketidaksadaran yang muncul atas tindakan dari luar. Dalam teori evolusi milik Darwin, Robert Ardrey menekankan bahwa manusia sejak lahir telah membawa killing imperative.
![Rossi melenggang dan Marquez terjatuh](https://www.avepress.com/wp-content/uploads/2015/10/Rossi-melenggang-dan-Marquez-terjatuh.jpg)
Meski begitu, Rossi tak selayaknya menjadi pihak yang paling dihakimi. Bukankah jika yang sedang beradu kecepatan dengannya bukan Marquez mungkin insiden tersebut dapat dihindari? Berbeda dengan Rossi, Marquez sepertinya begitu tuntas memahami mekanisme pertahanan diri lewat proyeksi. Ia mampu mengalihkan kecemasan yang hinggap di otaknya kepada orang lain. Marquez seperti tau betul bahwa Rossi memiliki sifat temperamen yang cukup tinggi. Ia melakukan beberapa tindakan yang mampu mengalihkan kecemasannya kepada Rossi. Dan, pada akhirnya Rossi yang terprovokasi melakukan mekanisme pembelaan ego dengan sedikit berlebihan.
Peribahasa “apa yang ditanam, itulah yang tumbuh” boleh jadi mewakili apa yang terjadi pada Rossi. Bagaimanapun, Rossi harus segera bersiap untuk kalah. Sambil menikmati penyesalan, mungkin Rossi bisa mendengarkan lagu Sewates Angen milik Demy. Mendewasalah, Marquez! Dan beristirahatlah, Rossi!
Leave a Reply