Apa itu cultural studies? Apa yang membedakan dengan studies of cultural?
Demikian kalimat pembuka yang disampaikan oleh Abdul Hair sebagai pengantar kajian Cultural Studies yang diselenggarakan oleh Komunitas Averroes dalam program Diskusi Reboan pada 25 Oktober 2018. Kajian Cultural Studies menjadi tema utama yang akan dibahas lebih komprehensif dalam seri diskusi reboan selanjutnya. Pada umumnya cultural studies memiliki makna yang sama dengan studies of cultural. Namun, jika ditinjau dalam ranah epistimologi, yang membedakan antar keduanya adalah terletak pada cara mengkritisi suatu karya. Studies of cultural hanya memandang pada unsur normatif atau ke-estetisan sebuah karya, misalnya ketokohan, karakter, dan pesan moral saja. Sedangkan, cultural studies berusaha untuk melihat unsur atau muatan politis yang ada dalam sebuah karya.
Untuk memudahkan pemahaman awal terhadap kajian cultural studies, Abdul Hair juga menampilkan berbagai gambar yang berbeda misalnya novel Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) yang disandingkan dengan novel Dilan 1990 (Pidi Baiq) serta tarian Jawa tradisioanl dengan tarian K-POP modern. Penayangan gambar tersebut bertujuan untuk melihat cara pandang kita dalam melihat suatu kebudayaan. Kebudayaan dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari akal budi atau kebaikan. Ia muncul dari semangat pada era pencerahan yang menolak dominasi agama dan gereja serta lebih mengagungkan akal dan rasionalitas. Definisi budaya yang bermakna agung dan mengindarkan dari sifat anarki, dimulai pertama kali oleh Matthew Arnold, terutama lewat buku Culture and Anarchy. Pandangan tesebut kemudian diteruskan oleh Leavis yang mendikotomikan budaya menjadi dua yaitu budaya dan kebudayaan massa. Yang mana budaya minoritas dianggap budaya yang hanya dimiliki segelintir orang berpendidikan. Sedangkan, kebudayaan massa merupakan lawan dari budaya, yang dikonsumsi oleh massa tidak terdidik.
Dari pandangan keduanya lahir dikotomi budaya tinggi dan budaya rendah. Budaya tinggi dianggap memiliki citra rasa yang tinggi, nilai yang luhung dan beradab. Sedangkan, budaya rendah dinilai rendah karena hasil daripada industri-industri yang memiliki nilai merusak jika dikonsumsi seperti fim hollywood, novel populer, lagu pop hingga iklan. Budaya rendah kemudian disebut sebagai budaya pop. Tidak hanya Matthew dan Leavis yang mengkritik budaya pop, namun Max Hokaimer dan Theodor Adorno (salah satu pemikir dari Mahzab Frankfrut) juga menanggap sampah pada budaya pop. Mereka melihat bahwa budaya pop salah satu upaya kapitalisme melakukan pembodohan massal pada kelas pekerja atau buruh, Dengan demikian membuat budaya pop menjadi terpinggirkan akibat pengklasifikasian atau dikotomi atas budaya yaitu tinggi dan rendah.
Pendikotomian atas budaya kemudian dikritik oleh Center for Contemporaryu Cultural Studies (CCCS) Birmingham Inggris terutama oleh Hoggart, Raymond Williams, Thomson dan Stuart Hall. Mereka menggugat klasifikasi budaya tinggi dan rendah, karena cenderung elitis dalam mengkritik budaya pop serta berpotensi menghilangkan kajian budaya pop dalam ranah akademis. Seakan budaya hanya pantas untuk orang-orang yang berpendidikan, orang-orang aristokrat serta kaum borjuis saja. Padahal suatu kebudayan tidak hanya bermakna sesuatu yang “baik-baik” saja, namun budaya adalah sesuatu yang terjadi dalam sifat dan perilaku keseharian masyarakat. Tidak ada yang berhak membuat nilai atas suatu budaya itu baik atau buruk.
Kritik yang dilontarkan CCCS atas pemikiran Matthew hingga Mahzab Frankfrut pada akhirnya disebut sebagai cultural studies. Cultural studies melihat budaya populer sebagai arena pertaruangan ideologis, politis dan kontestasi makna serta menggungat sikap elitis yang menilai budaya populer hanya dalam segi estetisnya semata. Padahal budaya populer kerap kali bermuatan politis yang berkelindan dengan upaya hegemoni atas suatu makna. Sehingga dalam arena demikian tentu memunculkan makna yang berbeda pada terhadap suatu budaya populer. Tergantung bagaimana seseorang menerima atau melawan atas makna yang dilontarkan oleh subjek penguasa.
Cultural studies membawa sprit untuk mendekonstruksi pandangan elitis yang melihat budaya populer sebagai budaya yang nir-faedah, nir-kontemplatif dan tidak bisa membuat masyarakat menjadi kritis. Contoh kemunculan novel-novel populer macam Dilan 1990, Ayat-Ayat Cinta, Siti Nurbaya dan lainnya yang tidak hanya dimaknai sebagai keestetisan suatu karya seputar moral dan percintan saja oleh para pemikir Cultural Studies. Namun dalam kajian ini melihat bahwa kemunculan dan massifnya novel-novel tersebut, tidak lain untuk mengkonstruk pemikiran masyarakat agar tidak memiliki daya untuk melawan negara. Pada Era Orde Baru misalnya, negara tentu melarang novel karya Pramoedya Ananta Toer dan Mas Marco untuk disebarkan pada masyarakat serta lebih memilih novel karya Marah Roesli. Tujuannya apa? Tentu untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah kala itu, agar daya kritis masyarakat akan ketidaksewenangan negara tumpul karena terlenakan oleh novel-novel percintaan dan semacamnya. Dari hal itu penting meletakan budaya pop dalam kerangka cultural studies sebagai salah satu kajian kebudayaan.
Abdul Hair melanjutkan bahwa cultural studies dapat digunakan sebagai kerangka berpikir para aktivis. Karena tidak hanya berkutat pada penindasan buruh atau kelas pekerja yang seringkali digaungkan oleh kalangan Marxian. Namun ia mencangkup ihwal kaum marginal, sub-ordinat dan kaum minoritas. Misalnya melawan dominasi kulit putih atas kulit hitam atau melawan fasisme agama yang terjadi pada akhir-akhir ini. Pun cultural studies dapat digunakan untuk melawan dominasi makna jika sesorang mampu untuk tidak berpikir seperti masyarakat pada “umumnya”.
Diskusi Reboan 1, 25 Oktober 2018
Pemateri: Abdul Hair
Moderator: Erry Ike
Pereview: Aprilia Susanti
Leave a Reply