APA jadinya kalau bangsa ini dikendalikan oleh Togog? Pementasan Teater Koma berjudul “Republik Togog” menjawabnya. Bangsa ini akan hancur karena korupsi tidak bisa dilawan dan aset negara yang musnah karena kritik dianggap semacam musuh.
Pementasan yang distradarai oleh N Riantiarno itu berusaha mengawinkan lakon Tartuffe karya Moliere dengan cerita pewayangan Sadewa Tumbal dari Mahabarata. Lakon fiksi ini cukup persis mendeskripsikan bagaimana lakon nyata dalam kehidupan sosial politik Indonesia saat ini. Bercerita tentang hipokrisi manusia, yang selalu memandang kekuasaan sebagai dewa. Mereka berkuasa bukan karena ingin menciptakan kesejahteraan rakyat, melainkan lebih karena ingin mengakses lebih banyak kekayaan rakyat. Dengan kata lain, menindasnya.
Adalah Togog yang menyamar menjadi Resi Tejamantri di tengah Kerajaan Amartapura yang sedang gonjang-ganjing. Raja Samiaji kehilangan wibawa karena titah-titahnya sesungguhnya adalah titah Togog, sang mata-mata Kerajaan Gilingwesi yang menyamar sebagai ulama palsu bernama Resi Tejamantri.
Tejamantri gadungan ingin menguasai Amartapura, dan berpura-pura menjadi orang bijak pemuja Dewa yang sangat bijaksana. Siasatnya berhasil mempedayai Samiaji. Secara tak sadar Samiaji memercayai Togog, bahkan mengangkatnya sebagai penasihat kerajaan. Bahkan Samiaji juga akan menikahkan Togog dengan putri angkatnya, Parwita.
Di sisi lain Togog secara diam-diam sudah menghabisi kekayaan Kerajaan Amartapura. Perilaku Togog membuat resah keluarga Pandawa, namun kritik apapun diabaikan. Samiaji baru sadar ulah Togog setelah ia berhasil menguasai jimat Kalimasada yang menjadi pusaka Pandawa.
Itulah cermin perilaku bangsa kita, atau tepatnya perilaku para elit politik kita dalam mengejar kekuasaan. Saat politik dimainkan dengan mengabaikan etika, rata-rata para elit tanpa sadar memerankan dirinya sendiri sebagai togog-togog yang haus kekuasaan. Mereka merunduk-runduk di bawah cengkeraman kekuasaan dan memerankan apa yang, saya kira, selalu bertentangan dengan hati nuraninya.
Dalam situasi kekinian, togog adalah metafor dari wajah elit yang kehilangan hati nuraninya. Ia tidak memperlakukan politik untuk mensejahterakan rakyat, melainkan berpolitik untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka menghamba kepada kekuasaan, dan sering bersikap bak bunglon. Akibatnya, politisi adalah tokoh masyarakat yang sangat sulit dijadikan teladan hidup masyarakat.
Belajar dari togog, kita lihat elit politik kita tampak sangat kesulitan memahami bahwa kekuasaan tidak semata-mata digunakan menguasai pihak lain, melainkan, yang lebih penting, menciptakan kesejahteraan rakyat. Kebijakan penggusuran di kota-kota besar atas nama keindahan kota, kenaikan harga-harga di masa-masa sulit seperti ini adalah contoh yang bisa dirujuk. Penguasa melihat dampak kebijakan itu sebagai kewajaran yang sungguh sangat biasa dan mudah dipahami di satu pihak, di dalam situasi rakyat sungguh menjerit akibat dampak kenaikan harga-harga itu sebagai langkah yang sangat tidak bisa dipahami di lain pihak.
Di sinilah sangat mungkin terjadi aksi tipu muslihat itu. Rakyat diberi pemahaman bahwa kebijakan itu benar sepenuhnya dan harus dilakukan untuk kepentingan “ekonomi bangsa”: Saat ini juga! Jerit kesakitan rakyat adalah urusan pribadi-pribadi dan bukan urusan negara. Maka secara baik kita bisa membenarkan cerita Yu-li-Zi berikut ini, ketika kekuasaan tidak dijalankan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan keabadian penguasa. Rakyat diperas penguasa untuk kepentingan yang tidak bisa dipahami rakyat.
Adalah di negeri feodal Chu, ada seorang tua yang mempertahankan hidupnya dengan memelihara monyet-monyet sebagai budak. Ia dipanggil “Ju Gong” (Tuan Monyet). Layaknya tuan, tiap pagi ia memerintah monyet-monyetnya pergi ke gunung memetik buah-buahan. Aturannya, seekor monyet wajib menyetorkan 10% perolehannya kepada “Ju Gong”. Yang gagal diberi hukuman. Semua monyet menderita, namun tak satupun berani melawan.
Suatu hari, seekor monyet kecil bertanya pada lainnya, “Si Tua itukah yang menanam buah-buahan ini?” Jawab lainnya, “Bukan, pohon-pohon itu tumbuh sendirinya.” Si monyet kecil bertanya lagi, “Tidak bisakah kita mengambil tanpa izinnya?” Jawab lainnya, “Ya, kita bisa.” Maka saat itulah tumbuh kesadaran otomatis bahwa tak ada alasan apapun melayani “Ju Gong”. Suatu malam saat “Ju Gong” tertidur pulas, monyet-monyet itu membongkar pagar yang mengurungnya; mereka mengambil buah-buahan yang tersimpan di gudang dan membawa lari. Mereka tak kembali lagi. Akhirnya “Ju Gong” mati kelaparan.
Cerita itu aslinya berjudul “Rule of Tricks” dari Yu-li-Zi, nama samaran Liu Ji (1311-1375), yang dikutip dari Gene Sharp, From Dictatorship to Democracy A Conceptual Framework for Liberation (1993), dan diindonesiakan Sugeng Bahagijo (1997:23-24). Kisah tersebut sangat menarik diceritakan karena ia berusaha mendekonstruksi tendensi kekuasaan (politik) yang cenderung berisi tipu muslihat daripada menggunakannya dengan prinsip-prinsip yang benar. Dalam adagium Actonian, tendensi kekuasaan yang corrupt.
Pelajaran kisah tersebut saya yakini sangat relevan merefleksikan perihal kekuasaan di masa kini di Indonesia. Orba adalah contoh terbaik untuk merepresentasikan cerita Yu-li-Zi tersebut benar-benar terjadi. Kekuasaan digunakan untuk menipu rakyat, dan ketika rakyat sadar bahwa dirinya tertipu maka diapun memberontak. Kekuasaan memang secara formal diselenggarakan sesuai prinsip, namun praktik yang terjadi adalah soal tipu-menipu.
Pelajaran dari Negeri Chu di atas patut menjadi catatan berharga bagi para penguasa untuk tidak menjalankan kekuasaannya dengan tipu muslihat, tapi dengan cara yang benar. Jika kekuasaan sudah dijalankan dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip moral, kekuasaan akan benar-benar menjadi payung bagi rakyat.
Begitu pula pelajaran dari negeri togog, mengajarkan kepada penguasa untuk tidak menjadi munafik.
Saiful Arif, mengelola saifularif.com
Leave a Reply