Judul: Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis
Penulis: Dr. Munawar Ahmad
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Cetakan: I, November 2010
Halaman: xviii + 464 hlm
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur (Gus adalah kependekan dari Bagus, sebutan yang biasa digunakan untuk anak seorang Kiai di Jawa Timur dan Jawa Tengah), seorang guru bangsa juga mantan presiden RI ke-4 merupakan tokoh yang memiliki keunikan yang luar biasa dari segala sisi. Beliau selain dikenal sebagai seorang kiai, intelektual, budayawan, aktivis kemanusiaan, juga merupakan tokoh politik di Indonesia. Menurut penulis, Gus Dur ibarat “teks yang tak pernah selesai” dalam pemikiran politik beliau yang selalu membuat kejutan-kejutan yang tak terduga.
Karya ini adalah hasil disertasi Dr. Munawar Ahmad dalam menyelesaikan studi Ilmu Politik beliau di Universitas Gajah Mada. Isi buku ini adalah analisis pemikiran politik Gus Dur, membahas bagaimana pola pemikiran dan latar belakang terbentuknya pemikiran Gus Dur, serta model ijtihad politik yang dibangun Gus Dur. Tulisan ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis yang memandang teks sebagai bentuk dari gejala sosial dengan melakukan kritik ideologi dalam sebuah diskursus.
Buku ini menjelaskan sosok Gus Dur yang memiliki keturunan “darah biru”. Penjelasan mengenai silsilah Gus Dur dimulai dari ayahnya yang bernama Wahid Hasyim yang merupakan mantan Menteri Agama RI. Ibunya bernama Hj. Solehah, juga putri tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sejarah hidup keluarga bani Hasyim sebagai pemimpin besar mendorong Gus Dur untuk meneruskan posisi sang ayah di segala bidang termasuk dalam dunia politik secara intens dan serius. Beberapa pemikiran keagamaan Kiai Wahid yang berpengaruh terhadap pemikiran politik Gus Dur adalah: menolak fanatisme, mengedepankan rasionalitas dan nasionalisme, egaliter dan toleransi.
Menurut Dr. Munawar, Gus Dur menghabiskan banyak waktunya untuk belajar di berbagai pesantren, membaca buku-buku komunis, buku-buku asing, serta mempelajari sastra dan budaya Arab. Pernah juga tinggal di rumah seorang tokoh Muhammmadiyah di Jogjakarta. Adapun pendidikan formalnya ia tempuh di Universitas Al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad. Sebagai seorang yang berwawasan luas, Gus Dur termasuk penulis yang produktif, aktif menulis di majalah Tempo dan Kompas, juga sebagai penulis tetap di jurnal ilmiah sosial Prisma yang efektif untuk memperkenalkan pemikirannya kepada kalangan intelektual.
Lebih jauh, Dr. Munawar juga menjelaskan sosok Gus Dur sebagai ikon kaum tradisionalis yang mampu memposisikan diri sebagai pemikir progresif dan inspiratif ketika merespon berbagai persoalan di luar dunianya (pesantren) (hal.103). Gus Dur juga aktif menulis artikel di majalah Horison dan Budaya Jawa. Esai-esai yang paling disenangi adalah tentang politik Indonesia, masa depan Indonesia, dan Islam serta modernitas.
Pada salah satu bab, Dr. Munawar menjelaskan mengenai beberapa pandangan politik Gus Dur yang dapat dilihat dari caranya berpikir dan menulis. Sebagai pemikir independen, ke-nyeleneh-an dan keberanian Gus Dur terlihat dalam melakukan positioning dan zig-zag politik. Termasuk ketika menulis tentang masalah pesantren pada periode 1970-1980, dirinya mengkritik pemerintah (Departemen Agama) yang memandang sebelah mata kualitas lulusan pendidikan pesantren. Gus Dur kemudian menawarkan bargaining position melalui dinamisasi dan modernisasi pesantren. Hal tersebut merupakan konstruksi dasar cara berpikir Gus Dur ketika menempatkan posisi agama dalam kehidupan sosial. Karakter pemikirannya menjadi basis ijtihad dalam memandang norma agama dan situasi sosial politik yang berubah-ubah.
Di sisi lain Gus Dur juga mengkritik kelompok yang secara ideologis bersikeras mendirikan negara Islam, karena berdasarkan referensi buku yang beliau kaji ternyata Islam secara formal tidak menjelaskan konsep negara secara terperinci. Intinya, Gus Dur menolak formalisme Islam dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Pemikiran ijtihad Gus Dur lebih mengedepankan analisis sosial sebagai basis analisisnya terhadap dinamika yang terjadi di dalam masyarakat, atau dengan kata lain lebih mengedepankan rasionalitas daripada sebelum tekstual. Dalam buku yang terjual laris di pasaran ini dijelaskan bahwa pola berpikir Gus Dur dalam analisis sosialnya banyak dipengaruhi oleh buku-buku berhaluan Marxis. Meskipun demikian, nuansa nash-nya cukup kuat menginspirasi proses ijtihadnya. Terbukti Gus Dur memakai metode Maqasid As-Syari’ah cukup besar dalam membentuk ijtihad politiknya. Terlihat di sini bahwa status keulamaannya turut mempengaruhi skema pemikiran politiknya. Melalui metode Maqasid as-Syari’ah Gus Dur melakukan sinergi tiga entitas, yaitu nash, falsafah, dan ‘urf yang sangat khas di dalam membangun ide-idenya.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa buku ini memaparkan pemikiran politik Gus Dur yang secara eksplisit menunjukkan ciri pemikiran “kiri Islam”. Pemikiran yang gigih mengedepankan persamaan, keadilan, kebebasan, dan sikap egaliter di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Demokrasi dan liberalisme yang diusung Gus Dur diharapkan mampu menyelesaikan persoalan bangsa yang kompleks dan pluralis.
Penulis; Eliza Shofia
Leave a Reply