Fenomena manusia Indonesia pada hari-hari akhir-akhir puasa seperti ini adalah mudik (kembali ke udik?). Mengapa secara massif terjadi menjelang hari raya Idul Fitri? Sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Mengapa “budaya mudik” ini lestari dan terus-menerus hidup menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri manusia Indonesia?
Prof. Umar Kayam berpendapat bahwa mudik lebaran adalah suatu gerak eksodus yang spontan dan imperatif dari warga keluarga jaringan yang tercerai oleh gerak pencarian nafkah. Ini artinya, mudik adalah sebuah proses dari aktivitas masyarakat untuk menggapai tujuan dalam kehidupannya terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jadi, mudik adalah salah satu dari rangkaian yang tentunya bukan untuk diputuskan, atas alasan-alasan teknis tertentu, soal transportasi misalnya.
Sosiolog Sardjono Jatiman mengatakan bahwa mudik tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga di negara lain. Di Amerika misalnya, mudik dilakukan pada hari Natal untuk berkunjung ke rumah orang tua mereka.
Ritus Christmas day dan Thanksgiving day selalu dijadikan sebagai ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Walau begitu, mudik Christmas dan Thanksgiving bagi masyarakat AS tak sefenomenal mudik Lebaran di Indonesia yang melibatkan kebijakan, pelayanan publik, sumber daya, dan fasilitas negara dalam skala besar.
***
Sebagian besar warga dari seluruh pelosok nusantara memenuhi kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Ini karena pandangan yang mengasumsikan Jakarta dan Surabaya sebagai “kota sorga”. Surabaya dan Jakarta, di samping sebagai sentral negara-bangsa, ia juga merupakan lahan subur yang menggairahkan bagi para pencari uang.
Di sisi lain sebenarnya bagi para pemudik, momentum hari raya Idul Fitri kali ini bisa jadi merupakan ajang yang paling tepat untuk membagi-bagi rezeki sekaligus memamerkan pada rekannya dan memberitahukan kepada mereka bahwa mencari uang di Jakarta atau Surabaya sangat mudah. Karenanya jangan terkejut kalau penduduk pendatang ke Jakarta atau Surabaya dan berbagai kota besar lainnya setiap tahun selalu mengalami peningkatan.
Sejarah tentang bagaimana hal ikhwal mudik sebagai tradisi itu sendiri mungkin susah dilacak. Namun bagaimana mudik menjadi problem bukan hanya si pelaku, melainkan juga bagi negara karena aparturnya berkewajiban mengatur dan memberikan layanan yang baik, bisa dipahami dari ketika mudik semakin kuat membudaya dalam kultur masyarakat kota.
Bagi sejarah Indonesia yang baru sependek umur jagung ini, setidaknya genderang orde pembangunanisme dan industrialisasi yang diproduksi besar-besaran oleh Indonesia masa Orde Baru, saya kira cukup mempengaruhi. Ketika yang disebut ‘pembangunan’ adalah yang kegiatan ekonomi yang terjadi di kota, maka penyedotan manusia dari desa ke kota tumbuh seiring dengan waktu.
Lalu, mengapa terjadi mudik? Jelas karena ikatan kelahiran, ikatan daerah, ikatan kekerabatan, ikatan persaudaraan, ikatan keluarga dan berbagai ikatan emosional yang lain masih kuat. Ikatan-ikatan itulah yang bisa menyela (pause) hubungan ekonomi yang selama ini terjadi di perkotaan.
Demikianlah bahwa hubungan antara desa-kota, pada gilirannya menyimpulkan bahwa Indonesia sampai hari ini tak bisa mengelak dari realitas perpindahan penduduk dari desa menuju kota. Inilah yang agaknya membuat Morton White dalam The Intellectual versus the City mengatakan “Tak ada tempat untuk mengelak dari urbanisasi, termasuk di angkasa luar”.
Dan para pemudik pun kembali lagi ke kota, mencari uang lagi.
Saya pun mudik, hari ini 🙂 Mudik yuk …
Edi Purwanto says
Mantab….
selamat jalan mas
salam takdim buat keluarga di rumah
Robert Iden says
ahhh PERTAMAX ku hilang lagi….
klo ada istilah mudik di indonesia pada waktu lebaran, di negara barat waktu hari natal, pertanyaanya di china apa ya? kan komunis… bukan berarti tak beragama…