Ajaran agama berikut penafsirannya kerap dituding sebagai sumber pelanggengan penindasan gender. Hal ini tidak bisa dielakkan mengingat tafsir ajaran agama yang berkembang sampai di era saat ini lebih banyak didominasi tafsir tekstual daripada kontekstual.
Penggunaan tafsir yang hanya berbasis “apa yang dibicarakan” teks tanpa mau mempertimbangkan “apa yang dimaksudkan” teks, secara nyata memang banyak mengakibatkan adanya diskriminasi peran perempuan baik dalam ruang domestik terutama di ruang publik.
Perempuan memiliki kesempatan yang sempit dalam mengembangkan dirinya sejajar dengan laki-laki. Di samping karena tekanan budaya patriarki yang dilestarikan, adat yang dihormati, juga karena adanya keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perempuan merupakan makhluk nomor dua. Kedudukannya berada di bawah laki-laki, bukan sejajar.
Padahal dalam teks keagamaan yang bersumber dari al-Qur’an maupun al-Hadits terdapat teks-teks dan sejumlah pernyataan tentang kaum perempuan yang sejajar dengan kaum laki-laki, memperoleh hak-hak yang sama untuk terlibat dalam perjuangan sosial-politik. Ini bisa dilihat dalam QS Al-Ahzab 53, QS An Nahl 97, Al Hujurat 13, dan lain-lain. Ada pula hadits nabi yang berbunyi: “An Nisa syaqaiq Ar Rijal”, kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki, “tidak menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang memiliki pribadi terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan kecuali orang-orang yang berjiwa rendah” (Muhammad, 2004).
Kitab-kitab kuning sebagai karya para ulama klasik (kutub al turats al qadimah) dipandang sebagai interpretasi ulama atas sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Ia mempunyai otoritas keagamaan yang tinggi dalam memandu sekaligus membentuk tingkah laku keseharian masyarakat muslim pada umumnya.
Harus dijelaskan bahwa Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sarat dengan tradisi dan budaya diskriminatif serta memarjinalkan kaum perempuan. Tradisi waktu itu memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua dan direndahkan, tidak berharga, serta tidak punya hak apa-apa atas hidup mereka, karena haknya dipegang sepenuhnya oleh kaum lelaki. Bahkan, sebagian di antaranya menganggap perempuan adalah pembawa malapetaka dan memalukan sehingga harus dimusnahkan. Al-Quran menyatakan:
“Ketika salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira mengenai kelahiran seorang bayi perempuan, maka wajahnya berubah menjadi kelam seraya menahan marah penuh kebencian. Ia menghindari teman-temannya karena keburukan kabar tersebut (dan menimbang-nimbang) apakah anak itu akan terus dipelihara dengan menanggung kehinaan atau apakah ia akan dibenamkan ke dalam tanah. Sungguh, teramat jahat keputusan mereka itu” (QS An Nahl/16:57-59).
“Dan bilamana (bayi-bayi) perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai, karena dosa apa sehingga mereka dibunuh” (QS At Takwir/81: 8-9).
Siti Aisyah dan Ibnu Abbas pernah meriwayatkan bahwa seorang gadis pernah datang kepada seorang Nabi SAW sambil mengadukan bahwa ayahnya telah memaksanya kawin dengan seseorang tanpa persetujuannya. Nabi menawarkan pilihan antara menerima dan membatalkan perkawinannya kepadanya.
Pada akhirnya gadis itu berkata:
“Sebenarnya saya menerima perkawinan itu, tetapi saya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa orang tua tidak memiliki hak atas hal itu (memaksakan seorang suami bagi mereka)” (HR Nasa’i dalam Al Sunan) (Muhammad, 2004).
Di tengah-tengah kondisi seperti itu, khususnya bangsa Arab dan dunia lain pada umumnya, al-Qur’an menggemakan pesan-pesan moral kemanusiaan universal. Perampasan hak dalam bentuk pemaksaan kehendak terhadap perempuan tidak dapat dibenarkan, dalam bentuk apapun.
Gambar: http://muslimstory.files.wordpress.com/2010/02/n00011429-b.jpg
Leave a Reply