Ludruk masih seperti dulu, menyampaikan kritiknya dengan canda tawa. Spirit perjuangan Ludruk masih terjaga tapi masyarakat tak lagi meminatinya. Saya sempat berhipotesa bahwa meredupnya Ludruk karena ketidakmampuan para seniman mengikuti perkembangan jaman. Dan hipotesa saya itu runtuh seketika malam ini, diruntuhkan oleh Cak Cemet, pelawak, tetangga sekaligus teman ngopi saya.
Selepas isya’ saya melintasi jalanan padat merayap, suasana khas malam minggu Jalan Soekarno Hatta. Di jalanan yang memaksa untuk mengurangi kecepatan itu, terlihat keramaian di Gedung Krida Budaya Malang. Firasat saya mengatakan ada sesuatu yang menarik di sana. Benar, malam ini ada pertunjukan Ludruk.
Sesuai pakemnya, pertunjukan dibuka dengan tari Remo. Tari yang menceritakan kisah seorang perjuangan pangeran di medan perang. Seusai tari Remo, lighting tiba-tiba dipadamkan dan irama gamelan pun berganti, tanda berawalnya sesi dagelan.
Saat lampu menyala betapa terkejutnya saya, sosok bertubuh mungil, berambut gondrong dan berkumis tebal sudah ada di atas panggung. Dialah Cemet, dialah pelawak sekaligus tetangga di Munung, Kecamatan Jatikalen, Kabupaten Nganjuk, desa kelahiran saya. Setiap pulang ke rumah saya selalu menyempatkan diri untuk ngopi di pasar desa kami, setiap waktu ngopi itulah saya bertemu dengannya. Sungguh tidak menyangka, Ludruk Irama Baru yang berasal dari Sidoarjo ternyata salah seorang di antaranya adalah tetangga saya.
Seusai sesi dagelan saya segera menuju belakang panggung, terlihat Cak Cemet melepas pakaian warna-warninya dan berganti dengan kostum lainnya. Sengaja saya kejutkan dia dengan nyelonong masuk dan duduk tepat di hadapannya.
“Assalamualaikum,” sapa saya.
“Waalaikumsalam. Loh jancok kok nang kene kon le,” Jawabnya terkejut.
“Iyo cak kebetulan lewat kok onok Ludruk, ndilalah dagelane kok sampean. Sek tampil maneh to Cak?” tanya saya melihat kesibukannya berdandan.
“Iyo, sek dapuk pisan engkas dadi cantrik’e dukun,” Jawabnya sambil membenahi ikat kepala.
“Yo wes cak sampean tutukno,”
“Nang kene sek yo, ojok muleh disek,” tukasnya sembari berlari menuju panggung.
Setelah menyelesaikan tugasnya ia kembali menemui saya dan mengajak ke luar ruangan. Di halaman belakang pendopo Krida Budaya itulah kami berbincang. Obrolan mengenai kondisi desa mengawali perbincangan kami hingga pada suatu titik saya berkesempatan mengajukan beberapa pertanyaan soal Ludruk.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur melalui melalui Taman Krida Budaya setiap bulan menggelar pertunjukan kesenian tradisional wayang kulit, tari topeng, Ludruk dan kesenian tradisional lainnya. Anggapan saya sebelumnya hal ini adalah upaya yang luar biasa hebat. Upaya mengapresiasi dan melestarikan kesenian tradisional. Ternyata tak sehebat yang saya kira. Disbudpar terlalu banyak menuntut para seniman dan mencampuri “dapur” produksinya. Ludruk yang akan tampil di Taman Krida Budaya dituntut untuk berlatih. Sampai pada titik ini tentu tidak terlihat ada masalah apapun. Justru kesan baik yang muncul karena sudah menjadi kewajaran bahwa setiap penampilan harus diawali dengan proses latihan.
Namun masalahnya tak sesederhana itu, para seniman Ludruk sudah terbiasa tampil tanpa latihan karena Ludruk bukan satu-satunya pekerjaan. Cak Cemet misalnya, sehari-hari ia punya kesibukan berdagang ayam potong di pasar Munung. Dini hari sepulang manggung ia biasanya langsung menyusul istri dan anaknya di pasar. Siang hari pun ia harus bekerja memotong dan mencabut bulu ayam. Lantas ketika ia harus berangkat ke Sidoarjo atau Surabaya hanya untuk sekadar latihan, bagaimana nasib anak dan istri dan pelanggannya?. Besarnya tuntutan latihan juga tidak paralel dengan besarnya anggaran.
“Dikongkon latihan ngunuiku aku sering kasihan sama pimpinan Ludruk. Yang namanya pimpinan setiap kali latihan ora ketang ngekek’i uang bensin, rokok, mangane arek-arek pemain,” Papar Cemet prihatin.
Tidak hanya itu, di belakang panggung pagelaran Ludruk di Taman Krida Budaya saya juga melihat beberapa orang bersepatu dan berseragam batik yang ternyata bukan crew Ludruk. Beberapa orang memegang Handy Talky beberapa lainnya duduk mengamati keadaan sekitar. Salah seorang di antaranya bahkan memanaskan suasana, mengatur alur timing, menuntut percepatan waktu dan menuduh seorang pemain salah kostum di saat yang tidak tepat.
“Ngeneiki lho bagaimana Ludruk bisa tampil bagus, lhawong sudah jelas-jelas penonton masih banyak, masih antusias lhakok malah disuruh mempercepat. Ya bisa terpotong-potong alur ceritanya,” Keluh salah seorang pemain.
Asumsi saya yang lagi-lagi patah adalah soal daya adaptasi Ludruk. Sesuai pakemnya, pertunjukan Ludruk yang dimulai kisaran jam 21.00 dan selasai menjelang subuh tak lagi diminati karena masyarakat yang semakin menghemat waktunya. Berawal dari krisis ekonomi yang kemudian mengerucutkan konsentrasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primernya (baca: ekonomi) kemudian berimbas pada hilangnya konsentrasi pemenuhan kebutuhan tersier (baca: hiburan). Kondisi baik yang disebabkan oleh krisis ekonomi ini maupun yang disebabkan perkembangan dan kemajuan teknologi semakin mendorong masyarakat untuk mencari hiburan singkat dengan biaya yang murah. Mungkin Ludruk sudah tergeser oleh pertunjukan drama komedi di berbagai stasiun TV, drama komedi pun juga mulai tergeser trend Stand Up Comedy. Ilustrasi ini semakin mempertegas bahwa trend hiburan bergerak menuju arah hiburan singkat, murah dan “minimalis”.
Masih seputar durasi, sejatinya Ludruk sudah menunjukkan kemampuan adaptasinya sejak lama. Sebut saja Kartolo dan siaran Ludruk RRI misalnya. Mereka sudah memadatkan Ludruk yang semula berdurasi semalam suntuk menjadi 1 atau 2 jam saja. Nyatanya keduanya juga sepi peminat.
Meredupnya Ludruk atas pertimbangan singkat, murah dan “minimalis” tidak sepenuhnya terbukti. Masyarakat kelas menengah ke atas di Jawa Timur lebih bangga nanggap Wayang Kulit versi Solo daripada ludruk. Soal waktu, Ludruk dan Wayang Kulit berakhir pada jam yang sama. Soal jumlah crew keduanya juga hampir sama. Soal biaya, tentu Ludruk juara murahnya. Tapi “penjajahan” budaya memang tidak hanya terjadi antara budaya modern terhadap tradisional saja, bukan hanya oleh barat terhadap pribumi semata. Politik kebudayaan juga terjadi antar seni tradisi. Wayang Kulit dianggap budaya tinggi yang lahir dari keraton sedangkan Ludruk hanya hiburan masyarakat pinggiran yang lahir dari rahim “pengamen jalanan”.
Kesesatan saya berikutnya mengenai daya adaptasi muatan drama Ludruk. Prasangka saya menyatakan Ludruk masih membahas soal perlawanan terhadap penjajah seperti Ludruk di awal kelahirannya, atau membahas soal pesan pembangunan seperti Ludruk di jaman Orba. Kiranya benar tulisan yang berjudul “Ludruk: Matinya Besutan Matinya Masyarakat” dan “Besutan dan Kematian Seni Resistensi Masyarakat”, bahwa bukan Ludruk yang tak mampu merepresentasikan masyarakatnya, tapi justru masyarakat yang telah lebih dahulu mati rasa dan kehilangan identitasnya. Ludruk di tahun 2015 ternyata juga sudah responsif terhadap isu terkini. Mari kita tinjau Parikan yang saya catat dari penampilan Cak Cemet berikut ini:
Ono trenggiling manani wesi
Gonjang ganjing pemimpin korupsi
Aku nek delok dulur, siaran ono tivi
Terjadi musibah ono bumi pertiwi
Ada trenggiling makan besi
Gojang-ganjing pemimpin korupsi
Aku kalau melihat siaran di TV
Terjadi musibah di bumi pertiwi
Tragedi pesawat terbang air asia seng saiki
Korbane 160 nyowo tak berarti-arti
Iku ngono kabeh kesalahane poro menungso
Seng seneng tumindak angkoro murko
Tragedi pesawat terbang air asia yang sekarang
Korbannya 160 nyawa tak berarti
Itu semua karena kesalahan manusia
Yang suka bertindak angkara murka
Mulane kabeh ayo podo introspeksi diri
Supaya catatan kelam penerbangan tidak terulangi
Contone kulo niki dadi seniman nerimo ing pandum
Nyambut gawe lurus jalan kebenaran niku seng kulo tandur
Maka semuanya mari introspeksi diri
Supaya catatan kelam penerbangan tidak terulangi
Contohnya saya ini jadi seniman menerima takdir
Bekerja di jalan lurus kebenaran itu yang aku tanam
Tujuan kulo golek rejeki tapi adoh teko korupsi
Nek oleh rejeki iso gawe ngingoni anak, iso gawe bayar haji
Nek bengi niki angsal bayaran kulo ucapkan terimakasih
Dene gak keduman bayaran sampek mene esuk tetep kulo enteni
Tujuan saya mencari rejeki tapi jauh dari korupsi
Kalau dapat rejeki bisa dipakai untuk menghidupi anak, bisa dipakai biaya haji
Kalau mala ini dapat gaji saya ucapkan terimakasih
Kalau tidak kebagian gaji sampai besok pagi tetap saya tunggu
Apa yang anda pikirkan dari parikan di atas? Masih sangat kritis dan update tentunya. Lantas apa bedanya kritisnya dagelan Ludruk dengan kritisnya penampilan Insan Nur Akbar? Apa bedanya rima parikan Ludruk yang easy listening dengan rima sajak-sajaknya Abdur Stand Up Comedy? Apa bedanya pemangkasan durasi dan “stilasi” yang dilakukan Kartolo dan Ludruk RRI dengan Opera Van Java?. Nampaknya masyarakat kita mengonsumsi hiburan bukan atas dasar substansinya tapi atas dasar namanya.
Untuk mempertahankan eksistensinya, perlukah Ludruk diganti nama menjadi Opera Van East Java atau Rollicking Stand Comedy?
Leave a Reply